Selasa, 23 Agustus 2011

ekumenisme dan dialog: sebuah fenomena post modern


FENOMENA POSMODERN:

 EKUMENISME DAN DIALOG
Pdt. Bendrio P Sibarani

I. Pendahuluan

a. Latar Belakang

          Ekumenisme, demikian juga dialog boleh dikata bukan lagi sesuatu yang baru bagi gereja. Akan tetapi di era posmodern isu ini merupakan isu yang hangat dibahas dan dibicarakan khususnya di kalangan gereja. Hal itu hendak menjelaskan bahwa ternyata gerakan ekumenisme demikian juga halnya dengan dialog belum final bagi gereja-gereja di Indonesia. Paling tidak ada persepsi bahwa ekumenisme dan dialog pada posmodern ini mulai dengan wajah baru atau mungkin saja dengan wajah yang lama tetapi dalam essensi yang berbeda (baru). Di era modern, ekumenisme adalah salah satu dari dua pendekatan yang adalah ciri dalam gerakan misi kristen modern, seperti yang dikatakan Richard A. D. Siwu. Selanjutnya dikatakan bahwa dua pola pendekatan tersebut berlangsung secara struktural maupun secara teologis, demikian juga halnya dengan ekumenisme yang mulai menemukan identitasnya tahun 1910 (ketika diadakannya konferensi misi internasional di Edinburgh, selanjutnya menemukan polanya pada tahun 1921 ketika terbentuknya International Missionary Council (IMC)[1]. Itu berarti bahwa ekumenisme telah ada sebelum era posmodern dan lahir dalam gerakan konferensi.
            Dialog juga bukan hal yang baru dimulai oleh gereja. Tercatat bahwa pada tahun 1975 ketika sidang DGD di Nairobi pembahasan tentang dialog telah dimulai oleh gereja, kendatipun memang saat itu ada perbedaan pendapat yang menegangkan. Nanti dikemudian pembahasan tersebut dilanjutkan pada sidang di Chiengmai (1976-1977) yang menghasilkan wacana yang menggembirakan jika dibandingkan dengan sebelumnya[2]. Dialog yang dibahas di sini sehubungan dengan gerakan ekumenisme yang digalakkan oleh gereja jauh sebelumnya.
Pada era posmodern ini ternyata bahasan tentang ekumenisme dan juga dialog belumlah berakhir, malah kelihatannya semakin hangat dibicarakan seiring dengan perkembangan zaman dan pergeseran pemikiran yang hampir terjadi pada semua lini kehidupan, baik budaya, agama, ideologi, politik, teknologi dan lain-lain sebagainya.
Ekumenisme dan dialog di era posmodern ini menjadi suatu fenomena baru bagi gereja-gereja secara khusus di Indonesia. Dikatakan fenomena baru sebab belakangan ini ekumenisme maupun dialog semakin gencar dilakukan dan dikembangkan baik di antara gereja-gereja sendiri, maupun dengan agama lain. Sehingga untuk itu adalah penting untuk meneliti dan mendiskripsikan secara sosiologis apa sebenarnya yang dimaksud dengan baik ekumenisme maupun dialog tersebut, selanjutnya menelusuri apa dampak dan efek gerakan tersebut bagi kehidupan gereja-gereja serta apa dan bagaimana fenomena gerakan ekumenisme dan fenomena gerakan dialog baik di tingkat lokal maupun nasional. Dan untuk menutup pembahasan ini maka akan dikemukakan penilaian akhir yakni penilaian teologis.  
  
b. Batasan Masalah
          Mengingat luasnya pokok bahasan fenomena posmodern dalam hal ini tentang ekumenisme dan dialog, maka pertama-tama kajian ini akan dibatasi di sekitar ekumenisme dan dialog antar gereja dan antar agama dalam lingkup nasional yakni gereja-gereja di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan menyinggung gereja-gereja di tingkat dunia sebagai pembanding atau untuk menarik benang merah dengan konteks Indonesia.

