Rabu, 26 Februari 2014

bendrio sibarani: TUGAS PANGGILAN GEREJA

bendrio sibarani: TUGAS PANGGILAN GEREJA: TUGAS PANGGILAN GEREJA [1] Pdt. Bendrio P. Sibarani, M. Teol I.        Pengantar             Berbicara tentang Tugas Panggilan...

TUGAS PANGGILAN GEREJA



TUGAS PANGGILAN GEREJA[1]
Pdt. Bendrio P. Sibarani, M. Teol

I.       Pengantar
            Berbicara tentang Tugas Panggilan Gereja, bukan lagi pembicaraan yang asing bagi kita sekalian, khususnya kita sebagai para Pelayan, baik Majelis Jemaat maupun Pengurus-pengurus Pelka. Ketika mendengar Tugas Panggilan Gereja, pastilah terbesit di ingatan dan pikiran kita, tugas itu ialah dalam hal; Persekutuan (Koinonia), Kesaksian (Marturia) dan Pelayanan (Diakonia) atau yang biasa disebut “Tri Tugas Panggilan Gereja”. Meskipun tiga tugas Panggilan Gereja ini sudah bukan kata atau istilah yang asing dalam kehidupan bergereja, akan tetapi pemaknaan dan pemahaman serta dalam aksi, tugas panggilan gereja tersebut masih merupakan proses yang diharapkan selalu dinamis sehingga dalam melaksanakan dan mewujudkan tugas pelayanan tersebut para pelayan Tuhan selalu menuju pada kesempurnaan melayani Tuhannya.
Dalam Tata Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)[2], Tugas panggilan Gereja ini diuraikan dengan jelas pada Peraturan-peraturan Dasar Bab VI Pasal 10;
Tugas Panggilan:
1.      Mewujudkan persekutuan atas dasar Yesus Kristus, baik untuk seluruh jemaat GPID Maupun dengan Gereja-gereja di Indonesia dan seluruh dunia (Koinonia)
2.      Memberitakan Injil Kerajaan Allah Kepada semua bangsa dan segala mahluk (Marturia)
3.      Melaksanakan pelayanan kasih kepada semua orang dan segala Mahluk (Diakonia)
Demikian juga halnya dalam tugas panggilan Pelayanan Kategorial[3]. Dengan  demikian, jelas bahwa mengenai Tugas Panggilan Gereja telah dimuat dengan jelas dalam Tata Gereja GPID. Untuk menyegarkan pemahaman kita kembali tentang Tugas Panggilan Gereja, baiklah kita menyimak Makalah sederhana ini. 

II.       Tugas Panggilan Gereja
a.      Apa itu Tugas?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ Tugas” diartikan sebagai: Kewajiban yang harus dikerjakan, pekerjaan yang merupakan tanggungjawab; pekerjaan yang dibebankan; perintah untuk berbuat atau melakukan sesuatu”.[4] Dalam hubungannya dengan Gereja, maka dapat dipahami bahwa Tugas merupakan; kewajiban atau tanggungjawab yang harus dilakukan oleh setiap Orang percaya sesuai dengan maksud dan tujuan yang memberikan tugas tersebut, yaitu Tuhan Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja.
b.      Panggilan
Kata “ Panggilan” berasal dari kata “Panggil”. Dalam hal ini, Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala Gerejalah yang memanggil kita Gereja-Nya untuk Datang kepada-Nya, kemudian pergi bagi Dia. Jadi, “Panggilan”  dapat dipahami sebagai tindakan memberi diri secara total kepada Tuhan Yesus bukan hanya untuk datang kepada-Nya, tetapi juga untuk pergi bagi Dia (Pemanggilan dan pengutusan). Panggilan juga harus dipahami sebagai ajakan, undangan untuk melakukan sesuatu pekerjaan sesuai dengan kehendak yang memanggil, yakni Tuhan Yesus Kristus. 

