SEJARAH
GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA
Oleh. Pdt. Bendrio P
Sibarani, M. Teol.
I. Pendahuluan
Jujur harus diakui bahwa
minat orang-orang termasuk para pelayan Gereja terhadap apa yang disebut dengan
”sejarah” sudah semakin berkurang. Apakah hal ini disebabkan karena banyaknya
hal-hal baru dalam kehidupan masa kini ataukah memang mereka menganggap bahwa
sejarah itu tidak penting dengan alasan bahwa tokh juga tidak lagi bisa kembali
ke masa lalu itu, hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Dengan mengetahui
sejarah, secara khusus sejarah Gereja ini (GPID) diharapkan pelayan-pelayan
Tuhan dapat mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang dan akan terjadi
pada proses perjalanan gereja ini ke depan. Pengetahuan akan sejarah GPID
seharusnyalah dimiliki oleh pelayan-pelayan GPID dan juga oleh semua warga GPID
tanpa terkecuali, sebab sejarah GPID bukan hanya yang terjadi di masa silam,
tetapi kelak semuanya akan menjadi sejarah baik kini dan nanti, dengan demikian
mempelajari sejarah GPID kita sekalian juga dibekali bagaimana caranya
mempertanggungjawabkan masa silam dengan membuat sejarah yang lebih baik pada
masa yang akan datang. Tulisan singkat ini bersifat informatif,untuk itu dari
kita masing-masing diajak untuk berefleksi sesuai dengan keberadaan GPID pada
masa kini. Sebagaimana lazimnya penulisan sejarah, maka materi mengenai
”Sejarah GPID” ini akan dibagi dalam 3 periodisasi waktu, yakni:
1. Sejarah Kekristenan di Daerah Donggala 1900-1935
2. Sejarah Kekristenan di daerah Donggala tahun 1935-1964
3. Sejarah Gereja Protestan Indonesia Donggala tahun 1965-2003
Walaupun secara umum, tapi
paling tidak dengan mengetahui sejarah GPID ini, kita sebagai pelayan-pelayan
Tuhan yang melayani di GPID memperoleh pengetahuan dan dapat lebih mengenal
Gereja Tuhan ini.
II. Gereja Protestan
Indonesia Donggala
A. Sejarah
Kekristenan di Daerah Donggala 1900-1935
Pada mulanya, sebelum
adanya pemekaran-pemekaran daerah secara khusus di Sulawesi tengah, daerah yang
meliputi Kabupaten Donggala, Sigi, Parimo dan kota Palu merupakan satu daerah
pemerintahan yang dikenal dengan ”Daerah Donggala”. Daerah Donggala inilah yang
kelak merupakan daerah di mana GPID melayani hingga masa kini.
Sebenarnya, jauh sebelum
kekristenan memasuki daerah Sulawesi tengah pada umumnya dan daerah Donggala
pada khususnya, Agama Islam (ada yang mengatakan abad 10 adapula pertengahan
abad ke-16 M) telah lebih dulu masuk dan menjadi agama yang dianut oleh sebagian
besar penduduk terutama yang berdomisili di pesisir pantai.
Sejak abad ke- 16
Daerah Parigi pada dasarnya telah menjalin hubungan di bidang ekonomi dengan
dunia luar. Pada catatan kaki yang ditulis oleh A. C. Cruyt yang diterjemahkan
oleh S. Tobogu yang berjudul ”Sejarah Kerajaan Lokal Di Sulawesi” menjelaskan
bahwa Portugis pertamakali menginjakkan kaki di Parigi pada tanggal 15
Januari 1515 tepatnya di Binangga. Portugis membawa armada perangnya dari
Mindanao Philipina. Pada saat itu, Portugis gagal menaklukkan Binangga. Menurut
Supri Na’a dan juga Hi. Hasim Marasobu, malah dicurigai bahwa raja Parigi yang
pertama dilantik oleh seorang Portugis yang bernama Fransisco Le Sa yang
melakukan pengembaraan ke Parigi pada tanggal 26 Desember 1517[1],
walaupun data tersebut dibantah oleh banyak kalangan, namun dari sini dapat
dicatat bahwa kemungkinan besar daerah Parigi telah dimasuki oleh negara luar
jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Bahkan pertengahan abad ke- 17
Portugis telah memiliki sebuah gudang di Parigi. Kemudian gudang tersebut
ditutup dan ditinggalkan pada tahun 1663. Kendatipun demikian hingga
saat ini belum ditemukan bukti bahwa kekristenan telah pernah ada di daerah
Parigi sebelum ekspansi Belanda. Kendatipun Belanda telah berkuasa di kerajaan
Parigi sejak masa pemerintahan Magau Rajangguni (1880-1897),
namun tidak pernah terdengar adanya pekabaran Injil kepada masyarakat setempat
yang mayoritas telah beragama Islam.
Kedatangan orang-orang kristen dari daerah
Sulawesi utara (Minahasa dan Sangihe) di Parigi berlangsung dalam beberapa
periode dan latar belakang yang berbeda-beda. Selain karena ditugaskan oleh
pemerintah Belanda termasuk para buruh kasar (± 1905), ada juga yang
datang karena mengikuti program kolonisasi pada tahun 1909 yang
diprakarsai oleh Belanda. Tahun 1910 ternyata orang-orang Rampi juga
telah tersebar di daerah Parigi Moutong dan mereka telah beragama kristen
protestan. Persekutuan kristen yang pertama kali di Parigi berawal dari
kesadaran para pegawai pemerintah (orang-orang pribumi) untuk mengekspresikan
iman mereka dalam kebaktian yang
berlangsung di rumah para pegawai tersebut. Setelah mendengar keberadaan
orang-orang kristen di daerah ini, maka pada tahun 1915 datanglah
badan-badan zending/penginjil seperti M. Larumpoa[2]
tepatnya di daerah Teluk Tomini (wilayah utara Parigi Moutong). Pada tahun
1920 T. Bokau memulai pelayanannya di Sipayo. T. Bokau berhasil mendirikan
jemaat di Spayo berkat hubungan yang baik dengan penduduk setempat. Selanjutnya
tahun 1925 seorang zendeling yang datang dari Gorontalo yakni, Pdt.
Pandelaki tiba di daerah Teluk Tomini untuk membantu pelayanan kepada
jemaat-jemaat yang telah mulai tersebar di sana.
Kemudian dengan swadaya orang-orang Kristen yang
ada di Parigi, maka kira-kira tahun 1919 berdirilah sebuah gedung Gereja
di Parigi. Walaupun gedung gereja tersebut masih sangat darurat. Persekutuan
ibadah ini semakin bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Tahun 1929 gedung
gereja mulai diperbaiki menjadi lebih layak lagi, usaha ini dilakukan dengan
swadaya jemaat yang ada. Namun setelah kurang lebih 10 tahun berdiri, gedung
gereja tersebut rubuh dan sama sekali tidak dapat digunakan lagi, akibat gempa
bumi yang terjadi pada tahun 1938. Setelah keadaan berangsur-angsur
pulih, maka gedung gereja yang barupun mulai dibangun tahun 1939 dengan
swadaya jemaat dan ditahbiskan tahun
1940.
Di bagian utara Parigi, pada
tahun 1915 tepatnya di Ongka[3]
orang-orang Minahasa yang dikoordinir oleh Johan Supit dan Walter Lumentut tiba
dan membuka pemukiman baru di sana. Mereka adalah transmigrasi spontan mandiri
dari Remboken. Mereka ini juga telah beragama Kristen dari tempat asalnya,
sehingga ketika tiba di Ongka mereka melangsungkan ibadah-ibadah. Setelah Belanda mulai mengeksploitasi kekayaan alam di daerah Parigi maka
para pekerja pribumi mulai ditempatkan di mana-mana. Di sepanjang pesisir pantai
timur orang-orang Kristen semakin tersebar, terutama para buruh pekerja kayu
hitam (ebony) yang dikelola oleh Belanda. Di daerah Sipayo misalnya pada tahun
1918 seorang guru jemaat bernama Tomas Marengkeng telah aktif melayani
jemaat yang telah terbentuk[4]. Demikian juga halnya di Sidoan pada tahun 1922 juga berdiri gedung
gereja. Warga jemaatnya kala itu adalah sebagian besar orang-orang Sangihe yang
bekerja sebagai buruh pengangkut kayu hitam[5].
Mereka kemudian dilayani oleh penginjil yang bernama Pdt. Rumoka. Pada tahun 1925 di daerah teluk Tomini
(wilayah utara Parigi Moutong) Pdt. L. Pandelaki (dari Gorontalo) membantu
pelayanan terhadap jemaat-jemaat yang mulai tersebar di sana. Untuk mengurus
gereja-gereja tersebut, maka pegawai-pegawai Pemerintah Belanda menunjuk
orang-orang pribumi menjadi pengurus gereja (majelis gereja). Gereja Masehi
Injili di Minahasa (GMIM) kemudian bertanggung jawab melayani gereja-gereja
protestan yang ada di daerah Donggala dan sekitarnya.
Selain orang-orang Kristen dari utara Sulawesi,
ternyata daerah Parigi juga dimasuki oleh orang-orang Bali (1900-an)
yang beragama Hindu. Orang Bali yang pertama kali datang di Parigi ialah mereka
yang diasingkan oleh pemerintah Belanda dan dijadikan budak.
1. Kekristenan Di Donggala[6]
Kota Donggala merupakan salah satu tempat
masuknya penjajah Belanda di samping tempat-tempat yang lainnya. Letaknya yang
strategis dan berada di pesisir pantai, membuat Belanda tertarik pada tempat
ini. Diperkirakan bahwa Belanda telah membangun kantor-kantor pemerintahannya
di tempat ini sekitar tahun 1900. Selain kantor pemerintah, Belanda juga
membangun gudang-gudang penampungan hasil alam (terutama kopra) yang
selanjutnya diangkut dengan armada-armada kapalnya melalui pelabuhan Donggala.
Pada tahun 1900, Donggala telah menjadi sebuah kota pelabuhan yang ramai
dan dihuni oleh orang-orang dari berbagai latarbelakang. Orang-orang Kristen
(terutama orang-orang yang berasal dari Sulawesi utara) juga telah tiba di
Donggala pada waktu itu. Selain sebagai pegawai pemerintah yang ditempatkan di
daerah ini, dari antara mereka juga terdapat pegawai perusahaan-perusahaan dan
buruh-buruh pada perusahaan-perusahaan tersebut. Para pegawai pemerintah yang
mendapat tugas di Donggala, selanjutnya ditempatkan lagi keberbagai tempat,
terlebih mereka yang berprofesi sebagai guru dan tenaga medis. Para pegawai
pemerintah dan pegawai-pegawai perusahaan yang adalah orang-orang pribumi dari
Minahasa dan Sangihe tersebut kemudian melangsungkan ibadah-ibadah sebab mereka
adalah warga gereja dari tempat mereka masing-masing. Keterangan tentang kapan
jemaat pertama terbentuk di Donggala sangat sulit ditentukan. Selain tidak
adanya arsip-arsip gereja tentang hal tersebut, orang-orang yang mengetahui
cerita tersebut telah tidak ada lagi. Namun berdasarkan tulisan pada batu nisan
yang ditemukan pada kuburan orang-orang Kristen di Donggala, maka dapat
diperkirakan bahwa orang-orang kristen telah ada di Donggala sebelum tahun
1910[7].