II. Ekumenisme dan Dialog
A. Ekumenisme
            Istilah ekumene (kata Yunani yang berarti: ”dunia yang didiami”) sepertinya telah terlanjur digunakan secara tidak pas oleh banyak lembaga. Dengan menggunakan istilah ekumene banyak kalangan hanya mau menunjukkan bahwa lembaga tersebut terdiri dari berbagai denominasi gereja. Istilah ekumene sendiri telah dikenal sejak abad ke- 5 sM yakni pertama kali oleh Herodotus. Setelah mengalami perjalanan panjang istilah ekumene mengalami banyak perkembangan dan pergeseran. Menurut tradisi Yunani, ekumene identik dengan dunia kebudayaan, sebab itu mereka yang berada di luar ekumene dianggap sebagai orang-orang yang tidak berbudaya. Istilah ekumene yang berarti ”gereja mula-mula” pertama kali dipakai oleh Origenes (185-254), kemudian di lingkungan gereja-gereja istilah tersebut sudah lazim dikenal. Di kalangan gereja katolik misalnya, istilah ekumene lazim dipakai untuk menyebut suatu pertemuan/konsili yang dilakukan gereja. Ekumene selanjutnya pada tataran gereja dunia sebagai gerakan yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh gereja yang ada di dunia.
Di negara-negara barat pada umumnya, Ekumenisme dipahami lebih bersifat horizontalis dalam arti memberi perhatian utamanya terhadap masalah-masalah dunia, misalnya perjuangan penegakan keadilan, melawan ketidakadilan di dalam masyarakat, melawan aparteid, dan lain sebagainya. Pergeseran arti maupun makna ekumene ini tidak terlepas dengan perkembangan peradaban manusia dan perkembangan zaman yang diwarnai dengan lahirnya skeptisme, rasionalisme, sekularisme yang kemudian diikuti dengan semangat pluralisme.
Di Indonesia, ekumenisme mulai hangat dibicarakan ketika Dewan Gereja-gereja di Indonesia terbentuk pada tahun 1950. Menurut Th. Sumartana, gerakan ekumene di Indonesia mengalami pasang surut sejajar dengan pasang surutnya berbagai tantangan serta kesempatan terutama yang muncul dalam ruang lingkup sejarah nasional. Tantangan yang pertama kali dihadapi oleh gerakan ekumene gereja-gereja di Indonesia pada waktu itu adalah masalah kesatuan bangsa. Kemudian pada zaman selanjutnya, gereja terus diperhadapkan pada situasi baru yakni pergolakan yang dihadapi oleh bangsa.[3] Kemudian gerakan ekumene di gereja-gereja di Indonesia pada abad 20 menurut Th. Sumartana menghadapi tiga tantangan pokok yang perlu mendapat perhatian yakni; tanggung jawab sosial-politik, hubungan antar agama dan pendekatan yang lebih realistis terhadap masalah-masalah kemasyarakatan khususnya kemiskinan.[4] Apa yang diungkapkan Th. Sumartana di atas menunjukkan bahwa perkembangan arti dan makna ekumene bagi gereja-gereja di Indonesia telah mengalami kemajuan yang menggembirakan, ekumene tidak lagi dipahami hanya sekedar untuk mempersatukan gereja-gereja yang ada di Indonesia (kerohanian melulu), melainkan sudah membuka diri ke bidang kehidupan lainnya, seperti di bidang kemasyarakatan dan kemanusiaan. Bagi  gereja-gereja di Indonesia, ekumene adalah sebuah gerak yang proaktif menuju perwujudan Gereja Kristen yang Esa. Ekumene juga adalah jantung dari gerak pelayanan sehingga karena itu gerakan ekumene harus benar-benar menjadi real dan operasional yakni bahwa gereja harus memerangi perpecahan yang menggerogoti gereja, intervensi dari luar, menghadapi sekularisme, otoriterisme, primordialisme, materialisme dan ancaman lainnya yang hendak menghancurkan keutuhan gereja. Itu berarti bahwa ekumenisme secara sosiologis dapat dipahami sebagai gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam segala bidang demi kesejahteraan semua mahkluk. Gereja yang melakukan gerakan ini telah mengalami paradigma keimanan dari yang bersikap eksklusif menjadi inklusif dan bahkan mulai pluralis.   
    