c.       Gereja
Gereja (ekklesia) yang berarti sidang, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban pada umumnya (seperti di kampung, di kota atau negara). Kata ini juga yang kemudian dipakai gereja untuk menamai kelompok orang yang percaya kepada Kristus setelah peristiwa salib dan kebangkitan Yesus Kristus[5].
Menurut Robertus Belarminos, Gereja adalah suatu bentuk manusia yang khusus.[6]  Kata “Gereja” yang dipakai sekarang dan digunakan secara luas dalam masyarakat Indonesia sesungguhnya berasal dari bahasa Portugis[7] yakni “Igreja” yang berarti “persekutuan”. Gereja juga diyakini oleh orang-orang Kristen sebagai wahyu dari Tuhan dalam arti yang sesungguhnya[8], artinya Gereja adalah sesuatu yang benar-benar difirmankan oleh Allah untuk dijadikan sebagai alat pemersatu dan sekaligus perekat semua orang Kristen (pengikut Yesus Kristus).
Menurut John Titaley, Gereja adalah organisasi keagamaan “universal” yang baru bermakna dalam konteks sosial tertentu, walaupun secara teologis bisa dirumuskan sebagai mitra kerja Allah yang ditempatkan dalam suatu konteks sosial tertentu.[9] Gereja juga adalah praeformasi atau bentuk pendahuluan dari pada umat manusia yang baru, gereja menuju kepada penyataan yang sepenuhnya dari kerajaan Allah yang hidup dari dan dalam abad kebangkitan.[10] Gereja harus dipahami sebagai sebuah terminologi yang mengikat pada masa dahulu, kini dan pada masa yang akan datang.

1.      Gereja Sebagai Persekutuan Orang Percaya
Gereja sebagai persekutuan orang percaya merupakan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang berbasis dan bertumpu pada ajaran-ajaran Injil yang mengikat erat anggotanya dalam iman seorang dengan yang lain. Persekutuan Kristen pertama kali dikenal dengan sebutan “Kristen” adalah di Antiokhia yakni di daerah Siria (Kisah Para Rasul 11: 26). Orientasi kehidupan bergereja adalah Yesus Kristus, yang melakukan kehendak Allah di dalam kebenaran dan kebangkitan Yesus, di mana orang percaya dibangkitkan pada kehidupan baru  ( Roma 6 : 4).
Gereja sebagai persekutuan orang percaya juga harus dipahami sebagai persekutuan dengan Kristus. Jikalau dalam suatu gereja Kristen persekutuan itu tidak ada, maka Gereja tersebut tidak berhak disebut gereja.[11] Akan tetapi persekutuan dengan Kristus itu tidak dapat dipisahkan pula dengan persekutuan dengan sesama. Menurut Emill Bruner, “Secara vertikal hubungan itu diwujudkan di dalam persekutuan dengan Allah, secara horizontal diwujudkan di dalam persekutuan dengan sesama orang beriman (persaudaraan)”.[12] Tuhan Allah sesungguhnya tidak hanya memanggil gereja sebagai gereja bagi diri sendiri dan tersendiri, tetapi sebagai gereja yang hidup dan berjuang melayani, dalam dan dengan sekitarnya. Gereja tidak akan mungkin dapat hidup menikmati kesejahteraan total di atas kehancuran dunia sendirian, kalau dunia sekitar hancur lebur, luluh lantak, gerejapun pada akhirnya akan luluh berguguran dan akan lebur juga.[13] Karena itu gereja berada di dalam dunia tetapi bukan dari dunia, diutus untuk menjadi alat menghadirkan syalom di tengah-tengah dunia.

2.      Gereja Sebagai Tubuh Kristus
Perjanjian Baru menggunakan beberapa metafora yang berbeda-beda yang menjelaskan arti dan fungsi gereja. Gereja disebut “Tubuh Kristus” (1 Kor. 10: 27; 12: 27; Ef. 1: 23; 4: 15; Kol. 1: 24), di mana orang dimasukkan ke dalamnya melalui babtisan dan perjamuan kudus.  Menurut H. Hadjiwijono, Gereja tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri, melainkan dipanggil untuk menjadi sarana berkembangnya kerajaan Allah.[14] Sering terlihat bahwa di dalam hidup sehari-hari gereja sebagi lembaga belaka, sebagai organisasi dengan segala kesibukannya, kebaktian hari Minggu, katekisasi, penyelidikan Alkitab, komisi-komisi umur dan kesibukan lainnya. Dalam konteks seperti ini, banyak orang memahami bahwa hubungan dengan Yesus Kristus sang kepala Gereja hanyalah hubungan individual semata, seperti yang sering dipahami kalangan kharismatik. Menurut E. G. Singgih, perkembangan pemahaman seperti ini di dalam jemaat, akan berakibat kurang baik dan akan mengakibatkan makin mengaburnya nilai-nilai hakiki dari pengertian Gereja sebagai “Persekutuan orang percaya dari segala abad dan sepanjang zaman yang bergerak menuju kerajaan sorga seperti yang terdapat dalam pengakuan iman Kristen”.[15]  Dengan kata lain, kata Panenberg, karya Kristus Tuhan pada manusia adalah untuk mengarahkan gereja kepada kerajaan Allah yang mengatasi gereja.[16] Karena itu gereja haruslah dipahami sebagai persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus yang berada di dalam dunia sedang bergerak ke depan secara bersama-sama menuju kepada satu tujuan.