Persekutuan ibadah di Donggala dilaksanakan oleh para pegawai pemerintah yang
pribumi dan berkebangsaan Belanda secara bersama-sama. Mereka dilayani oleh
pelayan Indische Kerk yang datang dari Manado. Ada dua versi cerita
mengenai berdirinya gedung gereja di Donggala. Versi yang pertama mengatakan
bahwa gedung gereja yang pertama di Donggala adalah bekas gudang garam salah
satu perusahaan VOC yang kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda dan
versi yang kedua mengatakan bahwa gedung gereja di Donggala dibangun oleh
pemerintah Belanda kemudian diserahkan kepada GMIM untuk dilayani setelah
terjadi pemisahan administratif tahun 1935[8].
Dari Donggala, Injilpun mulai tersebar hingga ke daerah pantai barat seperti
misalnya di daerah Tanjung yakni Walandano (tahun 1910), Lewonu dan
sekitarnya. Hal ini dimungkinkan karena Belanda juga mulai memasuki
daerah-daerah tersebut dalam rangka kepentingan ekonominya. Untuk mencapai
daerah pantai barat tersebut khususnya di sekitaran Tanjung, maka Belanda
menempuhnya melalui laut yang memang sangat dekat dari Donggala jika dibandingkan
dengan perjalanan darat. Pada waktu itulah para pekerja (orang-orang Minahasa)
mulai tersebar ke Walandano dan daerah di sekitarnya[9].
Tahun 1910 tercatat bahwa di Tibo orang-orang Rampi dan Seko
yang datang merantau telah mulai membentuk persekutuan ibadah sehingga pada tahun
1927 mereka telah memiliki gedung gereja untuk dipakai beribadah[10].
Demikian juga di Kaliburu, sejumlah 150 keluarga yang merupakan pendatang
mendirikan gedung gereja. Setelah itu, tahun 1930 seorang pendeta GPI
datang dari Balikpapan untuk meresmikannya[11].
Demikianlah kekristenan dengan perlahan-lahan semakin tersebar ke berbagai
tempat di daerah Donggala.
Pada mulanya Lembah Palu bukanlah tempat
yang penting bagi Belanda. Palu hanyalah sebuah tempat yang kurang ramai jika
dibandingkan dengan kota Donggala. Akan tetapi ketika Belanda mulai
mengekspansi daerah-daerah ke arah selatan kota Palu, maka Palu dirasa penting
untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda. Untuk menjalankan roda
pemerintahannya, maka diutuslah pegawai-pegawai ke Palu termasuk warga pribumi
asal Minahasa dan Sangihe. Selain
para pegawai pemerintah, ternyata ada juga orang-orang Minahasa yang datang di
Lembah Palu dengan alasan merantau. Dari antara pegawai pemerintah tersebut, selain sebagai pegawai kantor, di
antara mereka juga terdapat para guru, mantri dan para buruh. Mula-mula,
pemerintah Belanda mendirikan kantor pemerintahannya di sekitar Maesa sekarang
persisnya di dekat jalan Pattimura sekarang. Daerah Maesa yang ada sekarang di
tengah kota Palu, dulunya adalah hamparan rawa yang luas yang terletak persis
di tepi sungai Palu yang membagi dua kota Palu (Palu timur dan Palu barat).
Karena sungai tersebut sering meluap, maka daerah Maesa itu digenangi oleh air
dan menjadi tempat kodok. Itulah sebabnya nama ”Maesa” dulunya
disebut ”kampung kodok”. Nama ”Maesa” sendiri nanti
dikenal tahun 1951 setelah seorang dokter perempuan orang Minahasa
bertugas di sana memberi nama atas tempat tersebut[13].
Dari antara orang-orang Minahasa dan Sangihe yang memasuki kota Palu mulai
mengambil inisiatif memasuki daerah-daerah lain yakni ke arah selatan seiring
dengan ekspansi Belanda di tempat-tempat tersebut[14].
Mengingat kota Palu telah menjadi pusat pemerintahan Belanda di daerah Donggala
dan juga mengingat banyaknya orang-orang Kristen yang ditugaskan di Palu maka
pemerintah Belanda menjadikan Palu sebagai Pos Pelayanan Indische Kerk,
sehingga orang-orang Kristen tersebut mendapatkan pelayanan rohani.
Ibadah-ibadah mulai dilangsungkan. Akan tetapi karena belum adanya gedung
gereja, maka ibadah tersebut mula-mula dilangsungkan di pendopo milik
pemerintah Belanda. Baik yang berkebangsaan Belanda maupun yang pribumi
beribadah bersama di pendopo tersebut.
Gedung gereja mulai
berdiri di Palu diperkirakan tahun 1915, yakni setelah beberapa tahun Belanda berkuasa di Palu. Pada
dasarnya penduduk atau kerajaan Palu sendiri telah memeluk agama Islam jauh
sebelum Belanda datang dan berkuasa. Mereka belum pernah sama sekali berjumpa
dengan agama Kristen. Gedung gereja pertama yang berdiri di Palu adalah gedung
gereja yang terletak di daerah Maesa sekarang. Kemudian hari Gereja tersebut
diberi nama ”Banua Ntupu”[15].
Pemberian nama ini ternyata mengandung muatan politis dengan maksud agar
masyarakat setempat menghormati keberadaan gedung tersebut sebagai sebuah
tempat suci atau sakral. Sebab penduduk Palu sebelumnya belum pernah berjumpa
dengan kekristenan.
B. KEKRISTENAN DI DAERAH DONGGALA TAHUN 1935-1964
1. Daerah Donggala Dalam Pelayanan Gereja Masehi Injili
Di Minahasa
(GMIM).
Setelah mengalami
persoalan yang dilematis mengenai hubungan gereja dan negara[16],
akhirnya terjadilah pemisahan administratif antara gereja dan negara pada tahun
1935. Bahkan pada saat sidang raya GPI pada tahun 1933, persiapan
untuk membangun gereja yang mandiri di Maluku dan di Minahasa sudah mulai
berjalan. Walaupun pada sidang raya tersebut menyatakan bahwa pemisahan
administratif antara gereja dan negara hanya dapat diterima jika hak atas
bantuan finansial dijamin sepenuhnya, namun pada akhirnya sidang menjamin
kelangsungan bantuan finansial dari kas negara, kendatipun memang pada akhirnya
tuntutan ini hanya terpenuhi sebagian saja. Raja akhirnya mengumumkan pemisahan
administratif antara gereja dengan negara dengan catatan negara tetap
mengeluarkan dana dari kas untuk penggajian 43 pendeta, 31 pendeta pembantu dan
7 guru agama[17].
Pada tanggal 1 Agustus
1935, akhirnya Gereja Protestan Di Indonesia bebas dari cengkeraman negara.
Gereja itu menjadi gereja yang mandiri. Moment tersebut disambut dengan
sukacita oleh hampir semua jemaat-jemaat Protestan. Gereja Masehi Injili Di
Minahasa (GMIM) resmi dilembagakan menjadi gereja mandiri di bawah perwalian
sejak tanggal 30 September 1934[18].
Karena pada waktu itu belum terjadi pemisahan administratif, maka Gubernur
jenderal mengeluarkan surat keputusan khusus untuk membatalkan peraturan Am
Gereja protestan sejauh menyangkut Minahasa. Selanjutnya, GMIM berada pada masa
perwalian hingga pada tahun 1942. Orang-orang Minahasa yang adalah
warga GMIM yang berada di luar Minahasa
ternyata membentuk jemaat-jemaat tersendiri yang termasuk GMIM, sesuai dengan
peraturan Am Gereja Minahasa (1934). Khusus di daerah yang tidak
terdapat gereja-gereja protestan lain, warga Minahasa mendirikan jemaat-jemaat
baru bersama dengan orang-orang Kristen lainnya dari golongan suku yang lain.
Hal ini juga terjadi di daerah Donggala termasuk Palu di dalamnya[19].
Jemaat-jemaat yang ada di daerah Donggala yang dibentuk oleh orang-orang
Minahasa beserta suku-suku lainnya termasuk dalam pelayanan GMIM dan dibawahi
langsung oleh Sinode GMIM, akan tetapi jemaat-jemaat tersebut tidak memperoleh
hak untuk memilih anggota-anggota Sinode baik secara langsung maupun secara
tidak langsung. Jemaat-jemaat GMIM di daerah Donggala semakin hari semakin
berkembang terutama karena arus migrasi penduduk dari daerah Sulawesi utara dan
dari daerah selatan Sulawesi dan juga dari luar pulau Sulawesi seperti dari
Pulau Jawa dan Pulau Bali. Perkembangan jemaat-jemaat ini juga didukung oleh
usaha pekabaran Injil kepada penduduk asli yang mulai dilaksanakan oleh
pelayan-pelayan GMIM maupun warga jemaat.
Daerah Donggala dan dua daerah penginjilan GMIM
lainnya (Gorontalo dan Toli-toli) sejak 1 Januari 1937 diserahkan oleh
Gereja Protestan Di Indonesia (GPI) kepada GMIM untuk menjadi daerah
penginjilan GMIM[20].
Sebenarnya, sebelum serah terima ini berlangsung, GMIM telah melayani
jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala.
2. Pelayanan GMIM Di Daerah Donggala
Jemaat-jemaat yang terbentuk di daerah
Donggala pada umumnya adalah bagian dari jemaat GMIM sebab ketika para warga
Minahasa (sebagian besar adalah warga GMIM) datang di daerah ini, belum ada
satupun gereja maupun gereja Protestan lainnya. Orang-orang Protestan dari
suku-suku lainnya yang berdiam di daerah Donggala bergabung dengan orang-orang
Minahasa dan Sangihe dalam jemaat-jemaat yang dilayani oleh GMIM. Walaupun
dalam keadaan keuangan yang sulit[21],
GMIM tetap memperhatikan pelayanan dan juga penginjilan yakni dengan mengutus
tenaga-tenaga pelayannya ke daerah Donggala. Dapat dicatat di beberapa tempat,
GMIM mengutus para tenaga untuk melayani jemaat-jemaatnya seperti halnya di
daerah Parigi Moutong, Donggala, Palu dan mulai melaksanakan pekabaran Injil ke
daerah pedalaman Kulawi dengan pertimbangan bahwa di tempat ini telah terdapat
warga Minahasa yang menjadi guru yang diperbantukan pemerintah kepada Bala
keselamatan dan menjadi warga jemaat Bala Keselamatan dan masih adanya penduduk
asli yang belum mendengar Injil Yesus Kristus.
3. Pelayanan GMIM Dibidang Pendidikan di Daerah
Donggala
Ketika GMIM melayani jemaat-jemaat yang
terdapat di daerah Donggala, ternyata bidang pendidikan juga menjadi salah satu
bagian pelayanan yang mendapat perhatian. Hal itu dibuktikan dengan usaha GMIM
mendirikan sekolah-sekolah di mana terdapat jemaat. Hingga tahun 1940
GMIM masih mempunyai sekolah-sekolah rendah (sekolah dasar) seperti misalnya SD
di Lemusa, guru yang dapat dicatat di sana ialah guru N. Laobasi, SD di
Lumbumamara, guru waktu itu adalah guru gereja. Di Lonca juga GMIM pernah
mendirikan sebuah Sekolah dasar[22].
Selain sekolah-sekolah dasar, GMIM juga pernah membuka sekolah kepandaian
puteri (SKP) di Parigi. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menerima warga
gereja saja, melainkan juga penduduk setempat yang beragama Islam. Hal inilah
kemudian yang paling tidak menjadi sumbangsih yang sangat berharga bagi
pembangunan sumber daya manusia penduduk di daerah Donggala.