B. Dialog.
            Secara sederhana dialog dapat diartikan sebagai percakapan antara dua orang atau lebih dari dua orang.[5] Tetapi pengertian dialog seperti ini ditolak oleh Olaf H Schumann. Dengan tegas dia menolak jikalau dialog diartikan seperti itu, menurutnya, Dialog bukanlah ”percakapan antara dua pihak”, percakapan di antara dua mitra, seperti kadang-kadang kita dengar atau baca, yang menjadi ”trialog” jika ada mitra ketiga yang ikut. Jika pengertian itu yang diambil, maka itu bukanlah dialog melainkan ”dyalog”. Menurutnya, Dialog adalah percakapan atau pembicaraan tentang hal yang menyentuh kepentingan dan relevansi bersama, atau pembicaraan bersama tentang masalah yang harus diteliti dan jika perlu diatasi secara bersama (dialegein) [6]. Secara sosiologis, dialog dapat diartikan suatu langkah yang dilakukan lewat jalan percakapan bersama mengenai kepentingan bersama dalam semua aspek kehidupan (secara holistic).  
Dialog dapat juga dipahami sebagai sebuah alternatif bagi terciptanya kerukunan di antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Dalam rangka mewujudkan gerakan ekumene yang dikembangkan oleh gereja, dialog merupakan salah satu langkah yang dianggap signifikan dan relevan. Jadi, dialog dalam hal ini adalah dialog yang direncanakan dan dipersiapkan. A. A. Yewangoe membagi dialog dalam dua bentuk yaitu dialog verbal dan dialog karya. Menurutnya, dialog tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor. Pertama, pengetahuan dan pemahaman terhadap agama-agama makin luas dan menyeluruh, terutama karena diakibatkan makin canggihnya alat-alat komunikasi. Kedua, munculnya masyarakat majemuk di dunia, yakni perobahan homogenitas kearah heterogenitas, dan yang ketiga ialah di satu pihak dominasi barat sudah berakhir dan pihak lain muncul kembali agama dan kebudayaan yang semula ditekan oleh superior barat.[7] Faktor yang mendorong lahirnya dialog seperti yang diuraikan Yewangoe di atas sebenarnya tidak terlepas dari gerakan ekumene dalam arti yang luas (bukan hanya dalam arti Rohani). Secara khusus untuk Indonesia, dialog adalah salah satu keharusan dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Tanpa dialog, maka boleh dikatakan bahwa apapun upaya yang dilakukan, akan sia-sia. Tetapi, harus diingat bahwa di salah satu sisi, dialog juga bisa menimbulkan berbagai ketegangan, sebab dialog seringkali dicurigai sebagai upaya terselubung untuk menobatkan mereka yang beragama lain. Di samping itu juga ada ancaman bagi kalangan awam yang akan merelatifkan agama-agama, termasuk di kalangan gereja sendiri.
Di sini jelas bahwa hubungan antara Ekumenisme dan dialog sangatlah erat dan tidak terpisahkan. Dialog, dalam hubungannya dengan ekumenisme adalah semacam senjata yang diperlukan demi terciptanya keesaan yang sebenarnya.
Ekumenisme dan dialog, pada zaman posmodern ini mengalami pergeseran arti terutama di kalangan intern gereja. Ekumene kadangkala hanya menjadi simbol dan dialogpun juga demikian. Bukan rahasia lagi bahwa belakangan terlihat ada beberapa gereja yang mengklaim sebagai gereja yang ekumenis dan menggunakan simbol-simbol ekumenis, namun masih saja menjadikan anggota gereja lain sebagai domba yang perlu ditobatkan dan menggunakan senjata-senjata ekumenisme termasuk dialog di dalamnya. Semangat ekumenisme berkembang begitu pesat dengan memakai wajah lama, tetapi dengan esensi yang baru, dialog juga demikian. Itu yang terjadi. Jadi, jika demikian halnya, maka ekumenisme dan dialog di era posmodern adalah merupakan gerakan baru keagamaan yang dikembangkan terutama intern gereja, dan mungkin saja keluar gereja.

