Rabu, 14 November 2012

bendrio sibarani: perempuan dan teologi

bendrio sibarani: perempuan dan teologi: NEKSUS NEGARA DAN PEREMPUAN Oleh Pdt. Bendrio P. Sibarani, M. Teol             Persoalan bagaimana perempuan menempatkan diri terce...

perempuan dan teologi


NEKSUS NEGARA DAN PEREMPUAN
Oleh Pdt. Bendrio P. Sibarani, M. Teol

            Persoalan bagaimana perempuan menempatkan diri tercermin dari penerimaan atau penolakan perempuan terhadap citra yang dilekatkan oleh pihak eksternal terhadap dirinya atau posisi yang diberikan terhadap dirinya, baik di ranah domestik maupun di ranah publik. Dalam hal ini ada dua macam sikap perempuan, yakni :
1. Perempuan yang pasrah dan bahkan menikmati pembatasan-pembatasan
                struktural atau kultural terhadap mereka.
            2. Perempuan menolak dan memberontak kemudian berjuang untuk
                memperoleh hak-haknya sebagai manusia yang utuh.
Penempatan atau pemosisian perempuan oleh Negara tercermin dari pikiran dan perilaku para negarawan dan birokrat politik dan juga kebijakan - kebijakan negara atau dengan kata lain politisi, birokrat dalam negara menentukan dan sangat mempengaruhi posisi perempuan dalam Negara.

Agama dan Tradisi
            Agama ( karena di dalam kitab – kitab suci klasik perempuan dituntut untuk tunduk kepada laki – laki ) dan tradisi sangat mempengaruhi pemosisian perempuan, Perempuan bisa terkontruksi menjadi makhluk yang tunduk yang pada akhirnya posisinya hanya di ranah domestik. Tetapi agama dan tradisi juga dapat merekontruksi posisi tersebut dengan cara rekontruksi pemikiran keagamaan atau redefinisi nilai – nilai sosial di masyarakat sehingga terbangun sistem nilai yang adil antara perempuan dan laki – laki.
    
Simbolisasi Perempuan
            Simbol-simbol yang terbangun di dalam masyarakat juga mempengaruhi pemosisian perempuan. Namun simbolisasi tersebut seringkali dimanfaatkan oleh laki-laki hanya sekedar pemanis untuk menenangkan perempuan atau sebagai pembungkus nilai-nilai patriarki. Secara simbolik sebenarnya perempuan mendapat posisi yang terhormat dalam imajinasi orang Indonesia, yakni sebutan persada nusantara dengan “ ibu pertiwi “  demikian juga di jawa yang meyakini Dewi Sri sebagai lambang kesuburan tanah pertanian. Dalam hal ini tanah dimaknai sebagai entitas yang bersifat feminis. Pengakuan dan penghargaan yang tercermin di dalam simbolisasi perempuan seringkali dibelokkan untuk memberi penegasan bahwa tempat yang cocok bagi perempuan adalah rumah. Konsekuensi ekstrim dari pembelokan seperti ini adalah perempuan tidak layak masuk ke ranah publik sebab itu adalah dunianya laki – laki. Kalaupun perempuan mau masuk ke ranah publik, ranah domestik haruslah tetap menjadi peran primernya. Di situlah perempuan menerima beban ganda selain pencari nafkah rumah tangga ia juga tetap ibu rumah tangga. Pengotakan perempuan di ranah domestik ini diperkuat dengan munculnya idiom tentang perempuan yang bersifat denotative (merendahkan derajat). Perempuan juga kadangkala dijadikan property dan simbol kekayaan laki-laki seperti halnya yang terjadi di dalam kebudayaan jawa. Demikian juga halnya ketika perempuan dijadikan objek pemuasan hedonisme seks laki-laki (contohnya yang terjadi di dalam kerajaan jawa tempo dulu).