1.      Koinonia (bersekutu)
Koinonia berasal dari bahasa Yunani “Koinon” yaitu: Koinonein artinya bersekutu, Koinonos artinya teman, sekutu, Koinonia artinya persekutuan. Kata: ”Koinonia” baik dalam Alkitab, maupun dalam masyarakat Yunani pada waktu itu tidak terbatas pada salah satu pengertian saja, melainkan mempunyai arti yang luas sesuai dengan konteksnya. Di Kalangan masyarakat Yunani kata “koinonia” seringkali dipakai untuk mengambarkan hubungan manusia dengan ilah-ilah. Hubungan itu dibayangkan sebagai hubungan antar teman (koinonos). “Koinonein” berarti bergaul secara akrab dengan ilah-ilah, supaya mencapai hubungan mistik yang membawa kepada kebahagiaan yang hebat. Itulah sebabnya dalam Septuaginta, kata “koinonia” tidak pernah mengambarkan hubungan antara Allah dengan manusia. Di dalam PL kata “hamba” (Ibr: ebed) dipakai, bukan teman untuk menggambarkan hubungan Allah dengan manusia. Manusia adalah hamba Allah. Allah sebagai khalik dan manusia sebagai mahluk. Namun dalam Perjanjian Baru ada perubahan: karena melalui Yesus Kristus manusia dapat dipersatukan kembali dengan Allah. Dalam Kristus, Allah datang dan menemui manusia.
Dalam PB kata “Koinonia” mempunyai beberapa pengertian :
Ø   Mengambil bagian bersama-sama dengan orang lain dalam sesuatu.
Lukas 5: 10; waktu Tuhan Yesus menyuruh murid-murid menjala ikan, maka mereka melaksanakan perintah Tuhan. Mereka mendapat banyak ikan. Karena banyaknya, mereka semua harus mengambil bagian dalam hal menarik jala. Di sini koinonia sebagai persekutuan para pekerja. Dalam I Kor 10: 16…, arti persekutuan (koinonia) adalah mengambil bagian dalam penderitaan dan kematian Yesus Kristus di dalam persekutuan Perjamuan Kudus.
Ø   Memberi bagian kepada seseorang
Sebagai contoh untuk memahami kononia dalam lingkup ini, Filipi 4: 15 kata “mengadakan perhitungan” adalah terjemahan dari kata koinonein dalam arti memberi bagian. Paulus memberi jemaat Filipi bagian dalam mengabarkan Injil, sedangkan jemaat Filipi tanpa diminta memberi Paulus bagian untuk penghidupannya. Itulah salah satu segi dari persekutuan yaitu saling memberi bagian kepada orang lain.
Ø  Koinonia sebagai Persekutuan penuh (absolut)
Dalam Galatia 2: 9, digambarkan bahwa Paulus dan Bernabas dengan berjabatan tangan sebagai tanda persekutuan diterima secara penuh dalam persekutuan yang dijadikan oleh iman bersama kepada Kristus. Tanda hubungan erat antara kedua belah pihak, bahwa mereka bersekutu dalam Kristus. Jadi koinonia (persekutuan) mempunyai dasar dan tujuan yang berasal dari Yesus Kristus. Dasar dan tujuan ini tidak dapat diganti dengan dasar dan tujuan yang lain. Jikalau persekutuan ini menganti dasar, yang sudah diletakkan oleh dan di dalam Yesus Kristus maka persekutuan ini kehilangan hakekatnya dan secara azasi bukan persekutuan (koinonia) lagi. Koinonia adalah persekutuan jemaat di dalam Kristus, walaupun banyak anggota namun membentuk satu tubuh Kristus. Di dalam Koinonia ini kita tidak hanya sekedar bersekutu, tetapi kita mengambarkan Injil Kerajaan Allah melalui perkataan/kesaksian (Marturia) maupun perbuatan /pelayanan (Diakonia) di mana dan kapan saja.

2.      Marturia
Berasal dari bahasa Yunani: “Marturia” : Kesaksian. “Marturein”: Bersaksi. Marturein dalam Perjanjian Baru memberi arti antara lain:
Ø  Memberi kesaksian tentang fakta atau kebenaran (Lukas 24: 48; Matius 23: 31)
Ø  Memberi kesaksian baik tentang seseorang (Lukas 4: 22; Ibr 2: 4)
Ø  Membawakan khotbah untuk Pekabaran Injil (Kis 23:11) di sini bersaksi sebagai istilah pengutusan/Pekabaran Injil.
Meskipun Kita bukanlah saksi mata dari karya penyelamatan Yesus Kristus, tetapi kitalah saksi keyakinan (iman), dengan demikian hidup kita harus berdasarkan iman tersebut. Allah mengutus anak-Nya Yesus Kristus, Kristus pun mengutus murid-murid-Nya ke dalam dunia (Yoh 20: 21), supaya kabar keselamatan (Injil) diproklamirkan. Tugas ini diberikan Allah kepada setiap orang yang percaya dengan karunia masing-masing, agar dapat diwujudkan dalam perkataan dan perbuatan.