III. Gerakan  ekumenisme  Dan  Dialog,  Dampaknya  Bagi    Kehidupan   Gereja-gereja.
            Tidak dapat disangkal bahwa  gerakan ekumenisme Gereja-gereja di Indonesia sangat dipengaruhi oleh gerakan ekumenisme yang terjadi di seluruh dunia. Tetapi ada fenomena baru yang muncul ketika membicarakan tentang gerakan ekumenisme di Indonesia, jika di barat ekumenisme dan dialog tidak lagi melulu difokuskan pada hal-hal yang rohani, melainkan pada permasalahan kehidupan manusia secara utuh (holistic), di Indonesia malah gerakan tersebut terlihat baru dan sangat mendapat perhatian yang serius terutama oleh kalangan gereja sendiri dan memfokuskannya pada permasalahan rohani. Kalaupun memperhatikan permasalahan yang lebih luas, itu hanya dalam skala yang sangat sedikit.   Oleh karena itu Ekumenisme dan dialog adalah merupakan gerakan baru keagamaan di era posmodern ini yang sedikit tidaknya telah melahirkan dampak bagi gereja-gereja. Sebab ekumene maupun dialog seperti yang dipahami pada era modern telah mengalami pergeseran makna dan pengertian yang sebenarnya terutama dalam rangka menghadapi problem kehidupan di era globalisasi seperti yang telah terjadi saat ini. Secara khusus gerakan ekumenisme dan dialog yang dicoba dan selalu digalakkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), terkadang telah diselewengkan oleh beberapa gereja (terutama mereka yang beraliran kharismatik). Walaupun demikian, gerakan ekumenisme dan dialog bukanlah melulu mendatangkan dampak yang kurang baik bagi gereja-gereja, tetapi ada juga dampak yang positif di dalamnya. Secara singkat dampak tersebut dapat diurakan seperti ini:
a. Positif
            Bahwa melalui gerakan ekumenisme dan dialog, gereja-gereja di Indonesia mengalami kelonggaran pada keterikatan tradisi yang selama ini melilitnya, terutama tradisi yang merupakan warisan para zending. Selain itu, gerakan ekumenisme dan dialog akan membuka kemungkinan baru bagi gereja-gereja di indonesia untuk mengukir sejarahnya sendiri tanpa intervensi dari luar. Dalam hal ini besar kemungkinan bagi gereja-gereja untuk mengekspresikan imannya melalui kontekstualisasi teologinya. Sehingga persoalan yang dihadapi secara bersama dengan komunitas lain di sekitarnya akan dapat dipikirkan dan diselesaikan dengan bersama pula. Dalam konteks kebangsaan, gereja-gereja juga akan lebih luwes menunjukkan partisipasinya bersama anak bangsa lainnya untuk mewujudkan cita-cita bangsa menuju masyarakat adil dan makmur. Di sinilah akan lahir dialog kehidupan atau meminjam istilah Yewangoe, dialog karya.
b. Negatif
            Ekumenisme dan dialog yang selama ini digagas oleh institusi gereja melalui sidang-sidang gerejawi sepertinya hanya dapat dikatakan berhasil pada tingkat tersebut, sedangkan ketika sampai pada tataran daerah-daerah maupun di tingkat gereja-gereja lokal sulit untuk diejahwantahkan. Akibatnya ialah ekumene dan dialog malah menimbulkan ketegangan baru baik antar gereja maupun antar agama. Ketegangan-ketegangan yang dimaksud ialah komunikasi antar gereja maupun antar agama  menjadi sangat hati-hati (akibat kecurigaan) dilakukan sebab terkadang dibalik gerakan ekumene dan dialog ada maksud tersembunyi dari beberapa denominasi gereja. Ketika gerakan ekumene dan dialog digagas dan dilakukan dari bawah, maka timbullah gerakan ekumene dan dialog yang sembraut tanpa arah dan essensi yang jelas.
            Di pihak lain juga dapat ditemukan dampak yang kurang baik bagi gereja-gereja ”arus utama” bahwa dalam rangka semangat ekumene dan dialog, hakekat ajaran menjadi kabur karena didominasi pemikiran sekuler yang berwajahkan humanisme. Dalam hal ini identitas sebagai gereja menjadi kabur sebab nilai-nilai dogmatis terkadang dikorbankan. Pada zaman posmodern juga dapat ditemukan berbagai dampak negatif dari gerakan ekumene dan dialog yang terjadi di antara gereja-gereja yang ada, yakni seringkali dipenuhi oleh semangat rohani yang tinggi tanpa disertai dengan semangat lain yang mencoba memikirkan dan mengkaji secara bersama-sama persoalan hidup yang dihadapi bersama. Ekumene dan juga dialog dalam hal ini dipahami hanya oleh dan untuk gereja tanpa sadar bahwa ada begitu banyak permasalahan bersama yang perlu diselesaikan secara bersama pula dengan orang lain dan dengan penganut agama lainnya.