4. Perkembangan Jemaat-Jemaat Di Daerah Donggala
Pada awalnya, usaha untuk
memberitakan Injil kepada penduduk asli di pedalaman Daerah Donggala tidak
dilaksanakan oleh GMIM mengingat kurangnya tenaga pelayan dan berkembangnya
jemaat-jemaat yang telah ada dengan pesat dan semakin banyak tersebar di
berbagai tempat. GMIM memulai penginjilan di daerah kerajaan Kulawi pada tahun
1946. Pada waktu itu disebut-sebut bahwa Pdt. H. Daendeel adalah pelayan
GMIM yang pertama kali melaksanakan pekabaran Injil. Dia juga berusaha
menginjili orang-orang Kulawi untuk masuk protestan walaupun mereka sebelumnya
telah menjadi warga Bala Keselamatan. Dua tahun kemudian (1948),
diutuslah Pdt. W. Makapadua menggantikan Pdt. Daendeel di Kulawi, pada saat
itulah jemaat Protestan (GMIM) tercipta di Kulawi yakni ketika Pdt. W.
Makapadua berhasil meyakinkan raja untuk dibabtis bersama 30 orang lainnya.
Peristiwa ini sangat berpengaruh bagi perkembangan jemaat-jemaat GMIM pada
khusunya di Kulawi.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1950an
akibat kedatangan pengungsi dari daerah Sulawesi selatan (suku Rampi, Seko dan
Toraja) yakni mereka yang mengungsi akibat pemberontakan DI/TII. Mereka ini
adalah orang-orang Kristen yang akhirnya setelah tiba di daerah Donggala
bergabung dengan jemaat-jemaat yang telah ada di Kulawi, di Palu dan di
tempat-tempat lainnya sebelum mendirikan jemaat-jemaat baru dari gereja induk
mereka[23].
5. Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa Penjajahan
Jepang (1942-1945).
Jepang mendarat di Palu pada bulan Maret
1942. Pada waktu itu kantor gereja tetap terbuka dan ibadah-ibadah masih tetap
dapat dilangsungkan. Keadaan jemaat-jemaat yang ada di daerah Dongala pada masa
pendudukan Jepang sangat ditentukan oleh keadaan GMIM di Sulawesi Utara. GMIM
sendiri pada masa penjajahan Jepang menghadapi keadaan yang sulit dan
mengakibatkan tugas pelayanan gereja menjadi sangat berat. Keadaan ini
diperparah lagi oleh karena terputusnya hubungan GMIM dengan GPI secara praktis[24].
Kesulitan untuk membiayai para Pendeta, memaksa GMIM tidak menggaji para
Pendeta, namun mereka dihimbau agar tetap bekerja. Keadaan seperti ini tentunya
sangat mempengaruhi pelayanan di daerah Pekabaran Injil seperti di daerah
Donggala. Namun mengenai masalah keamanan kelangsungan ibadah-ibadah
jemaat-jemaat di daerah Donggala sendiri tetap berjalan lancar tanpa mengalami
gangguan yang berarti[25].
Pada saat Jepang mulai menduduki daerah Donggala, pelayan-pelayan GMIM masih
terus melaksanakan pelayanannya, Massie masih tetap melayani di Donggala, Pdt.
A. S. Lengkong di Parigi dan Pdt. R. P. H. Ngantung di Palu. Mereka ini masih dapat mengunjungi
jemaat-jemaat di beberapa tempat[26]. Pada akhir perang, Jepang juga sempat
menginternir seluruh Majelis jemaat di Palu karena dicurigai sebagai mata-mata.
Seorang Penatua dan seorang
Kostor gereja gugur dan yang lainnya sempat dibawa ke Poso dan dipenjarakan di
sana. Mereka kemudian dibebaskan setelah
Jepang menyerah kepada sekutu[27].
Di Minahasa sendiri, pemerintah Jepang menyita
banyak sekali harta milik gereja, seperti gedung sekolah, rumah kediaman para
Pendeta Belanda, rumah sakit, dan gedung gereja. Pelarangan pengajaran agama
kristen di sekolah juga dikeluarkan oleh Jepang[28].
Secara umum dapat digambarkan bahwa keadaan jemaat-jemaat yang terdapat di
daerah Donggala pada masa pendudukan Jepang dapat berjalan sebagaimana
biasanya, walaupun memang karena situasi keuangan yang sulit yang dialami oleh
GMIM membuat pelayanan kepada jemaat-jemaat yang tersebar di daerah Donggala
menjadi kurang maksimal. Mengenai tindakan Jepang terhadap kebaktian jemaat di
daerah Donggala tampaknya tidak terlalu keras, dalam arti tidak sampai adanya
pelarangan beribadah seperti halnya yang terjadi di beberapa tempat di Minahasa
(Di Minahasa sendiri, sikap Jepang terhadap kebaktian jemaat berbeda di semua
tempat, tergantung pada komandan militer setempat). Dalam pelaksanaan kebaktian juga demikian,
berbeda di setiap tempat, ada yang hanya diperkenankan menyanyi, berdoa dan
membaca liturgi, ada juga yang dilarang berkhotbah[29].
Keadaan jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala dapat dikatakan tetap
baik ternyata juga dipengaruhi oleh orang Kristen Jepang, seperti misalnya Ds.
G. Fujisaki selaku pimpinan gereja Sulawesi tengah yang dipersatukan Jepang.
6. Gereja di Daerah Donggala Pada Masa
Pemberontakan DI/TII
Darul Islam Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) merupakan gerakan separatis yang dirancang oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiro yang bercita-cita mendirikan suatu negara Indonesia yang
berdasarkan Islam. Mula-mula gerakan ini berlangsung di Jawa barat, namun
kemudian merembes ke berbagai daerah, seperti Aceh, Jawa tengah, Kalimantan
selatan dan juga Sulawesi selatan[30].
Setelah teks proklamasi berdirinya Negara Islam
Indonesia bagian timur sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibacakan
oleh Kahar Muzakhar pada tanggal 7 Agustus 1953, orang-orang
Kristen yang terdapat di daerah Sulawesi selatan mengalami penghambatan yang
luar biasa. Kahar menghimbau agar mempertahankan proklamasi berdirinya Negara
Islam Indonesia sampai titik darah penghabisan[31]. Pemberontakan tersebut mengakibatkan
orang-orang Kristen dari Sulawesi Selatan khususnya yang di bagian utara
menyelamatkan diri dan mempertahankan imannya dengan cara melarikan diri ke
daerah Donggala. Untuk menghindari tentara Islam, mereka yang mengungsi ke
daerah Donggala memilih jalan melewati hutan tepatnya dari arah Selatan kota
Palu. Mereka yang mengungsi adalah orang-orang Rampi, orang-orang Toraja dan
Seko. Kedatangan para pengungsi ini di daerah Donggala ternyata mendapat
sambutan yang baik terutama di wilayah kerajaan Kulawi yang telah menjadi warga
Jemaat Protestan. Raja memberikan perhatian yang serius kepada mereka dan
memberi tempat untuk mereka huni. Di daerah Kulawi misalnya, orang-orang Rampi
yang datang mengungsi diberi lahan untuk didiami[32]. Hingga kini etnis Rampi sudah tersebar
di wilayah Kulawi, mereka adalah orang-orang Kristen yang datang di daerah
Donggala tanpa mengikut sertakan pelayan-pelayan gereja dari asal mereka.
Demikian juga halnya dengan orang-orang Seko, setelah menempuh perjalanan yang amat berat yaitu daerah Mamu di Watukilo
mereka akhirnya tiba di daerah Donggala. Yang memimpin mereka saat itu
disebut-sebut bernama Saniang dan Kalambo. Mereka diberi lahan untuk ditinggali
tepatnya di desa Omu sekarang dan di Omulah ibadah pertama Gereja Toraja
dilangsungkan di daerah Donggala[33]. Kedatangan para pengungsi ini telah
menambah corak kekristenan di Daerah Donggala demikian juga dalam hal
perkembangan gereja.
Ternyata pasukan DI/TII
tidak hanya melakukan aksinya di Sulawesi selatan, mereka juga memasuki daerah
Donggala. Pemberontakan DI/TII ini sangat terasa di Donggala dan di Palu. Di
Donggala sendiri mereka seringkali melakukan teror yang membuat masyarakat
merasa takut dan waspada. Syukurlah bahwa ternyata mereka tidak menyerang
orang-orang Kristen di sana yang mayoritas adalah orang-orang Minahasa dan
Sangihe. Apakah hal ini disebabkan latar belakang Kahar Muzakhar yang
sebelumnya mempunyai hubungan dengan Kawilarang yang adalah orang Minahasa,
tidaklah diketahui. Serangan gerombolan DI/TII yang memasuki daerah Donggala
telah berakibat pada banyaknya penduduk asli yang beragama Kristen beralih
menjadi Islam dengan cara paksa[34]. Hanya sedikit dari mereka yang mampu
mempertahankan iman mereka. Di antara mereka ada yang terpaksa pindah ke tempat
lain asalkan mereka tetap percaya kepada Tuhan Yesus Kristus[35]. Orang-orang Kristen ini adalah hasil
penginjilan Bala Keselamatan. Sampai sekarang sebahagian besar mereka tetap
menjadi Islam. Gerombolan juga ternyata memasuki daerah pantai timur tepatnya
di bagian utara Parigi. Orang-orang Kristen yang terdapat di Ongka dan di
Ogotumubu terpaksa harus mengungsi ke Parigi demi keselamatan dan demi
mempertahankan iman percaya mereka. Bukan hanya di daerah Pantai timur, tetapi
juga di pantai barat, gerombolan membakar gedung gereja di Tibo dan di Panii.
Mereka juga membunuh beberapa orang-orang Kristen di sana. Peristiwa tersebut
terjadi pada tahun 1957. Pada tanggal 13 Februari 1956 gerombolan
DI/TII juga melakukan ekspansi di daerah Teluk Tomini yang berusaha
mengislamkan orang-orang Kristen yang terdapat di sana. Akibatnya sekitar 789
jiwa orang-orang Kristen terpaksa mengungsi ke Parigi, sedangkan yang lainnya
dengan terpaksa menjadi Islam[36].
7. Kehadiran Transmigrasi Dari Bali Di Daerah
Donggala
Kehadiran orang-orang Bali di daerah Donggala
dimulai sejak tahun 1957 tepatnya di daerah Palolo[37]. Kehadiran mereka di daerah Donggala
dilatar belakangi keadaan hidup mereka yang semakin susah di Pulau Bali. Kala
itu mereka datang secara berkelompok seperti layaknya perantau. Ternyata
beberapa orang dari orang-orang Bali ini kemudian ada yang kembali ke Bali
karena keadaan yang kurang aman saat itu di daerah Donggala, seperti bapak I
Ngurah Lasir dan I Made Wejo. Kedua orang ini kembali lagi dengan membawa 15 kk
orang-orang Bali ke daerah Donggala pada tahun 1959. Mereka tiba di
Parigi pada bulan Desember 1959. Karena mereka belum mengenal siapapun
di tempat ini, maka mereka menumpang di rumah saudara-saudara mereka orang-orang
Bali yang Hindu di Mertasari selama 40 hari. Waktu itu kepala desa di Mertasari
ialah seorang Bali Hindu yang bernama I Gusti Arko. Mulanya, raja Parigi hanya
mengizinkan mereka untuk tinggal sementara di wilayah pemerintahannya karena
mereka tidak memiliki surat jalan maupun surat pindah dari pemerintah Bali.