Kartini: Simbol Emansipasi Perempuan
             Sosok Kartini pantas dibicarakan dalam rangka berbicara tentang gerakan perempuan di negeri ini. Walaupun sebenarnya Kartini tidak membuat gerakan emansipasi secara langsung, tetapi dari surat menyurat yang dilakukannya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda telah melahirkan inspirasi yang sangat berharga bagi gerakan emansipasi perempuan dikemudian hari. Di dalam surat-suratnya tersebut tersirat gagasan progresif dan revolusioner tentang emansipasi. Kartini terobsesi mengeluarkan perempuan dari penjara domestik dan menjadikan perempuan sebagai manusia utuh sama dengan laki-laki. Untuk itu perempuan harus belajar menjadi manusia produktif, menjadi subjek bukan objek. Lahirnya gerakan perempuan-perempuan (poetri mardiko, wanita oetomo, aisyia, dll, terutama dengan kongres perempuan I 1928 di Yogyakarta) merupakan pengejawantahan dari perjuangan Kartini sebelumnya.

Strategi Perjuangan Perempuan
            Perjuangan perempuan dimulai dengan apa yang dinamakan sebagai gerakan perempuan dalam pembangunan ( women in development ) yang dominan pada akhir dekade 1960-an dan sepanjang dekade 1970-an. Gerakan ini menawarkan strategi pembangunan yang meletakkan perempuan sebagai aset dan sasaran, bukan beban pembangunan. Dengan meningkatkan produktivitas, pendapatan perempuan dan kemampuannya dalam mengatur rumah tangga serta mengintegrasikan perempuan dalam proyek dan hal lainnya telah meningkatkan angka partisipasi perempuan dalam proses pembangunan, akan tetapi tidak dalam tingkat keberdayaan mereka. Dengan kata lain konsep kesetaraan gender belum ditonjolkan dan gerakan ini belum diarahkan terhadap struktur dan kultur sosial yang bias gender.
            Perjuangan selanjutnya diwujudkan dalam strategi Gender dan pembangunan (Gender and development). Gerakan ini populer pada dekade 1980-an yang didasarkan pada anggapan bahwa persoalan dalam pembangunan adalah adanya hubungan gender yang tidak adil. Untuk itu isu-isu gender sangat perlu untuk di kedepankan dalam memerangi ketidakadilan. Gerakan ini menghasilkan hal penting yakni diterimanya konvensi global anti segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pengesahan undang-undang no. 8 tahun 1978 oleh pemerintah merupakan  langkah maju yang menunjukkan diterimanya konvensi tersebut. Lahirnya platform for action  tahun 1985 dalam konferensi PBB di Beijing memperkuat strategi ini. Sehingga gender diharapkan menjadi arus utama dalam pembangunan.

Kepedulian Negara Terhadap Perempuan
       Kepedulian negara terhadap perempuan sudah nampak sejak dari pemerintahan Sukarno yakni diberinya hak-hak termasuk dalam politik bukan hanya memilih tetapi juga untuk duduk di parlemen. Demikian juga dalam masa pemerintahan Suharto, perempuan mengalami kemajuan yang berarti dengan dibentuknya  satu lembaga dalam pemerintahan dengan nama kementerian muda urusan wanita yang kemudian beberapa kali mengalami perubahan nama dan peningkatan perannya. Perubahan ini lebih nyata ketika dibentuknya menteri negara pemberdayaan perempuan pada tahun 2000. Selanjutnya atas kinerja kementerian ini lahirlah inpres no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender yang tercermin melalui kebijakan-kebijakan negara (salah satunya dalam strategi nasional penanggulangan kemiskinan).

Peran Masyarakat Sipil
            Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewakili masyarakat sipil juga turut memperjuangkan kesetaraan dan mengatasi persoalan tentang perempuan. Banyaknya LSM yang berkecimpung dalam perjuangan perempuan membuktikan bahwa masyrakat sipil pada dasarnya telah memainkan peran penting dalam memperjuangkan perempuan.

Kemajuan Perempuan
            Harus diakui bahwa perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan, akan tetapi pada tingkat tertentu masih terdapat banyak ketimpangan gender. Dalam bidang pendidikan misalnya, partisipasi perempuan dan laki – laki  telah sama dalam pendidikan dasar, tetapi pada pendidikan yang lebih tinggi gap laki-laki dengan perempuan semakin nampak. Demikian juga dalam kesehatan. Perempuan telah memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik, tetapi dalam keselamatan ibu  melahirkan  masih nampak jumlah kematian yang cukup tinggi demikian juga aborsi yang dilakukan masih banyak menghilangkan nyawa perempuan. Di ranah publik kelihatan bahwa perempuan telah banyak berkarya, namun jika dibandingkan dengan laki-laki tetap saja masih ada ketimpangan yang menyolok. Demikian juga menyangkut upah kerja, perempuan masih menerima diskriminasi dimana upah kerja laki-laki tetap lebih tinggi dari upah kerja perempuan.