IV. Fenomena Gerakan Ekumenisme dan Dialog Antar Agama Di Indonesia
            Hubungan antar agama di Indonesia pada dekade terakhir mengalami stagnasi yang memprihatinkan. Konflik yang berkepanjangan sangat sulit untuk diselesaikan. Banyak pengamat memberi komentar dari sudut pandang yang beraneka ragam (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan dan lain-lain) namun toh tidak memberi kesimpulan mengapa konflik tersebut terjadi. Jika ditelusuri sejarah perjumpaan agama yang satu dengan yang lain khususnya Islam dan kristen dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik yang berkepanjangan itu telah mulai terjadi sejak awal perjumpaannya terutama di Indonesia.[8] Jan Aritonang misalnya, menyimpulkan bahwa perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia sarat dengan konflik yang berkepanjangan yang mengakibatkan ribuan jiwa menjadi korban dan juga kerugian material yang tak terhitung banyaknya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak pihak baik pemerintah, lembaga kemasyarakatan dan juga gereja maupun agama-agama yang ada. Dialog menjadi salah satu upaya yang sangat gencar dilakukan baik yang difasilitasi pemerintah maupun oleh agama-agama yang ada. Persoalannya adalah dialog ini hanya bersifat verbal yang hanya melibatkan kalangan elit, sehingga hasilnyapun seringkali hanya nampak pada kalangan tersebut.
            Menghadapi persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia, agama-agama yang ada belum mampu memberi sumbangsih yang berarti. Walaupun gerakan itu ada (gerakan dialog), tetapi masih lebih banyak diprakarsai oleh pemerintah dan tidak terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi. Agama-agama di Indonesia belum sepenuhnya menyepakati apa arti gerakan ekumenisme dan dialog bagi persoalan bersama yang dihadapi. Secara khusus harus diakui, bahwa masih banyak gereja demikian juga kelompok agama lainnya yang terkungkung dalam penjara tradisi dan teologi kuno yang berbau fundamentalis, yang mengurung diri di benteng pertahanannya tanpa peduli permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa. Era posmodern dan tantangan globalisasi di dalamnya oleh beberapa gereja dan juga oleh sebagian kelompok agama lain masih saja dicoba untuk dihindari, atau mungkin saja dihadapi tetapi hanya mengandalkan kekuatan teologi konservatifnya. Akibatnya adalah agama-agama akhirnya sibuk dengan persoalan-persoalan teologis, struktural dan kaidah-kaidah agama lainnya.
            Tetapi tidak dapat juga diingkari bahwa telah lahir berbagai gerakan yang mencoba merekontruksi pemahaman akan arti dan hakekat agama bagi kemanusiaan oleh beberapa kelompok dalam agama-agama yang ada. Dalam hal ini gerakan ekumenisme dan dialog dipahami sebagai gerakan bersama untuk kepentingan bersama, yakni menyadari bahwa tantangan yang sedang dihadapi oleh bangsa adalah merupakan tantangan bersama dan karena itu harus dipikirkan bersama sebab merasa bahwa mereka hidup di tempat yang sama. Gerakan ekumenisme baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional pada era posmodern ini berlangsung dengan cara yang beragam, di antaranya ada yang lahir dari hasil pergumulan bersama antar gereja dan ada juga yang lahir dari aras akar rumput. Semangat ekumenis seerti ini menjadi fenomena baru di abad postmodern ini, sebab terlihat bahwa terdapat begitu banyak kegiatan-kegiatan yang bersifat ekumenis tanpa dipasilitasi oleh lembaga gerejawi.   Semangat ekumenisme ini kelihatannya lahir dari akibat lahirnya berbagai persoalan kehidupan yang sedang dihadapi bersama, terutama akibat dampak dari arus globalisasi. Demikian juga dengan dialog antar agama, jika diperhatikan dengan seksama nyata bahwa dialog karya telah berlangsung dengan sendirinya di antara pemeluk agama, kendatipun memang di antara dialog tersebut masih saja ada dialog yang mengandung maksud untuk mengkampanyekan ajaran agama dengan tujuan merekrut orang lain menjadi anggota kelompoknya. Dialog seperti inilah yang masih menjadi persoalan baik antara gereja sendiri maupun antar agama yang tidak menutup kemungkinan akan melahirkan konflik baru.
  