Berkat bantuan kepala desa Mertasari I
Gusti Arko, maka raja Parigi akhirnya mengizinkan mereka tinggal di daerah
Parigi dan memberikan lokasi di Masari[38] untuk mereka buka menjadi lahan
pertanian. Setelah tiba dan memulai hidup yang baru di daerah Donggala,
orang-orang Bali yang beragama Kristen ini beribadah ke Parigi, sebab kala itu
gedung gereja masih hanya ada di Parigi mereka juga melaporkan diri mereka
kepada pengurus gereja dengan maksud agar mereka diketahui sebagai orang
Kristen dan juga untuk dilayani. Mulai saat itulah mereka mulai beribadah bersama-sama dalam satu
persekutuan. Pendeta GMIM yang melayani di Parigi saat itu melayani mereka
setiap hari Minggu.
Selanjutnya orang-orang Bali didatangkan lagi ke
daerah Donggala dalam program transmigrasi Umum yang pertama kali di Sulawesi tengah
tepatnya di Desa Nambaru Kecamatan Parigi, Kabupaten Donggala (sekarang
Kabupaten Parigi Moutong), yakni Pada tanggal 28 Februari 1962 dengan
jumlah 52 KK, 243 jiwa yang berasal dari Pulau Bali[39]. Kemudian pada tahun 1968
transmigrasi dari Bali tiba lagi di daerah Donggala tepatnya di Tolai. Transmigrasi tersebut merupakan
transmigrasi spontan yang diprakarsai oleh Gereja Kristen Protestan Bali dan
melibatkan pemerintah setempat[40]. Mereka ternyata bukan saja yang beragama
Kristen tetapi juga beragama Hindu. Setelah mereka tiba di daerah Donggala
ternyata dari orang-orang Bali yang baragama Hindu banyak yang berpindah ke
agama Kristen dengan berbagai alasan[41]. Para peserta transmigrasi Bali yang
beragama Kristen tersebut selanjutnya
berupaya mendirikan tempat ibadah/gedung gereja walaupun sifatnya masih
darurat. Mereka kemudian dilayani oleh pelayan-pelayan GMIM yang ada di Parigi.
Jumlah orang-orang Bali ini terus meningkat terutama karena adanya program
transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun transmigrasi
swakarsa/spontan mandiri (TSM). Merekapun, termasuk orang-orang Kristen
menyebar hampir ke semua tempat khususnya di daerah Parigi selatan sekarang.
Perlu diketahui, bahwa ternyata orang-orang Kristen dari pulau Bali yang
mengikuti transmigrasi ke daerah Donggala tidak didampingi oleh pelayan gereja
yakni dari Gereja Kristen Protestan Bali akibatnya sesampainya di daerah
Donggala mereka beribadah di gereja yang dilayani GMIM yang terdapat di Parigi
dan kemudian mereka mulai mendirikan gedung gereja dan dilayani oleh Pelayan
maupun Pendeta dari Parigi yang adalah pelayan GMIM.
8. Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa PERMESTA
Permesta (Perjuangan Semesta) di mulai dengan
pembacaan Proklamasi Permesta oleh LetKol. Ventje Sumual pada tanggal 2
Maret 1957 di Makassar[42].
Permesta yang diproklamasikan di Makassar melibatkan banyak petinggi militer
yang berasal dari Sulawesi utara dan juga didukung oleh masyarakat Minahasa
mulai menyebar ke seluruh pelosok Sulawesi termasuk Sulawesi tengah. Di
kemudian hari, Permesta lebih identik dengan masyarakat Minahasa bukan saja
yang tinggal di Minahasa tetapi juga di tempat-tempat lain, seperti di Sulawesi
tengah pada umumnya dan di daerah Dongggala pada khususnya.
Pada bulan Juli 1957 H. N. V. Sumual menyatukan
Sulawesi utara tengah yang terpisah dari Sulawesi selatan tenggara dan
mengangkat Manoppo sebagai gubernur[43].
Permesta yang dianggap oleh pemerintah sebagai pemberontakan mulai diperangi.
Bukan hanya di Minahasa, tetapi juga di Sulawesi tengah, termasuk di daerah
Donggala. Peperangan antara tentara pusat dengan pasukan Permesta ternyata
menjadikan gereja menjadi korban. Jemaat-jemaat yang terdapat di daerah
Donggala yang adalah daerah pelayanan GMIM diperhadapkan pada situasi yang
sulit.
Di daerah Parigi misalnya,
sebagian orang-orang Kristen (orang-orang Minahasa) dikejar-kejar dan ditangkap
oleh tentara pusat sehingga mengakibatkan kehidupan gereja terganggu karena
tidak merasa aman. Penyelenggaraan ibadahpun diawasi oleh tentara pusat dan
tidak sedikit dari antara anggota jemaat yang ditangkap dan mengalami perlakuan
buruk dari tentara pusat karena mereka orang Minahasa. Di Donggala (kerajaan
Banawa), Permesta sempat menguasai keadaan, sehingga tentara pusat berupaya
menaklukkan mereka dan merebut kembali tempat tersebut. Di Donggala, ternyata
Permesta sangat eksis. Karena di tempat ini sendiri dibuka perekrutan dan
pelatihan tentara Permesta. Orang-orang yang direkrut ternyata bukan hanya
orang-orang Minahasa maupun Sangihe, tetapi banyak juga dari penduduk asli.
Permesta juga didukung sepenuhnya oleh Raja Banawa yang kala itu dipimpin oleh
Raja Lamarauna. Gereja sendiri kelihatan bersikap terbuka terhadap Permesta
walaupun pada hakikatnya tidak menunjukkan dukungan yang nyata. Pada bulan April
1948 Donggala diserang oleh tentara pusat, berlangsunglah peperangan yang
dahsyat. Tentara pusat akhirnya mampu menduduki Donggala dengan personil yang
cukup banyak. Akibatnya banyak dari penduduk yang ditangkap dan dipenjarakan
termasuk Raja Lamarauna sendiri[44].
Selain itu, banyak juga dari antara penduduk terutama orang-orang Minahasa yang
dikenakan wajib lapor tanpa alasan yang jelas. Walaupun tidak secara langsung,
dampak peperangan antara tentara pusat dengan Permesta juga dirasakan oleh
gereja. Ibadah-ibadah menjadi sunyi karena banyak warga jemaat yang enggan
menunjukkan diri, takut ditangkap oleh tentara pusat. Hal yang sama juga
dialami oleh jemaat yang terdapat di kota Palu, bahkan tentara pusat terus
mengejar pasukan permesta hingga ke daerah pedalaman, seperti di Kulawi[45].
Penumpasan Permesta di
daerah Donggala oleh tentara Pusat yang dipimpin oleh seorang suku Toraja yakni
Frans Karangan, ternyata juga melahirkan satu corak persekutuan Kristen yang
baru dari Gereja Toraja. Para tentara pusat yang sebagian besar adalah warga
Gereja Toraja yang kemudian menetap di Palu, turut mensponsori berdirinya
Gereja Toraja di kota Palu pada waktu kemudian.
9. Persiapan Kemandirian Gereja Protestan
Indonesia Donggala
Gereja Masehi Injili Di Minahasa (GMIM) sebenarnya
telah sejak lama merencanakan pemekaran jemaat-jemaat yang ada di daerah
penginjilan termasuk yang terdapat di daerah Donggala. Hal tersebut sesuai
dengan pertimbangan bahwa gereja-gereja di daerah penginjilan sudah mulai mampu
membiayai tunjangan Pendeta dan mendirikan gedung-gedung gereja. Pada tahun
1955 ketua Sinode GMIM yang pada saat itu dijabat oleh Pdt. M. Sondakh
telah mengunjungi jemaat-jemaat yang ada di Sulawesi tengah, termasuk di daerah
Donggala. Kunjungan itu sekaligus hendak melihat sejauh mana gereja mengalami
penghambatan akibat pemberontakan DI/TII. Selain itu, ternyata kunjungan
tersebut juga merupakan evaluasi terhadap kemapaman jemaat-jemaat yang ada di
daerah Donggala untuk rencana pemekaran. Pada tahun-tahun selanjutnya, jemaat-jemaat
di daerah Donggala ternyata dilihat telah mampu membangun gedung gereja sendiri
dan sudah mulai mampu membiayai gaji Pendeta atau Pelayannya. Untuk itu, maka
di tiap-tiap jemaat diangkatlah seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat
yang bertugas untuk memberitakan Firman (Berkhotbah), memimpin Katekisasi dan
pelayanan-pelayanan lainnya, kecuali Pelayanan Sakramen[46].
Pdt. D. Wenas adalah seorang Pendeta GMIM yang disebut-sebut sangat berperan
dalam persiapan berdirinya GPID. Pdt. D. Wenas adalah koordinator pelayanan di
seluruh daerah Donggala (Palu, Parigi-Moutong, Donggala dan Kulawi). Pada waktu
persiapan pemekaran GPID sebagai gereja mandiri, jemaat telah berjumlah 48
jemaat yang dilayani seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat tiap jemaat.
Pada tanggal 18
Desember 1964 bertempat di gereja Centrum GMIM Manado akhirnya secara
simbolis jemaat-jemaat di daerah-daerah Penginjilan GMIM dinyatakan menjadi
gereja-gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan Di
Indonesia (GPI), Masing-masing:
1. Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo (GPIG)
yang berpusat di
Gorontalo.
2. Gereja Protestan Indonesia Di Buol Toli-toli
(GPIBT) yang berpusat di
Toli-toli.
3. Gereja Protestan Indonesia Di Donggala (GPID)
yang berpusat di palu.
Pernyataan simbolis tentang kemandirian gereja-gereja di daerah penginjilan
GMIM tersebut ternyata masih membutuhkan waktu untuk ditahbiskan menjadi Gereja
mandiri.
C. GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA TAHUN
1965 SAMPAI
TAHUN
2003
1. Pelayanan Gereja Protestan Indonesia Donggala
Setelah diresmikan secara simbolis pada
tanggal 18 Desember 1964, Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)
bersama dengan Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo (GPIG) dan Gereja
Protestan Indonesia di Buol Toli-toli (GPIBT) resmi menjadi gereja mandiri di
bawah naungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Namun, pelaksanaan
kemandirian tersebut di Gereja Protestan Indonesia di Donggala barulah berjalan
mulai tanggal 4 April 1965, yakni dengan dilangsungkannya pentahbisan
Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang bertempat di Gereja Pniel
Palu. Pentahbisan itu dihadiri oleh Pnt. H. B. Kaunang (BPS GMIM), Pdt. Daandel, Pdt. Daan Wenas, Pdt. Y. Wokas
dan yang lainnya[47].
Acara pentahbisan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan sidang Am
sinode pertama Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang berlangsung
mulai dari tanggal 4-7 April 1965 sekaligus untuk menyusun pedoman kerja
Majelis Sinode dan pemilihan Majelis sinode untuk periode pertama yang bertugas
selama 4 tahun (1965-1968). Untuk melaksanakan sidang sinode tersebut
dibentuklah terlebih dahulu Proto Sinode yang diketuai Pnt. Yan Kaunang dan
Sekretaris Pdt. D. Wenas. Ketua Sinode yang pertama dijabat oleh Pdt. D. M. V.
Kandijoh dan Sekretaris Pnt. Hans Pondaag yang terpilih dalam sidang Am Sinode
yang pertama tersebut. Majelis Sinode terpilih ini bekerja sampai pada tahun
1968[48].
Setelah ditahbiskan sebagai gereja yang mandiri, selanjutnya GPID terus
berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dalam rangka
penatalayanan Gereja Tuhan yang tersebar di daerah Donggala sebab GMIM tidak
lagi memberikan bantuan terutama menyangkut bantuan dana.