3.      Diakonia (Pelayanan)
Secara harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Dalam bahasa Ibrani pertolongan, penolong, ezer dalam Kej. 2: 18, 20; Mzm. 121: 1. Diakonia dalam bahasa Ibrani disebut syeret yang artinya melayani. Dalam terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia disebutkan diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), dan diakonos/diaken (pelayan)[17]. Istilah diakonia sebenarnya, sudah terlihat sejak dari Perjanjian lama. Dalam Kitab Kejadian jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada (Ex Nihilo) dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31)[18]
Dalam Perjanjian Baru, di samping kata-kata ini terdapat 5 kata lain untuk melayani, masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata melayani yaitu:[19]
  1.  Douleuein, yaitu melayani sebagai budak. Kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi manusia jika ia dalam keadaan bebas. Perjanjian Baru, mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada masa itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat arti religius. Orang Kristen adalah budak Tuhan Allah atau hamba Kristus Yesus (Rom. 1:1). Itu sesungguhnya merupakan suatu gelar kehormatan. Seorang Kristen tidak melakukan keinginan dan rencananya sendiri, tetapi keinginan dan rencana Tuhan Yesus yang telah melepaskannya dari belenggu dosa dan dengan demikian sudah membebaskannya.
  2.  Leitreuein, yaitu melayani untuk uang. Kata bendanya latreia (pelayanan yang diupah) juga dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dalam PL, yaitu Septuaginta (LXX), kata ini terdapat kurang lebih 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan pada khususnya untuk pelayanan persembahan . Juga dalam Perjanjian Baru, kata ini menunjukkan pelayanan untuk Tuhan Allah atau dewa-dewa, tidak pernah untuk saling melayani manusia. Roma 12:1 menyebutkan logike latreia (ibadah yang sejati). Melayani Tuhan dengan tubuh, yaitu dengan diri sendiri dalam keberadaan yang sebenarnya adalah ibadah yang sesungguhnya dalam hubungan baru antar Kristus dan manusia.
  3. Leitourgein yaitu dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayanan umum bagi kesejahteraan rakyat dan negara. Dalam LXX arti sosial politik ini terutama dipakai di lingkungan pelayanan di kuil-kuil. Dalam Perjanjian Baru (khususnya surat Ibrani), kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam besar Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Kor. 9:12, kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata liturgi, yaitu suatu kata ibadah dalam peretemuan jemaat.
  4.  Therapeuein yaitu menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin. Kata ini juga di tempat lain, dipakai sebagai sinonim dari menyembuhkan.
  5. Huperetein yaitu menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa pekerjaan  itu dilakukan. Kata ini berarti si pelaksana memperhatikan instruksi si pemberi kerja.
Dari semua kata di atas yang artinya saling berkaitan, kelompok kata diakonein mempunyai nuansa khusus, mengenai pelayanan antarsesama yang sangat pribadi sifatnya. Kata-kata tersebut di atas di sana-sini menunjukkan arti diakonal. Ada hubungan antara liturgi dan diakonia, sementara therapeuo dalam arti perawatan orang sakit erat kaitannya dengan apa yang dimaksudkan dengan diakonia.[20]
Secara umum, adapun model-model/ bentuk-bentuk diakonia dalam gereja terbagi atas tiga jenis, antara lain:
  1. Diakonia Karitatif. Diakonia karitatif mengandung pengertian perbuatan dorongan belas kasihan yang bersifat kedermawanan atau pemberian secara sukarela. Motivasi perbuatan karitatif pada dasarnya adalah dorongan prikemanusiaan yang bersifat naluriah semata-mata. Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan karitatif atau amal berdasar pada Mat. 25:31-36. Model ini merupakan model yang dilakukan secara langsung, misalnya orang lapar diberikan makanan (roti).[21]Diakonia ini didukung dan dipraktikkan oleh instansi gereja karena dianggap dapat memberikan manfaat langsung yang segera dapat dilihat dan tidak ada risiko sebab didukung oleh penguasa. Diakonia jenis ini merupakan produk dan perkembangan dari industrialisaasi di Eropa dan Amaerika Utara pada abad ke-19.
  2. Diakonia Reformatif atau Pembangunan. Model diakonia ini lebih menekankan pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah Community Development  seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam, dan lain-lain. Analogi model ini adalah bila ada orang lapar berikan makanan (roti, ikan) dan pacul atau kail supaya ia tidak sekedar meminta tetapi juga mengusahakan sendiri.[22] Pada jenis ini, diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian, tetapi mulai memberikan perhatian pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman modal pada kelompok masyarakat.
  3. Diakonia Transformatif. Dalam perspektif ini, diakonia dimengerti sebagai tindakan Gereja melayani umat manusia secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi-sektoral (ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama). Diakonia bukan lagi sekedar tindakan-tindakan amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan) yang dilakukan oleh Gereja melainkan tindakan-tindakan transformatif yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya yang menandakan datangnya Kerajaan Allah. Diakonia ini bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian dan lain-lain, tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup.[23] Diakonia transformatif  atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka. Artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.
Demikianlah secara umum uraian tentang Tugas Panggilan Gereja. Walaupun tugas panggilan tersebut dapat diuraikan menjadi tiga pokok, namun harus diketahui dan dipahami bahwa ketiga tugas Panggilan Gereja tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, di mana orang percaya bersaksi dan melayani, di sana pula ia mesti bersekutu, juga sebaliknya. Di beberapa Gereja ada lagi satu tugas yang biasa disebut, yakni; Didaskhein (Pengajaran), dalam hal ini adalah Pengajaran Agama Kristen. Tugas yang satu ini tidak kalah penting dengan tiga tugas panggilan yang disebut di atas. Pengajaran Agama Kristen adalah juga bagian yang tidak terpisahkan dari ketiga Tugas Panggilan Gereja (Bersekutu, Bersaksi dan Melayani)[24].