V. Penutup
            Gerakan ekumenisme dan dialog di era posmodern adalah merupakan gerakan baru keagamaan yang dilakukan oleh agama-agama termasuk gereja di dalamnya yang lahir dari kesadaran bersama atas masalah yang dihadapi bersama. Kendatipun gerakan ekumenisme dan dialog telah ada sejak abad modern, tetapi gerakan ini kemudian muncul dengan esensi yang baru. Jika di era modern, ekumenisme dan dialog seringkali hanya dipahami demi dan dalam bingkai kehidupan beragama, tetapi pada era posmodern ini gerakan ini telah lebih diarahkan secara holistic pada persoalan kehidupan. Namun, memang harus diakui bahwa ada juga gereja-gereja dan juga beberapa kelompok dalam komunitas beragama yang masih keliru menterjemahkan ekumenisme dan dialog yang dimasud. Kelompok-kelompok ini akhirnya mendatangkan persoalan baru bagi gereja-gereja sendiri dan bagi agama yang lain. Dengan berwajahkan gerakan ekumene dan dialog terjadilah perekrutan anggota komunitas lain dan menjadikan kelompok lain sasaran untuk ditobatkan. Gerakan ekumenisme dan dialog menjadi fenomena terutama bagi gereja-gereja sebab gerakan ini sekarang bukan lagi lahir dari prakarsa sidang-sidang gerejawi tetapi lahir dari kalangan bawah dan berlangsung dalam bentuk yang tidak terstruktur. Bahayanya ialah bisa saja terjadi konflik antar gereja maupun antar agama. Tetapi positifnya ialah jika ekumenisme dan dialog dipahami dengan luas (bukan melulu rohani) maka akan menciptakan kekuatan baru dan kekuatan bersama menghadapi permasalahan bersama dan demi kesejahteraan bersama pula. Gerakan Ekumenisme dan dialog sangat tepat dilakukan oleh gereja-gereja dan juga agama-agama. Dalam hal ini baik ekumenisme maupun dialog harus lebih diarahkan pada persoalan kehidupan bersama, tidak lagi hanya dalam bidang kerohanian. Tantangan yang dihadapi dari dampak era globalisai harus disadari adalah tantangan bersama dalam kehidupan bersama dan untuk itu tak bisa tidak harus dihadapi bersama.

























Refrensi
1. Aritonang Jan, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di   Indonesia. (Jakarta:   BPK. Gunung
                            Mulia, 2004)

2. End Van den Th., Sejarah Perjumpaan Gereja dengan Islam, (Jakarta: STT Jakarta, 1976) 
3. Ihromi M. A, dkk, Theo-doran Pemberian Allah, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1979)

4. Pusat Bahasa Dep. Dik. Nas., Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).

5.Schumann Olaf H, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta: BPK. Gunung
                                Mulia, 2006.,
6. Pattiasina J. M-Pdt. Weinata Sairin,  Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi   Pancasila,
                                (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1997)
7.Yewangoe A. A, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila, (Jakarta: BPK. Gunung
                                 Mulia, 2002).




[1]. Lihat, Tulisan Richard A. D. Siwu yang berjudul Oikumenikalisme dan Evangelikalisme dalam, J. M. Pattiasina-Pdt. Weinata Sairin (ed) Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1997), hal. 203.
[2]. Demikian tulisan Prof. Dr. D. C. Muller yang berjudul: Dialog Dalam Rangka Gerakan Oikumene, dalam, Theo-doran Pemberian Allah yang disusun oleh M. A. Ihromi, dkk, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1979), hal 138-139.  

[3]. Lihat Pdt. J. M. Pattiasina-Pdt. Weinata Sairin,  Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila,(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1997). hal. 189
[4]. Ibid, hal. 191
[5]. Pusat Bahasa Dep. Dik. Nas., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), kata ”dialog”.
[6]. Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2006).
[7]. A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002), hal.5.
[8]. Mengenai sejarah perjumpaan Islam dan Gereja, pernah ada dua teolog Indonesia yang memaparkannya secara lugas, yakni Th. Van den End, Sejarah Perjumpaan Gereja dengan Islam, (Jakarta: STT Jakarta, 1976) dan Jan Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004)