Sejak tahun 1965 Gereja Protestan Indonesia
di Donggala (GPID) menjadi gereja yang mandiri di mana pelayanannya meliputi
daerah Kabupaten Donggala (Donggala,
Palu dan Parigi). Sesuai dengan tata gereja, GPID memiliki tujuan yakni;
terwujudnya suatu persekutuan orang-orang percaya yang takut, taat, dan setia
kepada Allah Yang Maha Kuasa Khalik semesta alam dan yang bertanggung jawab
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara menuju kehidupan yang adil,
sejahtera, bersatu sesuai dengan kesaksian Alkitab[49].
Pada waktu lahirnya sebagai satu Sinode Mandiri,
pelayanan GPID meliputi 6 wilayah, 48 jemaat yang terdiri dari 1933 KK dan 11.
600 jiwa. Keenam wilayah tersebut dilayani oleh 8 orang Pendeta dan 3 orang
Guru Injil.
Setelah melayani selama 25 tahun dalam berbagai
suka dan duka GPID terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Sehingga
pada tahun 1990 GPID telah memiliki 24 wilayah, 133 Jemaat, 4895 KK,
23.317 jiwa yang dilayani oleh 43 orang Pendeta. Jumlah ini terus meningkat,
sehingga tahun 2003 GPID telah memiliki 98 orang Pendeta, 12 orang
Vikaris yang melayani 153 jemaat dalam 40 wilayah dengan jumlah 30 ribu jiwa,
6910 KK[50].
Pelayanan lainnya juga
dilaksanakan oleh GPID seperti di bidang sosial dan pendidikan. Tahun 1979 GPID
mendirikan panti asuhan sebagai bukti pelayanannya di bidang sosial.
Selanjutnya tahun 1980, GPID juga mendirikan sekolah-sekolah mulai dari tingkat
Taman kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Dari tahun
1980 sampai dengan tahun 2003 tercatat jumlah sekolah yang didirikan GPID
adalah, TK berjumlah: 10 buah, SD: 2 buah, SLTP: 2 buah, SMA: 2 buah[51].
2. Struktur Dan Organisasi Badan Gerejani Di Gereja
Protestan Indonesia di
Donggala
Memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan baik di
bidang dana maupun letak geografis pelayanan yang sangat jauh antara satu
jemaat dengan jemaat yang lain, maka GPID dalam hal ini Majelis Sinode
menerapkan struktur devinitif
Jemaat-Wilayah-Sinode[52]dalam
mekanisme pelayanan sistem Presbyterial Sinodal.
Pada tanggal 29 Juli sampai dengan 1
Agustus 1966 yakni pada sidang Am II Sinode GPID, peraturan dasar GPID yang
disusun oleh panitia dan Badan Pekerja Am GPI dibahas lagi dan diadakan
beberapa perubahan, selanjutnya ditetapkan dan disahkan menjadi tata gereja,
peraturan-peraturan dan peraturan-peraturan khusus GPID yang mulai digunakan sejak 1 Januari
1967[53].
Sebelum berlangsungnya Sidang Sinode Am
pada tahun 1968, di GPID terjadi masa transisi kepemimpinan yang
disebabkan kembalinya Pdt. D. M. V. Kandijoh sebagai ketua Sinode dan Pnt. Hans
Pondaag sebagai sekretaris Sinode ke Minahasa. Untuk mengisi lowongan yang
kosong tersebut, maka diangkatlah Pdt. Morens Lagimpu[54]
sebagai Pejabat sementara Ketua Sinode dan Pdt. Yesaya Roti Lampie
sebagai Pjs Sekretaris Sinode sekaligus dipercayakan untuk mempersiapkan
Sidang Am Sinode GPID tahun 1968.
Pada tahun 1968 di Palu berlangsunglah
Sidang Am Sinode GPID sekaligus untuk memilih Majelis Sinode yang baru. Dalam
Sidang Am Sinode ini, maka terpilihlah Majelis Sinode yang baru, yakni;
Ketua: Pdt. Frans Kaesang Taga
Wakil Ketua: Pdt. M. Lumolos
Sekretaris: Pdt. Yesaya Roti Lampie
Pdt. Marthen Tondong
Pnt. Yan Theodorus Kairupan
Majelis Sinode terpilih ini bekerja selama empat tahun sesuai dengan
peraturan dasar GPID. Pada periode Majelis Sinode yang baru ini, telah terjadi
beberapa pembaharuan di dalam tubuh GPID. Pembaharuan yang terjadi tersebut
pada dasarnya bertujuan untuk lebih mengarahkan GPID kepada kemandiriannya
sebagai sebuah Gereja.
Pada tahun 1969
dalam Sidang Sinode GPID diputuskan perobahan nama GPID, jika sebelumnya gereja
ini diberi nama Gereja Protestan Indonesia Di Donggala, maka kata ”di”
dihapus. Kemudian nama gereja ini menjadi Gereja Protestan Indonesia Donggala[55].
Sesuai dengan peraturan dasar GPID, susunan GPID
adalah Jemaat dan Sinode[56].
Pada Bab I pasal 2a dalam Peraturan Dasar tersebut disebutkan;
Jemaat ialah persekutuan dari anggota-anggota yang diam di suatu tempat yang
tertentu yang menyelenggarakan rumah tangganya sendiri selaku bagian dari
gereja. Tiap jemaat terdiri tidak kurang dari 10 rumah tangga. Jemaat
ditetapkan dan disahkan dengan beslit Sinode.
Sedangkan Sinode adalah sidang tertinggi yang memutuskan segala hal
yang bersifat umum. Sinode terdiri dari anggota-anggota utusan jemaat[57].
Badan Pekerja Sinode terdiri dari seorang Ketua dan seorang Sekretaris dan
seorang lagi Bendahara serta 4 orang anggota. Adapun Penasehat Sinode terdiri
dari 3 orang yang tidak bekerja penuh waktu. Walaupun pada awalnya susunan GPID
terdiri dari Jemaat dan Sinode, tetapi dalam praktek selanjutnya yang terjadi
ialah terdiri dari Sinode-Wilayah[58]dan
Jemaat[59].
Untuk menyelenggarakan Sidang Sinode, biasanya wilayah-wilayah mengirim
utusan-utusannya. Setiap wilayah mengirim utusannya 3 orang pelayan khusus yang
terdiri dari 1 orang Pendeta atau Guru Injil dan 2 orang yang dipilih oleh
Majelis jemaat di wilayah tersebut. Dalam susunan organisasi GPID juga dikenal
wilayah berbantuan, yakni jemaat-jemaat yang masih ditopang oleh Sinode
terutama dalam hal keuangannya.
Pada mulanya
pelayan-pelayan Gereja Protestan Indonesia Di Donggala terdiri dari beberapa
penggolongan yakni;
a. Pendeta, adalah seorang tamatan sekolah Teologia dan juga
Pendeta
angkatan yang diangkat oleh Sinode.
b. Guru Injil Kategori B, ialah Pelayan sama dengan Pendeta tetapi
tidak
melalui sekolah Pendeta; diangkat oleh Sinode.
c. Guru Injil Kategori A. (Guru Jemaat), ialah Pemimpin Jemaat
yang dipilih oleh sidi-sidi Jemaat.
Akibat terbatasnya tenaga pelayan di GPID, maka tahun
1982 melalui Sidang Am Sinode GPID di Sumbersari, Guru-guru Injil kategori B resmi diangkat
menjadi Pendeta[61]. Kepada mereka kemudian diberikan semacam
pembinaan khusus oleh Majelis Sinode. Mereka ini tetap menjadi pegawai organik GPID yang digaji sama dengan
pendeta-pendeta lainnya. Sedangkan Guru Injil kategori A telah berobah nama
menjadi guru Jemaat pada tahun 1971 dan dalam perkembangan selanjutnya
istilah untuk jabatan ini berobah menjadi ketua jemaat dan mereka bukan
merupakan pegawai organik. Mereka ini bekerja sesuai dengan periode majelis
jemaat di jemaat masing-masing dan dipilih dalam sidang sidi-sidi jemaat.
Komposisi Majelis Sinode Harian GPID dari periode
ke periode selalu saja mengalami perobahan walaupun tidak terlalu banyak,
tetapi paling tidak dari sini dapat dilihat bahwa komposisi tersebut diadopsi
sesuai dengan tuntutan konteks pelayanan pada saat itu. Jika dari tahun
1965-1968, unsur wakil ketua belum ada, maka pada tahun 1968-1976
unsur wakil ketua ditambahkan pada komposisi MSH. Kemudian mulai pada tahun
1976-1988 jabatan wakil ketua Sinode dihilangkan lagi, tapi pada tahun
1988-2003 jabatan wakil ketua[62]
diadakan lagi. Tetapi sejak tahun 2003 jabatan wakil ketua dibagi dalam
3 bidang yakni masing-masing membidangi pelayanan; wakil ketua I membidangi
Kesaksian Keesaan dan Pekabaran Injil (KEKES/PI), wakil ketua II membidangi
Pembinaan Warga Gereja dan penelitian Pengembangan (PWG/Litbang), sedangkan
wakil ketua III membidangi Diakonia. Dengan demikian sekretaris-sekretaris departemen
yang sebelumnya ada, kini dihilangkan.
Sejak tahun 1988 melalui Sidang Sinode Am
GPID telah ditetapkan bahwa masa kerja Majelis Sinode berlaku selama 5 tahun.
Untuk itu mulai tahun 1988 GPID melaksanakan Sidang Am Sinode sekali
dalam 5 Tahun dan ini berlaku hingga sekarang. Tetapi setiap tahunnya
dilaksanakan sidang tahunan Sinode untuk mengevaluasi program Majelis Sinode
dan sekaligus menyusun program kerja dan rencana anggaran pendapatan dan
belanja Sinode untuk tahun berjalan. Sedangkan Sidang Am istimewa hanya
dilangsungkan apabila ada hal-hal yang sangat penting untuk diputuskan.
2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Jemaat dan
Keadaan Kemandirian
Teologi, Daya dan Dana
a. Pertumbuhan dan Perkembangan Jemaat
Walaupun Gereja Protestan
Indonesia di Donggala diperhadapkan pada pergumulan yang berat di awal
berdirinya, namun gereja ini ternyata terus bertumbuh dan jumlah warga
jemaatnya terus bertambah, demikian juga dengan tenaga pelayan. Jika pada tahun
1965 tercatat jumlah Wilayah pelayanan sebanyak 6 wilayah, dan jemaat: 48 jemaat, yang
terdiri dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa serta jumlah tenaga pelayan: 8 orang
Pendeta dan 3 orang Guru Injil, maka pada tahun 1968 jumlah tersebut
bertambah menjadi 12 wilayah, yang terdiri dari 65 jemaat, yang terdiri dari
kurang lebih 14. 600 jiwa. Sedangkan jumlah Pendeta menjadi 15 orang, Guru
Injil 10 orang, Guru jemaat 64 orang, Penatua 151 orang dan Diaken 151 0rang
serta 1 orang Guru Agama tetap[63].
Jumlah ini sungguh signifikan bagi sebuah gereja yang baru mandiri selama kurun
waktu 4 tahun. Pertumbuhan jumlah warga jemaat dan juga tenaga pelayan di GPID
terus bertambah dari periode ke periode. Sehingga pada tahun 2003 jumlah warga
jemaat GPID menjadi; 28.046 Jiwa (6910 KK), yang tersebar dalam 147 jemaat, 40
wilayah. Sedangkan jumlah pelayan menjadi, Pendeta; 98 orang, Vikaris 12 Orang[64].
Bertambahnya jumlah jemaat
tersebut tidak terlepas dari upaya pekabaran Injil yang dilakukan, baik oleh
pelayan-pelayan Khusus maupun oleh warga jemaat sendiri[65].