III.             Penutup
Demikianlah secara umum mengenai Tugas Panggilan Gereja. Semoga Paper sederhana ini berguna memotivasi kita untuk lebih mendalami hakekat tugas Panggilan kita dalam melayaniNya melalui Pelayanan Kategorial di jemaat-jemaat-Nya. Tuhan Memberkati.                               














Abo, Februari 2014


[1] . Disampaikan Pada Kegiatan Pembinaan KOMPELKA BIPRA GPID, Rayon Pantai Barat, Jumat, 21  
    February 2014
[2] . Majelis Sinode GPID, Tata Gereja GPID, (Palu: Sinode GPID, 2012)
[3] . Lihat Tata Gereja GPID, Peraturan Tentang Pelayanan Kategorial Bab I Pasal 2
[4] . Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gitamedia Press,tt), pada kata “Tugas”
[5]. B. S. Mardiatmadja, Ekklesiologi Makna dan Sejarahnya, (Jogjakarta: Kanisius, 1991), hal. 56-57 
[6] . Lihat Abery Dulles, Model-model Gereja, (Ende: Nusa indah, 1990), hal. 16.
[7] . JS. Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1996), di bawah  kata “Gereja”
[8] . W. L. Welhig, Sejarah Gereja Kristus 1, (Yogjakarta: Kanisisus, 1972), hal. 8
[9] . Weinata Sairin- J. M. Pattiasina (peny), Op. cit. , hal. 36
[10] .J. Verkuyl, Ras, Bangsa, Gereja Negara, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1958), hal. 263
[11] . H. Berkhof-I. H. Enklar, Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK. Gunung mulia, 2000), hal. vii
[12] . Harun Hadjiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke- 20, (Jakarta: BPK. Gunung mulia, 2000), hal. 46
[13] . Soegeng Hardianto dalam,  Agama dan Dialog, Balitbang PGI (Peny), (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
     2001), hal. 233-235.
[14]. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika; Suatu kompendium singkat, (Jakarta: BPK. Gunung  Mulia,
                    1993), hal. 182
[15] . Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi, (Yogjakarta: Taman Pustaka Kristen, 1997), hal. 5
[16] . Abery Dules, Op. cit. , hal. 97
[17].  Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 2
[18].  W.S. Lassor, Pengantar Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001), hal. 122
[19].  Noordegraaf, Op. Cit., hal. 2
[20]. Ibid., hal. 3   
[21]. Novembri Choeldahono, “Gereja, Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif” dalam     
     Agama Dalam  Praksis, Th. Kobong (Ed.), (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2003), hal. 48-49
[22]. Ibid., hal. 50-51
[23]. Ibid. , hal. 53
[24]. Di GPID, Tugas Yang satu ini tidak diuraikan terpisah dengan Tri Tugas Panggilan Gereja lainnya.