Tanggapan

A. Mengenai ajaran agama yang bisa menjadi faktor yang meminggirkan perempuan berdasarkan ajaran agama menurut isi kitab-kitab klasik pada dasarnya adalah hal yang perlu diluruskan. Pertanyaannya adalah benarkah ajaran agama bermaksud demikian ataukah penganut-penganut agama tersebut yang menafsirkannya demikian ataukah pula penganut-penganut (laki-laki) agama yang menjadikan ayat-ayat kitab sucinya melegalkan tindakannya untuk mendiskriminasikan perempuan demi kepentingannya? Sebab ajaran agama perlu ditafsirkan sedemikian rupa baik berdasarkan teks kitab suci maupun konteksnya. Demikian juga halnya dengan tradisi. Tradisi terbangun dalam budaya (patriarkhi) yang dipengaruhi oleh berbagai sistem nilai yang di dalamnya juga agama berada. Jadi ketika ajaran agama diyakini melegalkan pendiskriminasian perempuan, maka pada tradisipun demikian.

B. Pemosisian perempuan yang nampak di dalam masyarakat berdasarkan simbolisasi yang makna sebenarnya hendak menjelaskan posisi perempuan yang yang terhormat, memang sangat dipengaruhi oleh pemaknaan simbol. Kenapa hal ini terjadi, menurut kami adalah bahwa simbolisasi perempuan seperti yang diuraikan malah dianggap kalimat perumpamaan yang mengandung makna yang lain dan ditafsirkan menurut kepentingan masig-masing orang. Di sini lagi-lagi terjadi interpretasi yang keliru atau mungkin disengaja. Kalaupun simbolisasi tersebut diakui, tetapi kerapkali itu di lakukan hanya sekedar lips service untuk menenangkan perempuan.

C. Mengenai strategi perjuangan perempuan pada dasarnya terletak pada bagaimana kesungguhan perempuan melakukannya. Perempuan sebenarnya berjuang untuk merobah sistem dan menghancuran interpretasi yang keliru dari laki-laki terhadap posisi mereka. Gerakan perempuan dalam pembangunan pada akhir dekade 1960-an dan di sepanjang 1970-an yang merupakan strategi mereka dianggap kurang berhasil, terutama dalam keberdayaan. Kenapa ini terjadi, sebab perempuan kelihatannya dalam perjuangannya melupakan konsep kesetaraan atau dengan kalimat lain bisa dikatakan bahwa perempuan kurang memikirkan posisi mereka dengan laki-laki dalam strategi pembangunan tersebut. Selanjutnya, gerakan gender dan pembangunan yang dilakukan perempuan patut diacungkan jempol tetapi harus diakui bahwa gerakan ini perlu dipahami dengan seksama baik oleh perempuan sendiri terlebih oleh laki-laki sehingga gender tidak diartikan sebagai sebuah gerakan yang hendak memposisikan diri di atas laki-laki melainkan untuk mensejajarkan diri dengan laki-laki tanpa merubah hakikat sebagai perempuan.

D. Kepedulian negara terhadap perempuan sejak masa pemerintahan Sukarno hingga pada masa kini walaupun ada peningkatan yang menggembirakan, namun terus terang harus diakui bahwa negara masih memperlakukan perempuan warga kelas dua sesudah laki-laki baik dalam pemerintahan, legislatif, politik, dan lain sebagainya. Perempuan masih seringkali dijadikan objek baik dalam pembangunan maupun dalam hukum. Misalnya : Perempuan dianggap masih belum mampu melindungi diri mereka sendiri, sehingga perlu membuat UU perlindungan terhadap mereka oleh negara, demikian juga dengan kuota bagi perempuan dalam legislatif masih ditentukan oleh kebijakan partai politik maupun pemerintah. Jadi perempuan masih harus melanjutkan perjuangan mereka untuk menggapai apa yang diharapkan.
                 

bendrio sibarani: renungan

bendrio sibarani: renungan: Bacaan Alkitab: Kej. 11: 1- 9 “Demokrasi Versus Theokrasi” Pengantar             Sinear atau Babel, merupakan kota tertua dan perta...