Bahkan dalam sejarahnya, GPID pernah membuka wilayah pekabaran Injil di
Kalimantan timur, tepatnya di Kabupaten Kutai. Pekabaran Injil di tempat
tersebut mula-mula dilakukan oleh beberapa orang warga GPID yang berasal dari
Abo yang merantau ke Kalimantan sebagai pencari rotan[66].
Sesampainya di Kalimantan orang-orang ini kemudian berbaur dengan masyarakat
setempat dan mulai memberitakan Injil kepada mereka yang pada masa itu masih
memeluk agama suku. Kemudian tahun 1982 GPID menyanggupi permintaan
warga GPID yang telah merasa berhasil mengabarkan Injil di Kalimantan dengan
mengutus Pdt. I Gusti Bagus Sudiadjana untuk membabtis 89 orang suku Dayak.
Selanjutnya GPID menempatkan tenaga pelayan untuk memelihara jemaat tersebut.
Jemaat tersebut malah berkembang dengan pesat sehingga kemudian menjadi dua
jemaat yang mandiri[67].
Di samping itu, pertumbuhan jumlah jemaat dan pelayan juga terjadi akibat arus
transmigrasi yang terus meningkat ke daerah Donggala baik yang diprakarsai
pemerintah maupun dalam transmigrasi spontan. Misalnya saja pada tahun 1968
jumlah transmigrasi meningkat tajam di daerah Parigi selatan tepatnya di Tolai.
Ternyata transmigrasi ini diprakarsai oleh seorang kepala desa yakni Tumakaka. Ternyata
para peserta transmigrasi ini sebagian besar adalah orang-orang Kristen dari
Bali, maka setelah mereka tiba di daerah Donggala yakni di Parigi selatan
mereka kemudian menjadi warga GPID dan ada juga yang menjadi warga GKST[68].
Program transmigrasi selanjutnya seperti transmigrasi dari Pulau Jawa yang
ditempatkan di Tirtasari, Kota raya dan transmigrasi lokal pada tahun 1977
dalam kerja sama dengan PGIW Sulutteng yakni mereka yang kemudian ditempatkan
di Sigega. Selain dalam transmigrasi lokal maupun nasional, ada juga
dikarenakan migrasi karena bencana alam, seperti halnya komunitas orang-orang
Sangihe yang terdapat di Kopi Lambunu[69].
b. Kemandirian Theologi
Mengenai upaya yang
dilakukan menuju kemandirian Teologi dapat dicatat bahwa sejak tahun 1967
GPID telah membina sebuah Akademi Teologia, yang dahulu didirikan oleh DGI
Wilayah Sulutteng akan tetapi terkesan dibiarkan. Akhirnya GPID mengambil alih
dan bertanggung jawab penuh atasnya. Akademi Theologia GPID yang beralamat di
Jl. Pattimura IV/85 tersebut didirikan pada tanggal 18 januari 1969
dipimpin oleh Pdt. M. Lumolos[70].
Walaupun dalam situasi yang sulit karena keterbatasan Dana, Tenaga maupun
infrastruktur, Akademi Theologia GPID telah berhasil menamatkan sejumlah tenaga
pelayan di GPID ke masa selanjutnya.
Pola berteologi yang
ditunjukkan para pelayan yang telah dipersiapkan dan mempersiapkan diri di
Akademi tersebut lebih diarahkan pada gaya berteologi kontekstual dengan
memperhatikan kemajemukan budaya di kalangan warga gereja. Gaya berteologi ini
sangat mempengaruhi perkembangan Gereja Tuhan di masa selanjutnya, sebab
kemajemukan yang ada tersebut dijadikan sebagai kekayaan. Budaya berada dan
berjalan bersama-sama dengan Injil sebagai anugerah Tuhan dan semua demi
kemuliaan Tuhan.
Belum lama didirikan, GPID
langsung diperhadapkan pada persoalan yang dilematis menyangkut keberadaan
Akademi Theologia GPID di Palu, yakni bahwa GKST juga mendirikan PGA di Palu.
GKST beralasan bahwa PGA yang didirikan ini adalah merupakan antisipasi untuk
memenuhi jumlah tenaga Guru Agama di Palu yang diprediksi akan terus meningkat.
Sekali lagi GPID dan GKST terlibat dalam ”perang dingin”. Akhirnya pada tahun
1971 akademi Theologia GPID resmi ditutup sesuai dengan keputusan sidang Sinode
ke- VI tahun 1970. Penutupan Akademi Theologia ini disebabkan selain
karena tidak tersedianya dana yang mencukupi di GPID, juga karena PGA yang
didirikan oleh GKST kemudian menjadi pilihan orang-orang Kristen di Palu pada
khususnya yang ingin mendalami ilmu Theologia. Selanjutnya dalam rangka
kemandirian di bidang Theologia, berbagai upaya telah dilakukan di antaranya:
* Pemberitaan Firman Allah secara intensif,
tersistem dengan metode-metode
yang
sesuai dengan kondisi jemaat melalui;
- Ibadah-ibadah
Minggu, kunjungan rumah tangga,
kompelka, KPI
- Penelaan Alkitab, PA dan pekan keluarga.
-
Konsultasi, seminar, lokakarya dan PWG.
* Mengupayakan dan menggumuli suatu pemahaman iman
GPID yang benar-
benar
lahir dari kondisi objektif GPID.
* Menyusun sejarah GPID.
* Mengikut sertakan seluruh lapisan warga gereja
dalam pelayanan gereja.
* Menggali dan mentransformasikan kekayaan budaya
yang ada di GPID[71].
c. Kemandirian Daya
Pada mulanya sewaktu GPID baru ditahbiskan
menjadi sebuah Sinode mandiri, pergumulan utama adalah kurangnya tenaga
pelayan. Sehingga pada waktu itu tidak heran jika ada seorang Pendeta yang
melayani untuk 10 jemaat. Beruntunglah bahwa kehadiran guru Injil baik kategori
A maupun kategori B telah sangat membantu pelayanan gereja Tuhan yang tersebar
di daerah Donggala. Karena terbatasnya tenaga pelayan, maka tidak heran juga
jika di GPID pada awalnya banyak tenaga utusan gereja dari gereja-gereja lain. Dari
waktu ke waktu, jumlah tenaga utusan gerejawi yang diperbantukan di GPID
semakin berkurang. Ini terjadi karena tenaga-tenaga pelayan sudah semakin meningkat
jumlahnya. Apalagi setelah penamatan 8 orang dari akademi theologia Palu yang
kemudian bertugas di jemaat-jemaat, GPID juga mengangkat Guru-guru Injil
kategori B menjadi pendeta penuh pada tahun 1971. Demikian juga halnya
dengan kedatangan beberapa orang Pendeta dari Gereja Kristen Protestan Bali
(GKPB) telah menambah jumlah Pendeta di GPID. Penerimaan Vikaris setiap
tahunnya juga menjadi faktor utama yang mengakibatkan bertambahnya jumlah
pelayan di GPID.
Bukan hanya tenaga
Pelayan, tetapi pertumbuhan kemampuan jemaatpun semakin hari semakin nampak
sehingga tanggung jawab untuk menunaikan tugas dan panggilan gereja semakin
nyata pula. Untuk menumbuhkan kemampuan seluruh warga gereja dalam memikul
tanggung jawab dan tugas panggilannya, maka GPID telah melakukan berbagai
upaya, di antaranya;
·
Mengerahkan
dan mengarahkan warga jemaat untuk mewujudkan tugas panggilan mereka sebagai
gereja.
·
Melibatkan
para profesional yang terdapat di antara warga gereja untuk bersama-sama
melayani sesuai dengan talenta, karunia, bakat dan potensi yang dimiliki
masing-masing.
·
Mempersiapkan
kader, yakni dengan program alih generasi kepelayanan gereja dalam arti yang
luas dan positif.
·
Dengan
terus-menerus meningkatkan kualitas para pelayan dan pelayanan warga gereja
melalui kursus-kursus, pelatihan/pembinaan, dan pendidikan ke jenjang strata
yang lebih tinggi, baik di bidang Theologi, maupun non theologia melalui jalur
akademis dan profesional dengan pemberian beasiswa.
Hingga tahun 2003 kemandirian Daya di GPID terus menerus mengalami
perkembangan, jumlah warga jemaat GPID menjadi; 28.046 Jiwa (6910 KK), yang
tersebar dalam 147 jemaat, 40 wilayah. Sedangkan jumlah pelayan menjadi,
Pendeta; 98 orang, Vikaris 12 Orang[72].
Bukan hanya dalam jumlah tetapi juga dalam peningkatan kualitas, sehingga
Pendeta-pendeta yang lulus dari pendidikan Theologia semakin banyak[73].
d. Kemandirian Di Bidang Dana
Seperti yang telah diuraikan pada bab terdahulu
bahwa setelah GPID ditahbiskan menjadi gereja mandiri, GMIM sama sekali tidak
lagi memberi bantuan di bidang dana. Untuk itu GPID harus dengan semaksimal
mungkin berusaha memenuhi sendiri kebutuhan pelayanannya di bidang dana. Upaya
memenuhi kebutuhan di bidang dana dilakukan mulai dari tingkat jemaat, wilayah
hingga di tingkat sinodal. Mengenai skala penggajian Pendeta-pendeta maupun
guru-guru Injil sepenuhnya diatur dan ditetapkan menurut tata gereja, akan
tetapi untuk pembayarannya sepenuhnya adalah tanggung jawab jemaat di mana
Pendeta atau Guru Injil tersebut melayani. Demi terpenuhinya anggaran
pelayanan, maka di tingkat jemaat selalu dihimbau menyusun sendiri anggaran
pendapatan dan belanja jemaat setiap tahunnya, demikian juga halnya di tingkat
wilayah dan di tingkat sinode. Adapun sumber-sumber keuangan gereja,
di tingkat jemaat diperoleh dari;
-
Kolekte
tiap hari Minggu, kumpulan-kumpulan[74]
dan juga pada hari raya
gerejawi serta ibadah khusus lainnya
-
Partisipasi
warga jemaat berupa iuran
-
Usaha
jemaat, seperti hasil sawah atau kebun jemaat.
Sedangkan di tingkat Sinode;
-
Setoran
dari tiap-tiap Jemaat; 10% dari korban bulanan dan 10% dari korban tahunan
-
Sumbangan
dari Pemerintah maupun perwakilan di Jakarta.
Dari tahun 1965 hingga tahun 1968 (periode Majelis Sinode
pertama) masalah keuangan merupakan hal yang sangat berat dirasakan oleh GPID.
Tetapi, kendatipun demikian masa-masa sulit ini dapat dilalui karena penyertaan
Tuhan Sang Kepala Gereja yang selalu memenuhi kebutuhan gereja- Nya.
3. Hubungan Kerja Sama Oikumenis Gereja Protestan
Indonesia Donggala
a. Hubungan Kerjasama Oikumenis Dengan
Gereja-gereja
1. Di
Tingkat Lokal
Kerja sama di antara gereja-gereja yang terdapat
di Sulawesi tengah dan daerah Donggala pada khususnya telah tercipta sejak
perjumpaan mereka antara gereja yang satu dengan yang lain. Semangat oikumenis
tersebut terlihat dari kesediaan warga dari gereja yang saling berbeda untuk
ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang diputuskan dan dilakukan bersama,
misalnya dalam perayaan-perayaan gerejawi bersama. Sejak menjadi Gereja
Mandiri, GPID selalu berusaha menjalin kerja sama dalam semangat oikumenis dengan gereja-gereja yang terdapat di daerah
Donggala dan juga di tingkat Propinsi Sulawesi tengah. Walaupun harus diakui
bahwa di awal kemandiriannya sebagai satu Sinode, GPID diperhadapkan pada
pergumulan dalam hubungannya dengan gereja tetangga[75]. Pengalaman serupa juga sering kali terjadi
dengan gereja-gereja yang bermunculan di daerah Donggala terutama gereja
beraliran kharismatik seperti gereja-gereja Pantekosta. Anggota-anggota GPID
seringkali menjadi incaran gereja-gereja Pantekosta yang mulai menjamur di
daerah Donggala sejak akhir abad 20. Namun secara umum, GPID telah
berhasil menjalin kerja sama oikumenis dengan gereja-gereja tetangga dalam
berbagai bentuk kegiatan.
2. Di Tingkat Regional
GPID berpartisipasi aktif dalam hubungan kerja sama oikumenis, yakni
dengan menjadi anggota persekutuan Gereja-gereja Wilayah Sulawesi Utara dan
Tengah (PGW Sulutteng) sejak Oktober 1990. Bahkan pada bulan
Juni-Juli 1990 GPID menjadi tuan rumah penyelenggaraan sidang Sinode Am I
PGW Sulutteng tersebut[76].
Selanjutnya, GPID dengan rutin menghadiri rapat kerja dan sidang Ketua-ketua
Sinode Am setiap 2 kali setahun. Kegiatan-kegiatan di Sinode Am Sulutteng
lainnyapun seperti halnya; penataran pelayan-pelayan dan kegiatan Kompelka.
Selain memberi iuran ke Sinode Am, GPID juga bekerjasama di bidang pendidikan
dan di bidang diakonia. Pada tahun 1977 GPID telah bekerja sama dengan
PGIW Sulutteng dalam proyek transmigrasi lokal yakni di Sigega[77].
3. Di
Tingkat Nasional
3. 1.
Gereja Protestan Indonesia Donggala Adalah Gereja Bagian Mandiri[78]
Gereja Protestan Indonesia.
Gereja Protestan Indonesia Donggala sebenarnya
adalah bekas gereja yang dahulu dilayani oleh Gereja Protestan Indonesia. Namun
Sejak 1 Januari 1937 pelayanan terhadap Gereja di daerah Donggala ini
diserahkan oleh Gereja Protestan Di Indonesia (GPI) kepada GMIM untuk menjadi
daerah penginjilan GMIM seiring dengan pemisahan administratif di Gereja
Protestan di Indonesia pada akhir tahun 1934. GPID adalah bagian dari
GPI sesuai pernyataan BaPeAm GPI no. Bap. 8/Sek/69. Dengan demikian Badan Hukum
Gereja Protestan Indonesia Donggala adalah sama dengan Badan Hukum Gereja
Protestan di Indonesia Staatblad no. 19 tanggal 15 Mei 1927[79]
yang berlaku Sejak tahun 1969.
Badan hukum GPID yang sama dengan badan hukum GPI
menunjukkan eratnya hubungan GPID dengan GPI. Secara historis boleh dikatakan
bahwa GPID adalah anak kandung dari GPI sebab semula sebelum menjadi sebuah
gereja mandiri, GPID dilayani oleh GPI setelah itu diserahkan kepada GMIM.
3. 2.
GPID Adalah Anggota Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia
Sebagai sebuah gereja yang lahir, tumbuh
dan melayani di Indonesia, maka pada tahun 1967 pada sidang Raya DGI/PGI
di Makassar GPID menyampaikan permohonannya kepada DGI/PGI untuk menjadi
anggota. Akan tetapi pada saat itu GPID hanya diterima menjadi anggota luar
biasa di DGI/PGI disebabkan keberatan gereja tetangga yakni GKST. Setelah
digumuli selama kurang lebih 2 tahun maka pada tanggal 3 Oktober 1969
GPID ditetapkan sebagai anggota penuh ke-39 di DGI/PGI[80].
3. 3.
Hubungan Oikumenis Dan Kerja sama GPID Di Tingkat Internasional
Sejak tahun 1969 GPID telah
menjalin kerja sama dengan zending Nederlandse Hervomde Kerk (NHK).
Kemudian pada masa kepemimpinan Pdt. Tommy Malonda sebagai ketua Sinode
(1993-1998) Gereja Protestan Indonesia Donggala mendaftarkan diri menjadi anggota World Alliance of Reformed
Churches (WARC). Ini menunjukkan bahwa GPID juga turut menggumuli
semangat keesaan Gereja sampai di tingkat internasional. Di samping itu, dengan
masuknya GPID sebagai anggota WARC, maka GPID telah menunjukkan jati
dirinya sebagai sebuah gereja reformasi. GPID juga menjalin kerja sama dengan
beberapa lembaga gereja di luar negeri yang terjalin dalam bentuk kemitraan, di
antaranya: PKN di Belanda dan dengan EMS di Jerman.
III. Penutup
Demikianlah secara umum
Sejarah GPID yang dapat disajikan dalam pertemuan kita kali ini. Dengan
demikian diharapkan, setelah mengetahui sejarah Gereja Tuhan ini, kita sebagai
pelayan-pelayan Tuhan yang melayani di Gereja Tuhan ini paling tidak boleh
bercermin dari sejarah untuk menghantar kita menciptakan sejarah Gereja
Protestan Indonesia Donggala yang baru dan selalu di baharui sesuai dengan
kehendak Kristus sang Kepala Gereja.
[1]. Supri Na’a, Arkham M. Pibete, Sejarah
Parigi, Hal. 11-13. Band. Hi. Hasim Marasobu, Sejarah Budaya Dan
Hukum Adat Kerajaan Parigi, (Parigi: Perpustakaan Kabupaten Parigi
Moutong), hal. 1.
[2]. Dalam suratnya kepada BPS GMIM tanggal 20
November 1939, G. A. Tenda menyatakan bahwa M. Larumpoa-lah guru djemaat
pertama di wilayah Teluk Tomini. Lihat, Dr. M. C. Jongeling, Sejarah
Singkat GPID, (Makassar, 1972), hal. 1.
[3]. Ongka terletak kira-kira 200 KM. ke
sebelah utara kota Parigi, yakni jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi bagian
utara.
[4]. Arsip Sinode GPID.
[5]. Kini komunitas Orang-orang Sangihe
tersebut menempati daerah Sidoan, Bolong, Bondoyong dan Sipayo dan mereka
sebagian besar adalah warga jemaat GPID. Dikemudian hari mereka ada yang menjadi
warga GKST.
[6]. ”Donggala” di sini menunjuk pada kota
Donggala sekarang yakni ibukota kabupaten Donggala sekarang.
[7]. Pada batu nisan orang Kristen tersebut
tercatat tahun meninggal pada tahun 1910. Lokasi pekuburan Kristen di
Donggala terletak di Gunung Bale yang diberikan oleh Raja Banawa.
[8]. Pdt. Waney telah diutus ke Donggala pada
tahun 1934 kemudian pada tahun berikutnya dikirim lagi beberapa tenaga
Pendeta dari GMIM. Lihat, F. K. Taga, 10 Tahun GPID, (Makassar: Skripsi Sarjana
muda STT Intim, 1976), hal. 26-27.
[9]. Sejarah Berdirinya Jemaat GPID
Tiberias Walandano, (Palu: Arsip Sinode GPID). Persekutuan Kristen di tempat ini dimulai oleh 12
orang Minahasa yang memasuki tempat ini pada tahun 1910. Mereka kemudian
memberitakan Injil kepada penduduk setempat setelah beradaptasi bahkan kawin
mawin dengan mereka.
[10]. Arsip Sinode GPID.
[12]. Yang dimaksud dengan Lembah Palu adalah
kota Palu sekarang dan sekitarnya, sebab kota ini berada dalam lembah yang di
sekelilingnya adalah pegunungan. Pada zaman dahulu tempat ini bernama teluk
Kaili.
[13]. Yang memberi nama “Maesa”
adalah seorang dokter perempuan orang Minahasa yaitu dokter Gerungan. Cerita
tentang nama “Maesa” ini ditemukan oleh penulis ketika penelitian lapangan.
Sejak “Maesa” dijadikan sebagai sebuah Desa, kepala Desa selalu dijabat oleh
orang Minahasa. Kepala Desa Maesa Pertama bernama No Londok. Kini karena
pemekaran daerah, Maesa telah dimasukkan dalam Kelurahan Lolu.
[14]. Terutama mereka yang datang ke Palu
dengan alasan merantau. Di antara tempat-tempat tersebut adalah Palolo dan ke
arah Dolo.
[15]. “Banua Ntupu” berarti
Rumah Tuhan atau Rumah ber-Tuhan. Nam ini berasal dari bahasa Kaili yakni
bahasa daerah Palu. Gereja inilah gereja pertama di kota Palu yang kemudian
diberi nama Jemaat Pniel dan kemudian menjadi jemaat Getsmany setelah jemaat
Pniel dipindahkan ke jalan Cik Di Tiro sekarang.
[16]. Berulangkali dalam sejarahnya, gereja
maupun Negara dengan silih berganti ingin memisahkan diri antara gereja dan
Negara, namun persoalan tersebut di Indonesia baru dapat diselesaikan pada tahun
1935.
[17].
G. P. H. Locher, Tata Gereja, Gereja Protestan Indonesia ,
(Jakarta : BPK.
Gunung Mulia,1997), hal. 70.
[18].
Lihat, Ch. De Jonge, Gereja Masehi Injili Di Minahasa 1934-1945 Berdiri
Sendiri Di Bawah Perwalian, hal. 124-148, Dalam, Sularso Sopater
(Peny), APOSTOLE PENGUTUSAN (Kumpulan Karangan Dalam Rangka
Memperingati Hari Ulang Tahun Ke- 70 Prof. J. L. Abineno, 1987).
[19]. Ibid, hal. 131.
[20]. Lihat Pdt. DR. A. F. Parengkuan, Dalam, BPH
GPI (ed), Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, (Jakarta: 2005), hal.
102.
[21]. Pada waktu itu GMIM memang telah menjadi
Gereja Mandiri, namun masih dalam Perwalian di bawah naungan GPI.
[22]. Kini sekolah-sekolah tersebut telah
menjadi sekolah negeri setelah pemerintah Jepang sempat berkuasa di Nusantara.
[23]. Seperti di Kulawi misalnya, orang-orang
Rampi yang mengungsi dari Selatan pada awalnya menjadi warga jemaat pada
jemaat-jemaat GMIM, di kemudian hari mereka membentuk jemaat-jemaat GKST,
Lihat, Wajah GKST, Buku Kenangan 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso,
(Tentena: Panitia Perayaan 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso, 1992), hal. 55.
Demikian juga halnya di Palu, mereka mula-mula bergabung dalam jemaat Pniel Banua
Ntupu (dilayani GMIM) yang ada di Maesa, kemudian memisahkan diri mendirikan
jemaat-jemaat yang baru (GKST Dan Gereja Toraja).
[24]. Pada masa tersebut, malah
rumusan-rumusan dalam Tata gereja yang masih berbahasa Belanda diganti.
[25]. Baik di Parigi, Donggala dan di Palu
jemaat-jemaat dapat beribadah seperti biasa karena hubungan mereka yang baik
dengan raja-raja dan penduduk setempat yang beragama Islam yang diperlakukan
istimewa oleh Jepang kendatipun memang tetap dituntut harus tetap waspada.
[26]. M. C. Jongeling, Op. Cit. Hal. 7.
[27]. Ibid.
[28]. Demikian keterangan Pdt. DR. Beatrix
Lengkong, dalam, R. A. D. Siwu (Peny), Penugasan Agung, (Jakarta:
BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 169.
[29]. Ibid.
[30]. Yan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan
Kristen dan Islam Di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004),
hal. 292 & 298.
[31]. M. Bahar Mattalioe, Pemberontakan Meniti
Jalur Kanan, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal. 183-186. Lihat pula
Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Mudzakkar Dari Tradisi ke
DI/TII, (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1989). Hal. 260.
[32]. Raja Kulawi (Raja Djiloy)
menginstruksikan bawahannya yakni Kepala Kampung Toro yang saat itu dijabat
oleh Kadera Lagimpu untuk memberikan lahan kepada pengungsi Rampi. Perintah itu
disanggupi, dengan memberi lahan untuk didiami seperti di Bulukuku dan di Raupa
dan juga di Lauwa sekarang. Sebenarnya orang-orang Rampi ini bukanlah yang
pertama sekali memasuki daerah Kulawi, jauh sebelum pemberontakan DI/TII orang
Rampi telah memasuki Kulawi dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan suku
Kulawi.
[33]. Devia Tamma, Tongkonan Di Bumi
Tadulako, Suatu Tinjauan Historis Tentang Persekutuan Gereja Toraja Di Kota
Palu, (Palu: Skripsi STT. Marturia Palu, 2006), hal. 33.
[34]. Seperti di daerah Marawola dan Bora,
mayoritas penduduknya dahulu adalah warga Bala Keselamatan, namun akibat
pemberontakan DI/TII, kini hampir semua penduduk di daerah tersebut telah
beragama Islam. Di wilayah Kecamatan Marawola misalnya, sampai sekarang masih
dapat ditemukan sebuah kampung yang bernama “Kampung BK”, namun
penduduknya sekarang hampir tidak ada lagi orang Kristen (warga Bala
Keselamatan).
[35]. Di daerah Palolo tepatnya di desa Rahmat
sekarang masih terdapat warga Bala Keselamatan yang dulu melarikan diri dari
pengislaman DI/TII di daerah Marawola. Mereka adalah penduduk asli daerah
Donggala (suku Da’a).
[36]. Mereka yang secara paksa masuk Islam
terdapat di Ongka dan di Ogotumubu.
[37]. Mereka ini adalah orang-orang Bali yang
telah beragama Kristen.
[38]. Dahulu tempat ini disebut Pamelova
yang terletak di antara Dolago dan Nambaru. Penduduk asli meyakini tempat ini
angker sehingga dibiarkan begitu saja tanpa pernah diolah. Itulah sebabnya
mereka tidak terlalu keberatan ketika orang-orang Bali mulai membuka tempat
tersebut menjadi lahan pertanian. Namun, dikemudian hari setelah orang-orang
Bali tersebut mulai berhasil, masyarakat setempat melalui LSM lokal menggugat
lahan tersebut, untunglah persoalan tersebut dapat diatasi melalui campur
tangan pemerintah setempat. Karena di tempat tersebut banyak kayu kuning, maka
orang-orang Bali memberi nama Mas sari untuk tempat tersebut yang
berarti kayu mas.
[39]. http://infokom-sulteng.go.id/transmigrasi, diakses tanggal 12 januari 2009.
[40]. Misalnya di Tolai, seorang Kepala Desa
yakni Tumakaka malah sampai pergi ke Bali mencari orang-orang yang ingin
transmigrasi ke daerah Parigi baik yang beragama Kristen maupun yang beragama
Hindu. Setelah tiba di Tolai, mereka ini ditempatkan berkelompok-kelompok menurut
agama mereka masing-masing dengan tujuan untuk menghindari konflik yang berbau
agama.
[41]. Alasan mereka pada umumnya adalah
masalah tanah, sebab pada waktu itu ada opini yang berkembang di antara peserta
transmigrasi bahwa lokasi yang disediakan/diperuntukkan untuk orang-orang
(kelompok) kristen lebih subur dibandingkan dengan yang lain.
[42]. Lebih jelasnya, lihat R. Z. Leirissa,
PRRI PERMESTA, (Jakarta: Grafiti, 1997).
[43]. R. Z. Leirissa, PRRI Permesta
Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunisme, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1991), Hal. 110-111.
[44]. Raja Lamarauna bersama beberapa penduduk
Donggala sempat dipenjarakan di Manado, kemudian dibebaskan lagi.
[45]. Pasukan Permesta dan orang-orang
Minahasa yang terlibat dengan Permesta yang berada di Kulawi terpaksa
meninggalkan keluarga mereka dan melarikan diri melalui hutan. Gereja melayani
keluarga yang ditinggalkan tersebut beberapa waktu lamanya.
[46]. F. K. Taga, Op. Cit. Hal. 28.
[47]. Arsip Sinode GPID.
[48]. Arsip Sinode GPID, Dokumen No. 06. C.
[49]. Lihat Tata Gereja GPID Bab II pasal 5.
[50]. Arsip Sinode GPID.
[51]. Laporan kerja Majelis Sinode Tahun 2003,
hal. 29. Kini sekolah-sekolah
tersebut bernaung di bawah Yayasan Pendidikan GPID.
[52]. Sistem organisasi Jemaat-Wilayah-Sinode
berlaku di GPID hingga pada Tahun 2003, setelah itu terjadi perubahan yakni
sesuai dengan keputusan Sidang Am Sinode GPID di Sumbersari pada tahun 2003
(arsip Sinode), menjadi Jemaat-Sinode. Dalam hal ini Wilayah dihapus.
Lihat Tata Gereja GPID 2003 Bab V Pasal 9. Penghapusan Wilayah tersebut
disebabkan keterbatasan dana di GPID, seringnya komunikasi antara Sinode dengan
Jemaat hanya sampai di tingkat wilayah, seperti surat-surat dan demi
merampingkan struktur organisasi di GPID.
[53].
M. C. Jongeling, Op. Cit. Hal. 10.
[54]. Pdt. Morens Lagimpu adalah Pendeta
pertama penduduk asli daerah Donggala (Orang Kulawi). Kemudian menjadi Pendeta
ABRI.
[55]. Alasan utama penghapusan kata “di”
pada nama GPID adalah karena seringkali menimbulkan interpretasi yang keliru
dengan memahami bahwa gereja ini hanya terdapat di Donggala saja. Padahal pada
GPID sendiri melayani bukan hanya di Donggala saja melainkan di Kabupaten
Donggala. Selanjutnya kata “Donggala” diartikan bukan lagi menunjukkan tempat
tetapi adalah sebuah nama.
[56]. Lihat Peraturan Dasar GPID Bab I Pasal
1.
[57]. Pasal 3
[58]. “Wilayah” dimengerti sebagai suatu
persekutuan dari beberapa Jemaat yang karena tempat dan lingkungannya merupakan
satu wilayah pelayanan dalam lingkungan GPID. Wilayah, dalam hal ini dilayani
oleh Majelis Wilayah. Lihat Tata Gereja GPID 1986 Bab IV Pasal 7 ayat 2.
[59]. Lihat Bahasan di atas.
[60]. Pada awalnya di GPID jabatan Diaken
seperti yang digunakan saat ini masih menggunakan istilah “Syamas”. Penggantian
Syamas menjadi Diaken mempunyai alasan yang menarik yakni bahwa pada sebuah
kesempatan di salah satu Jemaat di wilayah Parigi Selatan yakni pada tahun 1987
Pdt. Tomy Malonda (Sekretaris Sinode 1984-1988) ditertawakan oleh seorang ibu
warga jemaat (Suku Bali) karena memanggil seorang Syamas. Setelah ditelusuri,
ternyata ibu tersebut tertawa karena “Samas” yang dalam
pengucapannya hampir sama dengan “Syamas”, dalam bahasa daerah Bali berarti
Empat ratus. Untuk lebih menghormati jabatan pelayanan ini
terutama di kalangan jemaat Bali, maka kata “Syamas” kemudian diganti
dengan “Diaken” dan mulai digunakan pada tahun 1988. Penggantian ini
juga didasarkan bahwa kata Diaken lebih Alkitabiah dan lebih sering ditemukan
dalam Alkitab. Penatua dan Syamas dipilih oleh sidi-sidi jemaat dan diurapi
oleh Pendeta, sedangkan Pendeta, karena jabatannya langsung menjadi Majelis
jemaat.
[61]. Mereka-mereka inilah yang disebut
sebagai “Pendeta angkatan” seperti yang pernah dikenal di GPID.
[62]. Pada tahun 1988 jabatan wakil
ketua Sinode diadakan lagi setelah tahun tersebut Ketua Sinode meninggal dunia
sebelum masa kerjanya berakhir, maka terjadilah Pejabat sementara untuk
menggantikan Ketua sinode tersebut. Untuk itu diadakanlah Sidang Am Istimewa
untuk memilih Pejabat Ketua Sinode Sementara.
[63]. M. C. Jongeling, Hal. 12.
[64]. Arsip Sinode tahun 2003.
[65]. Seperti halnya di Onu dan di Sigega.
Pekabaran Injil selanjutnya dimulai kepada suku Da’a pada tahun 1986.
[66]. Mereka antara lain: B. Rumangkang
(seorang Penatua), Filipus dan Kambuan.
[67]. Karena faktor geografis yang sangat jauh
dan terbatasnya dana yang dimiliki GPID, maka jemaat GPID yang terdapat di
Kalimantan tersebut dikemudian hari diserahkan kepada GPIB.
[68]. Seperti halnya di Oti.
[69]. Orang-orang Sangihe di Kopi semula
adalah pengungsi akibat meletusnya gunung merapi Siau. Mereka pertama-tama
mengungsi ke Londoun di mana saudara-saudara mereka telah lebi dulu menetap di
sana, yakni sejak zaman kolonial Belanda tahun 1939. Mereka termasuk dalam
proyek kolonisasi pemerintah Belanda.
[70]. Pdt. M. Lumolos sebagai Pembantu rektor
I Akademi Theologia GPID dan menjalankan tugas penuh sebagai rektor adalah
seorang tamatan dari Akademi Theologia GMIM Tomohon pada tahun 1966. Pdt. M.
Lumolos diutus oleh GMIM sebagai tenaga bantu ke GPID.
[71]. Materi Sidang AM XVIII Sinode GPID tahun
2003, Arsip Sinode.
[72]. Arsip Sinode tahun 2003.
[73]. Dalam Tata Gereja GPID tahun 2003 telah
diatur tentang Pendeta yang serendah-rendahnya lulusan pendidikan Theologia
yang diakui oleh GPID. Lihat Tata gereja GPID 2003 Peraturan tentang
Pelayan-pelayan Khusus Bab II pasal 3 dan pasal 11.
[74]. Kumpulan-kumpulan yang dimaksud adalah
seperti Ibadah rumah tangga, Pelayanan kategorial.
[75]. Seperti halnya Gereja Kristen Sulawesi
Tengah.
[76]. Lihat laporan kerja Majelis Sinode
Harian GPID pada sidang Am Sinode XVI GPID, tanggal 24-31 Oktober 1993 di Palu.
[77]. Arsip Sinode GPID.
[78]. Yang dimaksud dengan “Bagian Mandiri”
ialah bahwa gereja-gereja tersebut mengurus tata gereja masing-masing. Lihat,
BPH GPI, Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, hal. vi.
[79]. Lihat Tata Gereja GPID Tahun 2003.
[80]. Keanggotaan GPID di DGI mulai efektif
sejak tanggal 1 Januari 1970. Lihat M. C. Jongeling, Hal. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar