Minggu, 21 Agustus 2011

dusun miskin yang terlantarkan

hanya berjarak kurang lebih 15 Km dari ibukota kabupaten Sigi, dusun Ruva Bakubakulu terlantar, hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan terbelenggu oleh sistem yang amburadul dalam pemerintahan di negeri ini. penduduk Ruva Desa Bakubakulu, tak pernah merasakan apa itu RASKIN, PNPM, JAMKESMAS maupun pendidikan gratis dari pemerintah. hidup terisolir dan teralienasi, termarginalisasikan oleh berbagai kepentingan penguasa yang sekaligus pengusaha. pertanyaannya adalah apakah penguasa masih punya hati nurani, kenapa tatkala mencari suara dalam pemilu penduduk ini diperhitungkan. dusun miskin Ruva desa Bakubakulu terlantar karena sistem...miskin terstruktur...PERHATIKAN KAMI....itu permintaan kami...

wahai para koruptor, KAMI INGIN SEKOLAH

Sebagai anak negeri, sudah sepantasnyalah kita menangis, ketika negeri ini mengklaim diri mengalami kenaikan perekonomian malah yang terjadi kemiskinanpun semakin merajalela. jujur harus diakui kemiskinan kita di negeri ini 75% adalah kemiskinan struktural. kemiskinan karena biadabnya para penguasa dan pejabat-pejabat yang seakan tidak punya hati nurani lagi. dikala anak-anak pedalaman tertindas karena kebodohan mereka akibat tidak adanya pendidikan, malah para pejabat di negeri ini sibuk menyembunyikan uang hasil korupsi mereka. seakan tak ada harapan lagi bagi negeri ini untuk bebas dari apa yang namanya korupsi. kendatipun demikian, kami penduduk asli (suku Da'a) yang berdiam di keheningan, jauh dari keramaian dan gonjang ganjingnya dusta para penguasa berteriak kepada saudara-saudara para koruptor: KAMI INGIN SEKOLAH................!karena itu berhentilah korupsi biar kami bisa sekolah dengan layak, mendapat pendidikan yang seharusnya hak kami. para koruptor mulai dari desa hingga ke ibukota nusantara ini, kami ingatkan berhentilah dari perbuatan bejatmu, jatah kami harusnya jadi jatah kami......KAMI INGIN SEKOLAH

SEJARAH SINGKAT GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA

SEJARAH SINGKAT
GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA
Oleh. Pdt. Bendrio P Sibarani, M. Teol.

I. Pendahuluan
            "Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah bahwa kita tidak pernah belajar benar-benar darinya." Kata Churchil. Sementara kita memahami sejarah sebagai cermin perbandingan bagi masa yang baru. "Historia semper reformanda", dan Sejarah selalu berulang." demikian kata Karl Mark. Sejarah itu pokok kemajuan bangsa, manakala suatu bangsa tidak memperhatikan sejarah maka bangsa itu akan terbelakang, sebaliknya manakala suatu bangsa memerhatikan sejarah bangsa itu dalam kemajuan. Jika ingin menjadi besar, suatu bangsa harus mengenal sejarahnya sendiri. "Mereka yang tidak mengenal masa lalunya dikutuk untuk mengulanginya'" Demikian kecaman George Santayana (filsuf dari Spanyol). Mereka akan mengulangi perilaku buruk nenek moyangnya masa lalu. Dengan sejarah kita mengenal bangsa-bangsa terdahulu terutama segi moral politik para penguasa." Demikian Ibnu Khaldun seorang bapak sosiologi dan sejarah, bahkan beliau menulis beberapa jilid tentang sejarah. Richard J Evans, seorang Profesor sejarah modern sangat membela pentingnya kajian sejarah bahkan, Immanuel Khan yang disebut-sebut sebagai bapak sosiologi menyebut sejarah sebagai "Penata batu bata" dari fakta-fakta sosiologi. Melalui sejarah akan terbentuk jati diri dan identitas suatu bangsa, lebih dari itu arah dan tujuan suatu bangsa dapat diketahui dari sejarahnya, sejarah harus dikenal apa adanya karena jika tidak sejarah tidak bisa menjadi apa adanya lagi.
Jujur harus diakui bahwa minat orang-orang termasuk para pelayan Gereja terhadap apa yang disebut dengan ”sejarah” sudah semakin berkurang. Apakah hal ini disebabkan karena banyaknya hal-hal baru dalam kehidupan masa kini ataukah memang mereka menganggap bahwa sejarah itu tidak penting dengan alasan bahwa tokh juga tidak lagi bisa kembali ke masa lalu itu, hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Dengan mengetahui sejarah, secara khusus sejarah Gereja ini (GPID) diharapkan pelayan-pelayan Tuhan dapat mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang dan akan terjadi pada proses perjalanan gereja ini ke depan. Pengetahuan akan sejarah GPID seharusnyalah dimiliki oleh pelayan-pelayan GPID dan juga oleh semua warga GPID tanpa terkecuali, sebab sejarah GPID bukan hanya yang terjadi di masa silam, tetapi kelak semuanya akan menjadi sejarah baik kini dan nanti, dengan demikian mempelajari sejarah GPID kita sekalian juga dibekali bagaimana caranya mempertanggungjawabkan masa silam dengan membuat sejarah yang lebih baik pada masa yang akan datang. Tulisan singkat ini bersifat informatif,untuk itu dari kita masing-masing diajak untuk berefleksi sesuai dengan keberadaan GPID pada masa kini. Sebagaimana lazimnya penulisan sejarah, maka materi mengenai ”Sejarah GPID” ini akan dibagi dalam 3 periodisasi waktu, yakni:
1. Sejarah Kekristenan di Daerah Donggala 1900-1935
2. Sejarah Kekristenan di daerah Donggala tahun 1935-1964
3. Sejarah Gereja Protestan Indonesia Donggala tahun 1965-2003
            Walaupun secara umum, tapi paling tidak dengan mengetahui sejarah GPID ini, kita sebagai pelayan-pelayan Tuhan yang melayani di GPID memperoleh pengetahuan dan dapat lebih mengenal Gereja Tuhan ini.

II. Gereja Protestan Indonesia Donggala

A. Sejarah Kekristenan di Daerah Donggala 1900-1935
            Pada mulanya, sebelum adanya pemekaran-pemekaran daerah secara khusus di Sulawesi tengah, daerah yang meliputi Kabupaten Donggala, Sigi, Parimo dan kota Palu merupakan satu daerah pemerintahan yang dikenal dengan ”Daerah Donggala”. Daerah Donggala inilah yang kelak merupakan daerah di mana GPID melayani hingga masa kini.
            Sebenarnya, jauh sebelum kekristenan memasuki daerah Sulawesi tengah pada umumnya dan daerah Donggala pada khususnya, Agama Islam (ada yang mengatakan abad 10 adapula pertengahan abad ke-16 M) telah lebih dulu masuk dan menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk terutama yang berdomisili di pesisir pantai.
            Sejak abad ke- 16 Daerah Parigi pada dasarnya telah menjalin hubungan di bidang ekonomi dengan dunia luar. Pada catatan kaki yang ditulis oleh A. C. Cruyt yang diterjemahkan oleh S. Tobogu yang berjudul ”Sejarah Kerajaan Lokal Di Sulawesi” menjelaskan bahwa Portugis pertamakali menginjakkan kaki di Parigi pada tanggal 15 Januari 1515 tepatnya di Binangga. Portugis membawa armada perangnya dari Mindanao Philipina. Pada saat itu, Portugis gagal menaklukkan Binangga. Menurut Supri Na’a dan juga Hi. Hasim Marasobu, malah dicurigai bahwa raja Parigi yang pertama dilantik oleh seorang Portugis yang bernama Fransisco Le Sa yang melakukan pengembaraan ke Parigi pada tanggal 26 Desember 1517[1], walaupun data tersebut dibantah oleh banyak kalangan, namun dari sini dapat dicatat bahwa kemungkinan besar daerah Parigi telah dimasuki oleh negara luar jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Bahkan pertengahan abad ke- 17 Portugis telah memiliki sebuah gudang di Parigi. Kemudian gudang tersebut ditutup dan ditinggalkan pada tahun 1663. Kendatipun demikian hingga saat ini belum ditemukan bukti bahwa kekristenan telah pernah ada di daerah Parigi sebelum ekspansi Belanda. Kendatipun Belanda telah berkuasa di kerajaan Parigi sejak masa pemerintahan Magau Rajangguni (1880-1897), namun tidak pernah terdengar adanya pekabaran Injil kepada masyarakat setempat yang mayoritas telah beragama Islam.
Kedatangan orang-orang kristen dari daerah Sulawesi utara (Minahasa dan Sangihe) di Parigi berlangsung dalam beberapa periode dan latar belakang yang berbeda-beda. Selain karena ditugaskan oleh pemerintah Belanda termasuk para buruh kasar (± 1905), ada juga yang datang karena mengikuti program kolonisasi pada tahun 1909 yang diprakarsai oleh Belanda. Tahun 1910 ternyata orang-orang Rampi juga telah tersebar di daerah Parigi Moutong dan mereka telah beragama kristen protestan. Persekutuan kristen yang pertama kali di Parigi berawal dari kesadaran para pegawai pemerintah (orang-orang pribumi) untuk mengekspresikan iman mereka dalam kebaktian yang  berlangsung di rumah para pegawai tersebut. Setelah mendengar keberadaan orang-orang kristen di daerah ini, maka pada tahun 1915 datanglah badan-badan zending/penginjil seperti M. Larumpoa[2] tepatnya di daerah Teluk Tomini (wilayah utara Parigi Moutong). Pada tahun 1920 T. Bokau memulai pelayanannya di Sipayo. T. Bokau berhasil mendirikan jemaat di Spayo berkat hubungan yang baik dengan penduduk setempat. Selanjutnya tahun 1925 seorang zendeling yang datang dari Gorontalo yakni, Pdt. Pandelaki tiba di daerah Teluk Tomini untuk membantu pelayanan kepada jemaat-jemaat yang telah mulai tersebar di sana.
Kemudian dengan swadaya orang-orang Kristen yang ada di Parigi, maka kira-kira tahun 1919 berdirilah sebuah gedung Gereja di Parigi. Walaupun gedung gereja tersebut masih sangat darurat. Persekutuan ibadah ini semakin bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Tahun 1929 gedung gereja mulai diperbaiki menjadi lebih layak lagi, usaha ini dilakukan dengan swadaya jemaat yang ada. Namun setelah kurang lebih 10 tahun berdiri, gedung gereja tersebut rubuh dan sama sekali tidak dapat digunakan lagi, akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1938. Setelah keadaan berangsur-angsur pulih, maka gedung gereja yang barupun mulai dibangun tahun 1939 dengan swadaya jemaat dan ditahbiskan  tahun 1940.
            Di bagian utara Parigi, pada tahun 1915 tepatnya di Ongka[3] orang-orang Minahasa yang dikoordinir oleh Johan Supit dan Walter Lumentut tiba dan membuka pemukiman baru di sana. Mereka adalah transmigrasi spontan mandiri dari Remboken. Mereka ini juga telah beragama Kristen dari tempat asalnya, sehingga ketika tiba di Ongka mereka melangsungkan ibadah-ibadah.  Setelah Belanda mulai mengeksploitasi kekayaan alam di daerah Parigi maka para pekerja pribumi mulai ditempatkan di mana-mana. Di sepanjang pesisir pantai timur orang-orang Kristen semakin tersebar, terutama para buruh pekerja kayu hitam (ebony) yang dikelola oleh Belanda. Di daerah Sipayo misalnya pada tahun 1918 seorang guru jemaat bernama Tomas Marengkeng telah aktif melayani jemaat yang telah terbentuk[4]. Demikian juga halnya di Sidoan pada tahun 1922 juga berdiri gedung gereja. Warga jemaatnya kala itu adalah sebagian besar orang-orang Sangihe yang bekerja sebagai buruh pengangkut kayu hitam[5]. Mereka kemudian dilayani oleh penginjil yang bernama Pdt. Rumoka.  Pada tahun 1925 di daerah teluk Tomini (wilayah utara Parigi Moutong) Pdt. L. Pandelaki (dari Gorontalo) membantu pelayanan terhadap jemaat-jemaat yang mulai tersebar di sana. Untuk mengurus gereja-gereja tersebut, maka pegawai-pegawai Pemerintah Belanda menunjuk orang-orang pribumi menjadi pengurus gereja (majelis gereja). Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) kemudian bertanggung jawab melayani gereja-gereja protestan yang ada di daerah Donggala dan sekitarnya.
Selain orang-orang Kristen dari utara Sulawesi, ternyata daerah Parigi juga dimasuki oleh orang-orang Bali (1900-an) yang beragama Hindu. Orang Bali yang pertama kali datang di Parigi ialah mereka yang diasingkan oleh pemerintah Belanda dan dijadikan budak.

1. Kekristenan Di Donggala[6]
            Kota Donggala merupakan salah satu tempat masuknya penjajah Belanda di samping tempat-tempat yang lainnya. Letaknya yang strategis dan berada di pesisir pantai, membuat Belanda tertarik pada tempat ini. Diperkirakan bahwa Belanda telah membangun kantor-kantor pemerintahannya di tempat ini sekitar tahun 1900. Selain kantor pemerintah, Belanda juga membangun gudang-gudang penampungan hasil alam (terutama kopra) yang selanjutnya diangkut dengan armada-armada kapalnya melalui pelabuhan Donggala. Pada tahun 1900, Donggala telah menjadi sebuah kota pelabuhan yang ramai dan dihuni oleh orang-orang dari berbagai latarbelakang. Orang-orang Kristen (terutama orang-orang yang berasal dari Sulawesi utara) juga telah tiba di Donggala pada waktu itu. Selain sebagai pegawai pemerintah yang ditempatkan di daerah ini, dari antara mereka juga terdapat pegawai perusahaan-perusahaan dan buruh-buruh pada perusahaan-perusahaan tersebut. Para pegawai pemerintah yang mendapat tugas di Donggala, selanjutnya ditempatkan lagi keberbagai tempat, terlebih mereka yang berprofesi sebagai guru dan tenaga medis. Para pegawai pemerintah dan pegawai-pegawai perusahaan yang adalah orang-orang pribumi dari Minahasa dan Sangihe tersebut kemudian melangsungkan ibadah-ibadah sebab mereka adalah warga gereja dari tempat mereka masing-masing. Keterangan tentang kapan jemaat pertama terbentuk di Donggala sangat sulit ditentukan. Selain tidak adanya arsip-arsip gereja tentang hal tersebut, orang-orang yang mengetahui cerita tersebut telah tidak ada lagi. Namun berdasarkan tulisan pada batu nisan yang ditemukan pada kuburan orang-orang Kristen di Donggala, maka dapat diperkirakan bahwa orang-orang kristen telah ada di Donggala sebelum tahun 1910[7]. Persekutuan ibadah di Donggala dilaksanakan oleh para pegawai pemerintah yang pribumi dan berkebangsaan Belanda secara bersama-sama. Mereka dilayani oleh pelayan Indische Kerk yang datang dari Manado. Ada dua versi cerita mengenai berdirinya gedung gereja di Donggala. Versi yang pertama mengatakan bahwa gedung gereja yang pertama di Donggala adalah bekas gudang garam salah satu perusahaan VOC yang kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda dan versi yang kedua mengatakan bahwa gedung gereja di Donggala dibangun oleh pemerintah Belanda kemudian diserahkan kepada GMIM untuk dilayani setelah terjadi pemisahan administratif tahun 1935[8]. Dari Donggala, Injilpun mulai tersebar hingga ke daerah pantai barat seperti misalnya di daerah Tanjung yakni Walandano (tahun 1910), Lewonu dan sekitarnya. Hal ini dimungkinkan karena Belanda juga mulai memasuki daerah-daerah tersebut dalam rangka kepentingan ekonominya. Untuk mencapai daerah pantai barat tersebut khususnya di sekitaran Tanjung, maka Belanda menempuhnya melalui laut yang memang sangat dekat dari Donggala jika dibandingkan dengan perjalanan darat. Pada waktu itulah para pekerja (orang-orang Minahasa) mulai tersebar ke Walandano dan daerah di sekitarnya[9].
Tahun 1910 tercatat bahwa di Tibo orang-orang Rampi dan Seko yang datang merantau telah mulai membentuk persekutuan ibadah sehingga pada tahun 1927 mereka telah memiliki gedung gereja untuk dipakai beribadah[10]. Demikian juga di Kaliburu, sejumlah 150 keluarga yang merupakan pendatang mendirikan gedung gereja. Setelah itu, tahun 1930 seorang pendeta GPI datang dari Balikpapan untuk meresmikannya[11]. Demikianlah kekristenan dengan perlahan-lahan semakin tersebar ke berbagai tempat di daerah Donggala.  

2. Kekristenan Di Lembah Palu[12]
            Pada mulanya Lembah Palu bukanlah tempat yang penting bagi Belanda. Palu hanyalah sebuah tempat yang kurang ramai jika dibandingkan dengan kota Donggala. Akan tetapi ketika Belanda mulai mengekspansi daerah-daerah ke arah selatan kota Palu, maka Palu dirasa penting untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda. Untuk menjalankan roda pemerintahannya, maka diutuslah pegawai-pegawai ke Palu termasuk warga pribumi asal Minahasa dan Sangihe. Selain para pegawai pemerintah, ternyata ada juga orang-orang Minahasa yang datang di Lembah Palu dengan alasan merantau. Dari antara pegawai pemerintah tersebut, selain sebagai pegawai kantor, di antara mereka juga terdapat para guru, mantri dan para buruh. Mula-mula, pemerintah Belanda mendirikan kantor pemerintahannya di sekitar Maesa sekarang persisnya di dekat jalan Pattimura sekarang. Daerah Maesa yang ada sekarang di tengah kota Palu, dulunya adalah hamparan rawa yang luas yang terletak persis di tepi sungai Palu yang membagi dua kota Palu (Palu timur dan Palu barat). Karena sungai tersebut sering meluap, maka daerah Maesa itu digenangi oleh air dan menjadi tempat kodok. Itulah sebabnya nama ”Maesa” dulunya disebut ”kampung kodok”. Nama ”Maesa” sendiri nanti dikenal tahun 1951 setelah seorang dokter perempuan orang Minahasa bertugas di sana memberi nama atas tempat tersebut[13]. Dari antara orang-orang Minahasa dan Sangihe yang memasuki kota Palu mulai mengambil inisiatif memasuki daerah-daerah lain yakni ke arah selatan seiring dengan ekspansi Belanda di tempat-tempat tersebut[14]. Mengingat kota Palu telah menjadi pusat pemerintahan Belanda di daerah Donggala dan juga mengingat banyaknya orang-orang Kristen yang ditugaskan di Palu maka pemerintah Belanda menjadikan Palu sebagai Pos Pelayanan Indische Kerk, sehingga orang-orang Kristen tersebut mendapatkan pelayanan rohani. Ibadah-ibadah mulai dilangsungkan. Akan tetapi karena belum adanya gedung gereja, maka ibadah tersebut mula-mula dilangsungkan di pendopo milik pemerintah Belanda. Baik yang berkebangsaan Belanda maupun yang pribumi beribadah bersama di pendopo tersebut.
            Gedung gereja mulai berdiri di Palu diperkirakan tahun 1915, yakni setelah  beberapa tahun Belanda berkuasa di Palu. Pada dasarnya penduduk atau kerajaan Palu sendiri telah memeluk agama Islam jauh sebelum Belanda datang dan berkuasa. Mereka belum pernah sama sekali berjumpa dengan agama Kristen. Gedung gereja pertama yang berdiri di Palu adalah gedung gereja yang terletak di daerah Maesa sekarang. Kemudian hari Gereja tersebut diberi nama ”Banua Ntupu[15]. Pemberian nama ini ternyata mengandung muatan politis dengan maksud agar masyarakat setempat menghormati keberadaan gedung tersebut sebagai sebuah tempat suci atau sakral. Sebab penduduk Palu sebelumnya belum pernah berjumpa dengan kekristenan.


B. KEKRISTENAN DI DAERAH DONGGALA TAHUN 1935-1964

1. Daerah Donggala Dalam Pelayanan Gereja Masehi Injili Di Minahasa 
     (GMIM).

            Setelah mengalami persoalan yang dilematis mengenai hubungan gereja dan negara[16], akhirnya terjadilah pemisahan administratif antara gereja dan negara pada tahun 1935. Bahkan pada saat sidang raya GPI pada tahun 1933, persiapan untuk membangun gereja yang mandiri di Maluku dan di Minahasa sudah mulai berjalan. Walaupun pada sidang raya tersebut menyatakan bahwa pemisahan administratif antara gereja dan negara hanya dapat diterima jika hak atas bantuan finansial dijamin sepenuhnya, namun pada akhirnya sidang menjamin kelangsungan bantuan finansial dari kas negara, kendatipun memang pada akhirnya tuntutan ini hanya terpenuhi sebagian saja. Raja akhirnya mengumumkan pemisahan administratif antara gereja dengan negara dengan catatan negara tetap mengeluarkan dana dari kas untuk penggajian 43 pendeta, 31 pendeta pembantu dan 7 guru agama[17].
            Pada tanggal 1 Agustus 1935, akhirnya Gereja Protestan Di Indonesia bebas dari cengkeraman negara. Gereja itu menjadi gereja yang mandiri. Moment tersebut disambut dengan sukacita oleh hampir semua jemaat-jemaat Protestan. Gereja Masehi Injili Di Minahasa (GMIM) resmi dilembagakan menjadi gereja mandiri di bawah perwalian sejak tanggal 30 September 1934[18]. Karena pada waktu itu belum terjadi pemisahan administratif, maka Gubernur jenderal mengeluarkan surat keputusan khusus untuk membatalkan peraturan Am Gereja protestan sejauh menyangkut Minahasa. Selanjutnya, GMIM berada pada masa perwalian hingga pada tahun 1942. Orang-orang Minahasa yang adalah warga  GMIM yang berada di luar Minahasa ternyata membentuk jemaat-jemaat tersendiri yang termasuk GMIM, sesuai dengan peraturan Am Gereja Minahasa (1934). Khusus di daerah yang tidak terdapat gereja-gereja protestan lain, warga Minahasa mendirikan jemaat-jemaat baru bersama dengan orang-orang Kristen lainnya dari golongan suku yang lain. Hal ini juga terjadi di daerah Donggala termasuk Palu di dalamnya[19]. Jemaat-jemaat yang ada di daerah Donggala yang dibentuk oleh orang-orang Minahasa beserta suku-suku lainnya termasuk dalam pelayanan GMIM dan dibawahi langsung oleh Sinode GMIM, akan tetapi jemaat-jemaat tersebut tidak memperoleh hak untuk memilih anggota-anggota Sinode baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jemaat-jemaat GMIM di daerah Donggala semakin hari semakin berkembang terutama karena arus migrasi penduduk dari daerah Sulawesi utara dan dari daerah selatan Sulawesi dan juga dari luar pulau Sulawesi seperti dari Pulau Jawa dan Pulau Bali. Perkembangan jemaat-jemaat ini juga didukung oleh usaha pekabaran Injil kepada penduduk asli yang mulai dilaksanakan oleh pelayan-pelayan GMIM maupun warga jemaat.
Daerah Donggala dan dua daerah penginjilan GMIM lainnya (Gorontalo dan Toli-toli) sejak 1 Januari 1937 diserahkan oleh Gereja Protestan Di Indonesia (GPI) kepada GMIM untuk menjadi daerah penginjilan GMIM[20]. Sebenarnya, sebelum serah terima ini berlangsung, GMIM telah melayani jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala.

2. Pelayanan GMIM Di Daerah Donggala
            Jemaat-jemaat yang terbentuk di daerah Donggala pada umumnya adalah bagian dari jemaat GMIM sebab ketika para warga Minahasa (sebagian besar adalah warga GMIM) datang di daerah ini, belum ada satupun gereja maupun gereja Protestan lainnya. Orang-orang Protestan dari suku-suku lainnya yang berdiam di daerah Donggala bergabung dengan orang-orang Minahasa dan Sangihe dalam jemaat-jemaat yang dilayani oleh GMIM. Walaupun dalam keadaan keuangan yang sulit[21], GMIM tetap memperhatikan pelayanan dan juga penginjilan yakni dengan mengutus tenaga-tenaga pelayannya ke daerah Donggala. Dapat dicatat di beberapa tempat, GMIM mengutus para tenaga untuk melayani jemaat-jemaatnya seperti halnya di daerah Parigi Moutong, Donggala, Palu dan mulai melaksanakan pekabaran Injil ke daerah pedalaman Kulawi dengan pertimbangan bahwa di tempat ini telah terdapat warga Minahasa yang menjadi guru yang diperbantukan pemerintah kepada Bala keselamatan dan menjadi warga jemaat Bala Keselamatan dan masih adanya penduduk asli yang belum mendengar Injil Yesus Kristus.

3. Pelayanan GMIM Dibidang Pendidikan di Daerah Donggala
            Ketika GMIM melayani jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala, ternyata bidang pendidikan juga menjadi salah satu bagian pelayanan yang mendapat perhatian. Hal itu dibuktikan dengan usaha GMIM mendirikan sekolah-sekolah di mana terdapat jemaat. Hingga tahun 1940 GMIM masih mempunyai sekolah-sekolah rendah (sekolah dasar) seperti misalnya SD di Lemusa, guru yang dapat dicatat di sana ialah guru N. Laobasi, SD di Lumbumamara, guru waktu itu adalah guru gereja. Di Lonca juga GMIM pernah mendirikan sebuah Sekolah dasar[22]. Selain sekolah-sekolah dasar, GMIM juga pernah membuka sekolah kepandaian puteri (SKP) di Parigi. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menerima warga gereja saja, melainkan juga penduduk setempat yang beragama Islam. Hal inilah kemudian yang paling tidak menjadi sumbangsih yang sangat berharga bagi pembangunan sumber daya manusia penduduk di daerah Donggala.
             
4. Perkembangan Jemaat-Jemaat Di Daerah Donggala
            Pada awalnya, usaha untuk memberitakan Injil kepada penduduk asli di pedalaman Daerah Donggala tidak dilaksanakan oleh GMIM mengingat kurangnya tenaga pelayan dan berkembangnya jemaat-jemaat yang telah ada dengan pesat dan semakin banyak tersebar di berbagai tempat. GMIM memulai penginjilan di daerah kerajaan Kulawi pada tahun 1946. Pada waktu itu disebut-sebut bahwa Pdt. H. Daendeel adalah pelayan GMIM yang pertama kali melaksanakan pekabaran Injil. Dia juga berusaha menginjili orang-orang Kulawi untuk masuk protestan walaupun mereka sebelumnya telah menjadi warga Bala Keselamatan. Dua tahun kemudian (1948), diutuslah Pdt. W. Makapadua menggantikan Pdt. Daendeel di Kulawi, pada saat itulah jemaat Protestan (GMIM) tercipta di Kulawi yakni ketika Pdt. W. Makapadua berhasil meyakinkan raja untuk dibabtis bersama 30 orang lainnya. Peristiwa ini sangat berpengaruh bagi perkembangan jemaat-jemaat GMIM pada khusunya di Kulawi.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1950an akibat kedatangan pengungsi dari daerah Sulawesi selatan (suku Rampi, Seko dan Toraja) yakni mereka yang mengungsi akibat pemberontakan DI/TII. Mereka ini adalah orang-orang Kristen yang akhirnya setelah tiba di daerah Donggala bergabung dengan jemaat-jemaat yang telah ada di Kulawi, di Palu dan di tempat-tempat lainnya sebelum mendirikan jemaat-jemaat baru dari gereja induk mereka[23].

5. Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa Penjajahan Jepang (1942-1945).
            Jepang mendarat di Palu pada bulan Maret 1942. Pada waktu itu kantor gereja tetap terbuka dan ibadah-ibadah masih tetap dapat dilangsungkan. Keadaan jemaat-jemaat yang ada di daerah Dongala pada masa pendudukan Jepang sangat ditentukan oleh keadaan GMIM di Sulawesi Utara. GMIM sendiri pada masa penjajahan Jepang menghadapi keadaan yang sulit dan mengakibatkan tugas pelayanan gereja menjadi sangat berat. Keadaan ini diperparah lagi oleh karena terputusnya hubungan GMIM dengan GPI secara praktis[24]. Kesulitan untuk membiayai para Pendeta, memaksa GMIM tidak menggaji para Pendeta, namun mereka dihimbau agar tetap bekerja. Keadaan seperti ini tentunya sangat mempengaruhi pelayanan di daerah Pekabaran Injil seperti di daerah Donggala. Namun mengenai masalah keamanan kelangsungan ibadah-ibadah jemaat-jemaat di daerah Donggala sendiri tetap berjalan lancar tanpa mengalami gangguan yang berarti[25]. Pada saat Jepang mulai menduduki daerah Donggala, pelayan-pelayan GMIM masih terus melaksanakan pelayanannya, Massie masih tetap melayani di Donggala, Pdt. A. S. Lengkong di Parigi dan Pdt. R. P. H. Ngantung di Palu. Mereka ini masih dapat mengunjungi jemaat-jemaat di beberapa tempat[26]. Pada akhir perang, Jepang juga sempat menginternir seluruh Majelis jemaat di Palu karena dicurigai sebagai mata-mata. Seorang Penatua dan seorang Kostor gereja gugur dan yang lainnya sempat dibawa ke Poso dan dipenjarakan di sana. Mereka kemudian dibebaskan setelah  Jepang menyerah kepada sekutu[27].
Di Minahasa sendiri, pemerintah Jepang menyita banyak sekali harta milik gereja, seperti gedung sekolah, rumah kediaman para Pendeta Belanda, rumah sakit, dan gedung gereja. Pelarangan pengajaran agama kristen di sekolah juga dikeluarkan oleh Jepang[28]. Secara umum dapat digambarkan bahwa keadaan jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala pada masa pendudukan Jepang dapat berjalan sebagaimana biasanya, walaupun memang karena situasi keuangan yang sulit yang dialami oleh GMIM membuat pelayanan kepada jemaat-jemaat yang tersebar di daerah Donggala menjadi kurang maksimal. Mengenai tindakan Jepang terhadap kebaktian jemaat di daerah Donggala tampaknya tidak terlalu keras, dalam arti tidak sampai adanya pelarangan beribadah seperti halnya yang terjadi di beberapa tempat di Minahasa (Di Minahasa sendiri, sikap Jepang terhadap kebaktian jemaat berbeda di semua tempat, tergantung pada komandan militer setempat).  Dalam pelaksanaan kebaktian juga demikian, berbeda di setiap tempat, ada yang hanya diperkenankan menyanyi, berdoa dan membaca liturgi, ada juga yang dilarang berkhotbah[29]. Keadaan jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala dapat dikatakan tetap baik ternyata juga dipengaruhi oleh orang Kristen Jepang, seperti misalnya Ds. G. Fujisaki selaku pimpinan gereja Sulawesi tengah yang dipersatukan Jepang.

6. Gereja di Daerah Donggala Pada Masa Pemberontakan DI/TII
            Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan gerakan separatis yang dirancang oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiro yang bercita-cita mendirikan suatu negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Mula-mula gerakan ini berlangsung di Jawa barat, namun kemudian merembes ke berbagai daerah, seperti Aceh, Jawa tengah, Kalimantan selatan dan juga Sulawesi selatan[30].
Setelah teks proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia bagian timur sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibacakan oleh Kahar Muzakhar pada tanggal 7 Agustus 1953, orang-orang Kristen yang terdapat di daerah Sulawesi selatan mengalami penghambatan yang luar biasa. Kahar menghimbau agar mempertahankan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia sampai titik darah penghabisan[31]. Pemberontakan tersebut mengakibatkan orang-orang Kristen dari Sulawesi Selatan khususnya yang di bagian utara menyelamatkan diri dan mempertahankan imannya dengan cara melarikan diri ke daerah Donggala. Untuk menghindari tentara Islam, mereka yang mengungsi ke daerah Donggala memilih jalan melewati hutan tepatnya dari arah Selatan kota Palu. Mereka yang mengungsi adalah orang-orang Rampi, orang-orang Toraja dan Seko. Kedatangan para pengungsi ini di daerah Donggala ternyata mendapat sambutan yang baik terutama di wilayah kerajaan Kulawi yang telah menjadi warga Jemaat Protestan. Raja memberikan perhatian yang serius kepada mereka dan memberi tempat untuk mereka huni. Di daerah Kulawi misalnya, orang-orang Rampi yang datang mengungsi diberi lahan untuk didiami[32]. Hingga kini etnis Rampi sudah tersebar di wilayah Kulawi, mereka adalah orang-orang Kristen yang datang di daerah Donggala tanpa mengikut sertakan pelayan-pelayan gereja dari asal mereka. Demikian juga halnya dengan orang-orang Seko, setelah menempuh perjalanan  yang amat berat yaitu daerah Mamu di Watukilo mereka akhirnya tiba di daerah Donggala. Yang memimpin mereka saat itu disebut-sebut bernama Saniang dan Kalambo. Mereka diberi lahan untuk ditinggali tepatnya di desa Omu sekarang dan di Omulah ibadah pertama Gereja Toraja dilangsungkan di daerah Donggala[33]. Kedatangan para pengungsi ini telah menambah corak kekristenan di Daerah Donggala demikian juga dalam hal perkembangan gereja.
            Ternyata pasukan DI/TII tidak hanya melakukan aksinya di Sulawesi selatan, mereka juga memasuki daerah Donggala. Pemberontakan DI/TII ini sangat terasa di Donggala dan di Palu. Di Donggala sendiri mereka seringkali melakukan teror yang membuat masyarakat merasa takut dan waspada. Syukurlah bahwa ternyata mereka tidak menyerang orang-orang Kristen di sana yang mayoritas adalah orang-orang Minahasa dan Sangihe. Apakah hal ini disebabkan latar belakang Kahar Muzakhar yang sebelumnya mempunyai hubungan dengan Kawilarang yang adalah orang Minahasa, tidaklah diketahui. Serangan gerombolan DI/TII yang memasuki daerah Donggala telah berakibat pada banyaknya penduduk asli yang beragama Kristen beralih menjadi Islam dengan cara paksa[34]. Hanya sedikit dari mereka yang mampu mempertahankan iman mereka. Di antara mereka ada yang terpaksa pindah ke tempat lain asalkan mereka tetap percaya kepada Tuhan Yesus Kristus[35]. Orang-orang Kristen ini adalah hasil penginjilan Bala Keselamatan. Sampai sekarang sebahagian besar mereka tetap menjadi Islam. Gerombolan juga ternyata memasuki daerah pantai timur tepatnya di bagian utara Parigi. Orang-orang Kristen yang terdapat di Ongka dan di Ogotumubu terpaksa harus mengungsi ke Parigi demi keselamatan dan demi mempertahankan iman percaya mereka. Bukan hanya di daerah Pantai timur, tetapi juga di pantai barat, gerombolan membakar gedung gereja di Tibo dan di Panii. Mereka juga membunuh beberapa orang-orang Kristen di sana. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1957. Pada tanggal 13 Februari 1956 gerombolan DI/TII juga melakukan ekspansi di daerah Teluk Tomini yang berusaha mengislamkan orang-orang Kristen yang terdapat di sana. Akibatnya sekitar 789 jiwa orang-orang Kristen terpaksa mengungsi ke Parigi, sedangkan yang lainnya dengan terpaksa menjadi Islam[36].

7. Kehadiran Transmigrasi Dari Bali Di Daerah Donggala
Kehadiran orang-orang Bali di daerah Donggala dimulai sejak tahun 1957 tepatnya di daerah Palolo[37]. Kehadiran mereka di daerah Donggala dilatar belakangi keadaan hidup mereka yang semakin susah di Pulau Bali. Kala itu mereka datang secara berkelompok seperti layaknya perantau. Ternyata beberapa orang dari orang-orang Bali ini kemudian ada yang kembali ke Bali karena keadaan yang kurang aman saat itu di daerah Donggala, seperti bapak I Ngurah Lasir dan I Made Wejo. Kedua orang ini kembali lagi dengan membawa 15 kk orang-orang Bali ke daerah Donggala pada tahun 1959. Mereka tiba di Parigi pada bulan Desember 1959. Karena mereka belum mengenal siapapun di tempat ini, maka mereka menumpang di rumah saudara-saudara mereka orang-orang Bali yang Hindu di Mertasari selama 40 hari. Waktu itu kepala desa di Mertasari ialah seorang Bali Hindu yang bernama I Gusti Arko. Mulanya, raja Parigi hanya mengizinkan mereka untuk tinggal sementara di wilayah pemerintahannya karena mereka tidak memiliki surat jalan maupun surat pindah dari pemerintah Bali. Berkat bantuan kepala desa Mertasari I Gusti Arko, maka raja Parigi akhirnya mengizinkan mereka tinggal di daerah Parigi dan memberikan lokasi di Masari[38] untuk mereka buka menjadi lahan pertanian. Setelah tiba dan memulai hidup yang baru di daerah Donggala, orang-orang Bali yang beragama Kristen ini beribadah ke Parigi, sebab kala itu gedung gereja masih hanya ada di Parigi mereka juga melaporkan diri mereka kepada pengurus gereja dengan maksud agar mereka diketahui sebagai orang Kristen dan juga untuk dilayani. Mulai saat itulah mereka mulai beribadah bersama-sama dalam satu persekutuan. Pendeta GMIM yang melayani di Parigi saat itu melayani mereka setiap hari Minggu.
Selanjutnya orang-orang Bali didatangkan lagi ke daerah Donggala dalam program transmigrasi Umum yang pertama kali di Sulawesi tengah tepatnya di Desa Nambaru Kecamatan Parigi, Kabupaten Donggala (sekarang Kabupaten Parigi Moutong), yakni Pada tanggal 28 Februari 1962 dengan jumlah 52 KK, 243 jiwa yang berasal dari Pulau Bali[39]. Kemudian pada tahun 1968 transmigrasi dari Bali tiba lagi di daerah Donggala tepatnya di Tolai. Transmigrasi tersebut merupakan transmigrasi spontan yang diprakarsai oleh Gereja Kristen Protestan Bali dan melibatkan pemerintah setempat[40]. Mereka ternyata bukan saja yang beragama Kristen tetapi juga beragama Hindu. Setelah mereka tiba di daerah Donggala ternyata dari orang-orang Bali yang baragama Hindu banyak yang berpindah ke agama Kristen dengan berbagai alasan[41]. Para peserta transmigrasi Bali yang beragama Kristen  tersebut selanjutnya berupaya mendirikan tempat ibadah/gedung gereja walaupun sifatnya masih darurat. Mereka kemudian dilayani oleh pelayan-pelayan GMIM yang ada di Parigi. Jumlah orang-orang Bali ini terus meningkat terutama karena adanya program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun transmigrasi swakarsa/spontan mandiri (TSM). Merekapun, termasuk orang-orang Kristen menyebar hampir ke semua tempat khususnya di daerah Parigi selatan sekarang. Perlu diketahui, bahwa ternyata orang-orang Kristen dari pulau Bali yang mengikuti transmigrasi ke daerah Donggala tidak didampingi oleh pelayan gereja yakni dari Gereja Kristen Protestan Bali akibatnya sesampainya di daerah Donggala mereka beribadah di gereja yang dilayani GMIM yang terdapat di Parigi dan kemudian mereka mulai mendirikan gedung gereja dan dilayani oleh Pelayan maupun Pendeta dari Parigi yang adalah pelayan GMIM.

8. Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa PERMESTA 
Permesta (Perjuangan Semesta) di mulai dengan pembacaan Proklamasi Permesta oleh LetKol. Ventje Sumual pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar[42]. Permesta yang diproklamasikan di Makassar melibatkan banyak petinggi militer yang berasal dari Sulawesi utara dan juga didukung oleh masyarakat Minahasa mulai menyebar ke seluruh pelosok Sulawesi termasuk Sulawesi tengah. Di kemudian hari, Permesta lebih identik dengan masyarakat Minahasa bukan saja yang tinggal di Minahasa tetapi juga di tempat-tempat lain, seperti di Sulawesi tengah pada umumnya dan di daerah Dongggala pada khususnya.
Pada bulan Juli 1957 H. N. V. Sumual menyatukan Sulawesi utara tengah yang terpisah dari Sulawesi selatan tenggara dan mengangkat Manoppo sebagai gubernur[43]. Permesta yang dianggap oleh pemerintah sebagai pemberontakan mulai diperangi. Bukan hanya di Minahasa, tetapi juga di Sulawesi tengah, termasuk di daerah Donggala. Peperangan antara tentara pusat dengan pasukan Permesta ternyata menjadikan gereja menjadi korban. Jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala yang adalah daerah pelayanan GMIM diperhadapkan pada situasi yang sulit.
            Di daerah Parigi misalnya, sebagian orang-orang Kristen (orang-orang Minahasa) dikejar-kejar dan ditangkap oleh tentara pusat sehingga mengakibatkan kehidupan gereja terganggu karena tidak merasa aman. Penyelenggaraan ibadahpun diawasi oleh tentara pusat dan tidak sedikit dari antara anggota jemaat yang ditangkap dan mengalami perlakuan buruk dari tentara pusat karena mereka orang Minahasa. Di Donggala (kerajaan Banawa), Permesta sempat menguasai keadaan, sehingga tentara pusat berupaya menaklukkan mereka dan merebut kembali tempat tersebut. Di Donggala, ternyata Permesta sangat eksis. Karena di tempat ini sendiri dibuka perekrutan dan pelatihan tentara Permesta. Orang-orang yang direkrut ternyata bukan hanya orang-orang Minahasa maupun Sangihe, tetapi banyak juga dari penduduk asli. Permesta juga didukung sepenuhnya oleh Raja Banawa yang kala itu dipimpin oleh Raja Lamarauna. Gereja sendiri kelihatan bersikap terbuka terhadap Permesta walaupun pada hakikatnya tidak menunjukkan dukungan yang nyata. Pada bulan April 1948 Donggala diserang oleh tentara pusat, berlangsunglah peperangan yang dahsyat. Tentara pusat akhirnya mampu menduduki Donggala dengan personil yang cukup banyak. Akibatnya banyak dari penduduk yang ditangkap dan dipenjarakan termasuk Raja Lamarauna sendiri[44]. Selain itu, banyak juga dari antara penduduk terutama orang-orang Minahasa yang dikenakan wajib lapor tanpa alasan yang jelas. Walaupun tidak secara langsung, dampak peperangan antara tentara pusat dengan Permesta juga dirasakan oleh gereja. Ibadah-ibadah menjadi sunyi karena banyak warga jemaat yang enggan menunjukkan diri, takut ditangkap oleh tentara pusat. Hal yang sama juga dialami oleh jemaat yang terdapat di kota Palu, bahkan tentara pusat terus mengejar pasukan permesta hingga ke daerah pedalaman, seperti di Kulawi[45].
            Penumpasan Permesta di daerah Donggala oleh tentara Pusat yang dipimpin oleh seorang suku Toraja yakni Frans Karangan, ternyata juga melahirkan satu corak persekutuan Kristen yang baru dari Gereja Toraja. Para tentara pusat yang sebagian besar adalah warga Gereja Toraja yang kemudian menetap di Palu, turut mensponsori berdirinya Gereja Toraja di kota Palu pada waktu kemudian.

9. Persiapan Kemandirian Gereja Protestan Indonesia Donggala
Gereja Masehi Injili Di Minahasa (GMIM) sebenarnya telah sejak lama merencanakan pemekaran jemaat-jemaat yang ada di daerah penginjilan termasuk yang terdapat di daerah Donggala. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan bahwa gereja-gereja di daerah penginjilan sudah mulai mampu membiayai tunjangan Pendeta dan mendirikan gedung-gedung gereja. Pada tahun 1955 ketua Sinode GMIM yang pada saat itu dijabat oleh Pdt. M. Sondakh telah mengunjungi jemaat-jemaat yang ada di Sulawesi tengah, termasuk di daerah Donggala. Kunjungan itu sekaligus hendak melihat sejauh mana gereja mengalami penghambatan akibat pemberontakan DI/TII. Selain itu, ternyata kunjungan tersebut juga merupakan evaluasi terhadap kemapaman jemaat-jemaat yang ada di daerah Donggala untuk rencana pemekaran. Pada tahun-tahun selanjutnya, jemaat-jemaat di daerah Donggala ternyata dilihat telah mampu membangun gedung gereja sendiri dan sudah mulai mampu membiayai gaji Pendeta atau Pelayannya. Untuk itu, maka di tiap-tiap jemaat diangkatlah seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat yang bertugas untuk memberitakan Firman (Berkhotbah), memimpin Katekisasi dan pelayanan-pelayanan lainnya, kecuali Pelayanan Sakramen[46]. Pdt. D. Wenas adalah seorang Pendeta GMIM yang disebut-sebut sangat berperan dalam persiapan berdirinya GPID. Pdt. D. Wenas adalah koordinator pelayanan di seluruh daerah Donggala (Palu, Parigi-Moutong, Donggala dan Kulawi). Pada waktu persiapan pemekaran GPID sebagai gereja mandiri, jemaat telah berjumlah 48 jemaat yang dilayani seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat tiap jemaat.
            Pada tanggal 18 Desember 1964 bertempat di gereja Centrum GMIM Manado akhirnya secara simbolis jemaat-jemaat di daerah-daerah Penginjilan GMIM dinyatakan menjadi gereja-gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan Di Indonesia (GPI), Masing-masing:
1. Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo (GPIG) yang berpusat di 
    Gorontalo.
2. Gereja Protestan Indonesia Di Buol Toli-toli (GPIBT) yang berpusat di
    Toli-toli.
3. Gereja Protestan Indonesia Di Donggala (GPID) yang berpusat di palu.
Pernyataan simbolis tentang kemandirian gereja-gereja di daerah penginjilan GMIM tersebut ternyata masih membutuhkan waktu untuk ditahbiskan menjadi Gereja mandiri.


C. GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA TAHUN 1965 SAMPAI
     TAHUN 2003

1. Pelayanan Gereja Protestan Indonesia Donggala
            Setelah diresmikan secara simbolis pada tanggal 18 Desember 1964, Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) bersama dengan Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo (GPIG) dan Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-toli (GPIBT) resmi menjadi gereja mandiri di bawah naungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Namun, pelaksanaan kemandirian tersebut di Gereja Protestan Indonesia di Donggala barulah berjalan mulai tanggal 4 April 1965, yakni dengan dilangsungkannya pentahbisan Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang bertempat di Gereja Pniel Palu. Pentahbisan itu dihadiri oleh Pnt. H. B. Kaunang (BPS GMIM), Pdt. Daandel, Pdt. Daan Wenas, Pdt. Y. Wokas dan yang lainnya[47]. Acara pentahbisan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan sidang Am sinode pertama Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang berlangsung mulai dari tanggal 4-7 April 1965 sekaligus untuk menyusun pedoman kerja Majelis Sinode dan pemilihan Majelis sinode untuk periode pertama yang bertugas selama 4 tahun (1965-1968). Untuk melaksanakan sidang sinode tersebut dibentuklah terlebih dahulu Proto Sinode yang diketuai Pnt. Yan Kaunang dan Sekretaris Pdt. D. Wenas. Ketua Sinode yang pertama dijabat oleh Pdt. D. M. V. Kandijoh dan Sekretaris Pnt. Hans Pondaag yang terpilih dalam sidang Am Sinode yang pertama tersebut. Majelis Sinode terpilih ini bekerja sampai pada tahun 1968[48]. Setelah ditahbiskan sebagai gereja yang mandiri, selanjutnya GPID terus berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dalam rangka penatalayanan Gereja Tuhan yang tersebar di daerah Donggala sebab GMIM tidak lagi memberikan bantuan terutama menyangkut bantuan dana.
Sejak tahun 1965 Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) menjadi gereja yang mandiri di mana pelayanannya meliputi daerah  Kabupaten Donggala (Donggala, Palu dan Parigi). Sesuai dengan tata gereja, GPID memiliki tujuan yakni; terwujudnya suatu persekutuan orang-orang percaya yang takut, taat, dan setia kepada Allah Yang Maha Kuasa Khalik semesta alam dan yang bertanggung jawab untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara menuju kehidupan yang adil, sejahtera, bersatu sesuai dengan kesaksian Alkitab[49].
Pada waktu lahirnya sebagai satu Sinode Mandiri, pelayanan GPID meliputi 6 wilayah, 48 jemaat yang terdiri dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa. Keenam wilayah tersebut dilayani oleh 8 orang Pendeta dan 3 orang Guru Injil.
Setelah melayani selama 25 tahun dalam berbagai suka dan duka GPID terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Sehingga pada tahun 1990 GPID telah memiliki 24 wilayah, 133 Jemaat, 4895 KK, 23.317 jiwa yang dilayani oleh 43 orang Pendeta. Jumlah ini terus meningkat, sehingga tahun 2003 GPID telah memiliki 98 orang Pendeta, 12 orang Vikaris yang melayani 153 jemaat dalam 40 wilayah dengan jumlah 30 ribu jiwa, 6910 KK[50].
            Pelayanan lainnya juga dilaksanakan oleh GPID seperti di bidang sosial dan pendidikan. Tahun 1979 GPID mendirikan panti asuhan sebagai bukti pelayanannya di bidang sosial. Selanjutnya tahun 1980, GPID juga mendirikan sekolah-sekolah mulai dari tingkat Taman kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2003 tercatat jumlah sekolah yang didirikan GPID adalah, TK berjumlah: 10 buah, SD: 2 buah, SLTP: 2 buah, SMA: 2 buah[51].   

2. Struktur Dan Organisasi Badan Gerejani Di Gereja Protestan Indonesia di
    Donggala
Memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan baik di bidang dana maupun letak geografis pelayanan yang sangat jauh antara satu jemaat dengan jemaat yang lain, maka GPID dalam hal ini Majelis Sinode menerapkan struktur devinitif  Jemaat-Wilayah-Sinode[52]dalam mekanisme pelayanan sistem Presbyterial Sinodal.
Pada tanggal 29 Juli sampai dengan 1 Agustus 1966 yakni pada sidang Am II Sinode GPID, peraturan dasar GPID yang disusun oleh panitia dan Badan Pekerja Am GPI dibahas lagi dan diadakan beberapa perubahan, selanjutnya ditetapkan dan disahkan menjadi tata gereja, peraturan-peraturan dan peraturan-peraturan khusus  GPID yang mulai digunakan sejak 1 Januari 1967[53].
            Sebelum berlangsungnya Sidang Sinode Am pada tahun 1968, di GPID terjadi masa transisi kepemimpinan yang disebabkan kembalinya Pdt. D. M. V. Kandijoh sebagai ketua Sinode dan Pnt. Hans Pondaag sebagai sekretaris Sinode ke Minahasa. Untuk mengisi lowongan yang kosong tersebut, maka diangkatlah Pdt. Morens Lagimpu[54] sebagai Pejabat sementara Ketua Sinode dan Pdt. Yesaya Roti Lampie sebagai Pjs Sekretaris Sinode sekaligus dipercayakan untuk mempersiapkan Sidang Am Sinode GPID tahun 1968.
            Pada  tahun 1968 di Palu berlangsunglah Sidang Am Sinode GPID sekaligus untuk memilih Majelis Sinode yang baru. Dalam Sidang Am Sinode ini, maka terpilihlah Majelis Sinode yang baru, yakni;
Ketua: Pdt. Frans Kaesang Taga
Wakil Ketua: Pdt. M. Lumolos
Sekretaris: Pdt. Yesaya Roti Lampie
                                           Pdt. Marthen Tondong
                                           Pnt. Yan Theodorus Kairupan
Majelis Sinode terpilih ini bekerja selama empat tahun sesuai dengan peraturan dasar GPID. Pada periode Majelis Sinode yang baru ini, telah terjadi beberapa pembaharuan di dalam tubuh GPID. Pembaharuan yang terjadi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk lebih mengarahkan GPID kepada kemandiriannya sebagai sebuah Gereja.
            Pada tahun 1969 dalam Sidang Sinode GPID diputuskan perobahan nama GPID, jika sebelumnya gereja ini diberi nama Gereja Protestan Indonesia Di Donggala, maka kata ”di” dihapus. Kemudian nama gereja ini menjadi Gereja Protestan Indonesia Donggala[55].
Sesuai dengan peraturan dasar GPID, susunan GPID adalah Jemaat dan Sinode[56]. Pada Bab I pasal 2a dalam Peraturan Dasar tersebut disebutkan;
Jemaat ialah persekutuan dari anggota-anggota yang diam di suatu tempat yang tertentu yang menyelenggarakan rumah tangganya sendiri selaku bagian dari gereja. Tiap jemaat terdiri tidak kurang dari 10 rumah tangga. Jemaat ditetapkan dan disahkan dengan beslit Sinode.
Sedangkan Sinode adalah sidang tertinggi yang memutuskan segala hal yang bersifat umum. Sinode terdiri dari anggota-anggota utusan jemaat[57]. Badan Pekerja Sinode terdiri dari seorang Ketua dan seorang Sekretaris dan seorang lagi Bendahara serta 4 orang anggota. Adapun Penasehat Sinode terdiri dari 3 orang yang tidak bekerja penuh waktu. Walaupun pada awalnya susunan GPID terdiri dari Jemaat dan Sinode, tetapi dalam praktek selanjutnya yang terjadi ialah terdiri dari Sinode-Wilayah[58]dan Jemaat[59]. Untuk menyelenggarakan Sidang Sinode, biasanya wilayah-wilayah mengirim utusan-utusannya. Setiap wilayah mengirim utusannya 3 orang pelayan khusus yang terdiri dari 1 orang Pendeta atau Guru Injil dan 2 orang yang dipilih oleh Majelis jemaat di wilayah tersebut. Dalam susunan organisasi GPID juga dikenal wilayah berbantuan, yakni jemaat-jemaat yang masih ditopang oleh Sinode terutama dalam hal keuangannya.
            Pada mulanya pelayan-pelayan Gereja Protestan Indonesia Di Donggala terdiri dari beberapa penggolongan yakni;
a.       Pendeta, adalah seorang tamatan sekolah Teologia dan juga Pendeta 
       angkatan yang diangkat oleh Sinode.
b.      Guru Injil Kategori B, ialah Pelayan sama dengan Pendeta tetapi tidak 
       melalui sekolah Pendeta; diangkat oleh Sinode.
c.       Guru Injil Kategori A. (Guru Jemaat), ialah Pemimpin Jemaat yang dipilih  oleh sidi-sidi Jemaat.
d.      Majelis Jemaat, ialah Pendeta, Penatua Dan Syamas[60].
Akibat terbatasnya tenaga pelayan di GPID, maka tahun 1982 melalui Sidang Am Sinode GPID di Sumbersari,  Guru-guru Injil kategori B resmi diangkat menjadi Pendeta[61]. Kepada mereka kemudian diberikan semacam pembinaan khusus oleh Majelis Sinode. Mereka ini tetap menjadi pegawai organik GPID yang digaji sama dengan pendeta-pendeta lainnya. Sedangkan Guru Injil kategori A telah berobah nama menjadi guru Jemaat pada tahun 1971 dan dalam perkembangan selanjutnya istilah untuk jabatan ini berobah menjadi ketua jemaat dan mereka bukan merupakan pegawai organik. Mereka ini bekerja sesuai dengan periode majelis jemaat di jemaat masing-masing dan dipilih dalam sidang sidi-sidi jemaat.
Komposisi Majelis Sinode Harian GPID dari periode ke periode selalu saja mengalami perobahan walaupun tidak terlalu banyak, tetapi paling tidak dari sini dapat dilihat bahwa komposisi tersebut diadopsi sesuai dengan tuntutan konteks pelayanan pada saat itu. Jika dari tahun 1965-1968, unsur wakil ketua belum ada, maka pada tahun 1968-1976 unsur wakil ketua ditambahkan pada komposisi MSH. Kemudian mulai pada tahun 1976-1988 jabatan wakil ketua Sinode dihilangkan lagi, tapi pada tahun 1988-2003 jabatan wakil ketua[62] diadakan lagi. Tetapi sejak tahun 2003 jabatan wakil ketua dibagi dalam 3 bidang yakni masing-masing membidangi pelayanan; wakil ketua I membidangi Kesaksian Keesaan dan Pekabaran Injil (KEKES/PI), wakil ketua II membidangi Pembinaan Warga Gereja dan penelitian Pengembangan (PWG/Litbang), sedangkan wakil ketua III membidangi Diakonia. Dengan demikian sekretaris-sekretaris departemen yang sebelumnya ada, kini dihilangkan.
Sejak tahun 1988 melalui Sidang Sinode Am GPID telah ditetapkan bahwa masa kerja Majelis Sinode berlaku selama 5 tahun. Untuk itu mulai tahun 1988 GPID melaksanakan Sidang Am Sinode sekali dalam 5 Tahun dan ini berlaku hingga sekarang. Tetapi setiap tahunnya dilaksanakan sidang tahunan Sinode untuk mengevaluasi program Majelis Sinode dan sekaligus menyusun program kerja dan rencana anggaran pendapatan dan belanja Sinode untuk tahun berjalan. Sedangkan Sidang Am istimewa hanya dilangsungkan apabila ada hal-hal yang sangat penting untuk diputuskan.

2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Jemaat dan Keadaan Kemandirian 
    Teologi, Daya dan Dana
a. Pertumbuhan dan Perkembangan Jemaat
            Walaupun Gereja Protestan Indonesia di Donggala diperhadapkan pada pergumulan yang berat di awal berdirinya, namun gereja ini ternyata terus bertumbuh dan jumlah warga jemaatnya terus bertambah, demikian juga dengan tenaga pelayan. Jika pada tahun 1965 tercatat jumlah Wilayah pelayanan sebanyak  6 wilayah, dan jemaat: 48 jemaat, yang terdiri dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa serta jumlah tenaga pelayan: 8 orang Pendeta dan 3 orang Guru Injil, maka pada tahun 1968 jumlah tersebut bertambah menjadi 12 wilayah, yang terdiri dari 65 jemaat, yang terdiri dari kurang lebih 14. 600 jiwa. Sedangkan jumlah Pendeta menjadi 15 orang, Guru Injil 10 orang, Guru jemaat 64 orang, Penatua 151 orang dan Diaken 151 0rang serta 1 orang Guru Agama tetap[63]. Jumlah ini sungguh signifikan bagi sebuah gereja yang baru mandiri selama kurun waktu 4 tahun. Pertumbuhan jumlah warga jemaat dan juga tenaga pelayan di GPID terus bertambah dari periode ke periode. Sehingga pada tahun 2003 jumlah warga jemaat GPID menjadi; 28.046 Jiwa (6910 KK), yang tersebar dalam 147 jemaat, 40 wilayah. Sedangkan jumlah pelayan menjadi, Pendeta; 98 orang, Vikaris 12 Orang[64].
            Bertambahnya jumlah jemaat tersebut tidak terlepas dari upaya pekabaran Injil yang dilakukan, baik oleh pelayan-pelayan Khusus maupun oleh warga jemaat sendiri[65]. Bahkan dalam sejarahnya, GPID pernah membuka wilayah pekabaran Injil di Kalimantan timur, tepatnya di Kabupaten Kutai. Pekabaran Injil di tempat tersebut mula-mula dilakukan oleh beberapa orang warga GPID yang berasal dari Abo yang merantau ke Kalimantan sebagai pencari rotan[66]. Sesampainya di Kalimantan orang-orang ini kemudian berbaur dengan masyarakat setempat dan mulai memberitakan Injil kepada mereka yang pada masa itu masih memeluk agama suku. Kemudian tahun 1982 GPID menyanggupi permintaan warga GPID yang telah merasa berhasil mengabarkan Injil di Kalimantan dengan mengutus Pdt. I Gusti Bagus Sudiadjana untuk membabtis 89 orang suku Dayak. Selanjutnya GPID menempatkan tenaga pelayan untuk memelihara jemaat tersebut. Jemaat tersebut malah berkembang dengan pesat sehingga kemudian menjadi dua jemaat yang mandiri[67]. Di samping itu, pertumbuhan jumlah jemaat dan pelayan juga terjadi akibat arus transmigrasi yang terus meningkat ke daerah Donggala baik yang diprakarsai pemerintah maupun dalam transmigrasi spontan. Misalnya saja pada tahun 1968 jumlah transmigrasi meningkat tajam di daerah Parigi selatan tepatnya di Tolai. Ternyata transmigrasi ini diprakarsai oleh seorang kepala desa yakni Tumakaka. Ternyata para peserta transmigrasi ini sebagian besar adalah orang-orang Kristen dari Bali, maka setelah mereka tiba di daerah Donggala yakni di Parigi selatan mereka kemudian menjadi warga GPID dan ada juga yang menjadi warga GKST[68]. Program transmigrasi selanjutnya seperti transmigrasi dari Pulau Jawa yang ditempatkan di Tirtasari, Kota raya dan transmigrasi lokal pada tahun 1977 dalam kerja sama dengan PGIW Sulutteng yakni mereka yang kemudian ditempatkan di Sigega. Selain dalam transmigrasi lokal maupun nasional, ada juga dikarenakan migrasi karena bencana alam, seperti halnya komunitas orang-orang Sangihe yang terdapat di Kopi Lambunu[69].

b. Kemandirian Theologi
            Mengenai upaya yang dilakukan menuju kemandirian Teologi dapat dicatat bahwa sejak tahun 1967 GPID telah membina sebuah Akademi Teologia, yang dahulu didirikan oleh DGI Wilayah Sulutteng akan tetapi terkesan dibiarkan. Akhirnya GPID mengambil alih dan bertanggung jawab penuh atasnya. Akademi Theologia GPID yang beralamat di Jl. Pattimura IV/85 tersebut didirikan pada tanggal 18 januari 1969 dipimpin oleh Pdt. M. Lumolos[70]. Walaupun dalam situasi yang sulit karena keterbatasan Dana, Tenaga maupun infrastruktur, Akademi Theologia GPID telah berhasil menamatkan sejumlah tenaga pelayan di GPID ke masa selanjutnya.
            Pola berteologi yang ditunjukkan para pelayan yang telah dipersiapkan dan mempersiapkan diri di Akademi tersebut lebih diarahkan pada gaya berteologi kontekstual dengan memperhatikan kemajemukan budaya di kalangan warga gereja. Gaya berteologi ini sangat mempengaruhi perkembangan Gereja Tuhan di masa selanjutnya, sebab kemajemukan yang ada tersebut dijadikan sebagai kekayaan. Budaya berada dan berjalan bersama-sama dengan Injil sebagai anugerah Tuhan dan semua demi kemuliaan Tuhan.
            Belum lama didirikan, GPID langsung diperhadapkan pada persoalan yang dilematis menyangkut keberadaan Akademi Theologia GPID di Palu, yakni bahwa GKST juga mendirikan PGA di Palu. GKST beralasan bahwa PGA yang didirikan ini adalah merupakan antisipasi untuk memenuhi jumlah tenaga Guru Agama di Palu yang diprediksi akan terus meningkat. Sekali lagi GPID dan GKST terlibat dalam ”perang dingin”. Akhirnya pada tahun 1971 akademi Theologia GPID resmi ditutup sesuai dengan keputusan sidang Sinode ke- VI tahun 1970. Penutupan Akademi Theologia ini disebabkan selain karena tidak tersedianya dana yang mencukupi di GPID, juga karena PGA yang didirikan oleh GKST kemudian menjadi pilihan orang-orang Kristen di Palu pada khususnya yang ingin mendalami ilmu Theologia. Selanjutnya dalam rangka kemandirian di bidang Theologia, berbagai upaya telah dilakukan di antaranya:
* Pemberitaan Firman Allah secara intensif, tersistem dengan metode-metode  
   yang sesuai dengan kondisi jemaat melalui;
             - Ibadah-ibadah Minggu,  kunjungan rumah tangga, kompelka, KPI
       - Penelaan Alkitab, PA dan pekan keluarga.
       - Konsultasi, seminar, lokakarya dan PWG.
* Mengupayakan dan menggumuli suatu pemahaman iman GPID yang benar-
   benar lahir dari kondisi objektif GPID.
* Menyusun sejarah GPID.
* Mengikut sertakan seluruh lapisan warga gereja dalam pelayanan gereja.
* Menggali dan mentransformasikan kekayaan budaya yang ada di GPID[71]. 

c. Kemandirian Daya
            Pada mulanya sewaktu GPID baru ditahbiskan menjadi sebuah Sinode mandiri, pergumulan utama adalah kurangnya tenaga pelayan. Sehingga pada waktu itu tidak heran jika ada seorang Pendeta yang melayani untuk 10 jemaat. Beruntunglah bahwa kehadiran guru Injil baik kategori A maupun kategori B telah sangat membantu pelayanan gereja Tuhan yang tersebar di daerah Donggala. Karena terbatasnya tenaga pelayan, maka tidak heran juga jika di GPID pada awalnya banyak tenaga utusan gereja dari gereja-gereja lain. Dari waktu ke waktu, jumlah tenaga utusan gerejawi yang diperbantukan di GPID semakin berkurang. Ini terjadi karena tenaga-tenaga pelayan sudah semakin meningkat jumlahnya. Apalagi setelah penamatan 8 orang dari akademi theologia Palu yang kemudian bertugas di jemaat-jemaat, GPID juga mengangkat Guru-guru Injil kategori B menjadi pendeta penuh pada tahun 1971. Demikian juga halnya dengan kedatangan beberapa orang Pendeta dari Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) telah menambah jumlah Pendeta di GPID. Penerimaan Vikaris setiap tahunnya juga menjadi faktor utama yang mengakibatkan bertambahnya jumlah pelayan di GPID.
            Bukan hanya tenaga Pelayan, tetapi pertumbuhan kemampuan jemaatpun semakin hari semakin nampak sehingga tanggung jawab untuk menunaikan tugas dan panggilan gereja semakin nyata pula. Untuk menumbuhkan kemampuan seluruh warga gereja dalam memikul tanggung jawab dan tugas panggilannya, maka GPID telah melakukan berbagai upaya, di antaranya;
·        Mengerahkan dan mengarahkan warga jemaat untuk mewujudkan tugas panggilan mereka sebagai gereja.
·        Melibatkan para profesional yang terdapat di antara warga gereja untuk bersama-sama melayani sesuai dengan talenta, karunia, bakat dan potensi yang dimiliki masing-masing.
·        Mempersiapkan kader, yakni dengan program alih generasi kepelayanan gereja dalam arti yang luas dan positif.
·        Dengan terus-menerus meningkatkan kualitas para pelayan dan pelayanan warga gereja melalui kursus-kursus, pelatihan/pembinaan, dan pendidikan ke jenjang strata yang lebih tinggi, baik di bidang Theologi, maupun non theologia melalui jalur akademis dan profesional dengan pemberian beasiswa.
Hingga tahun 2003 kemandirian Daya di GPID terus menerus mengalami perkembangan, jumlah warga jemaat GPID menjadi; 28.046 Jiwa (6910 KK), yang tersebar dalam 147 jemaat, 40 wilayah. Sedangkan jumlah pelayan menjadi, Pendeta; 98 orang, Vikaris 12 Orang[72]. Bukan hanya dalam jumlah tetapi juga dalam peningkatan kualitas, sehingga Pendeta-pendeta yang lulus dari pendidikan Theologia semakin banyak[73].

d. Kemandirian Di Bidang Dana
Seperti yang telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa setelah GPID ditahbiskan menjadi gereja mandiri, GMIM sama sekali tidak lagi memberi bantuan di bidang dana. Untuk itu GPID harus dengan semaksimal mungkin berusaha memenuhi sendiri kebutuhan pelayanannya di bidang dana. Upaya memenuhi kebutuhan di bidang dana dilakukan mulai dari tingkat jemaat, wilayah hingga di tingkat sinodal. Mengenai skala penggajian Pendeta-pendeta maupun guru-guru Injil sepenuhnya diatur dan ditetapkan menurut tata gereja, akan tetapi untuk pembayarannya sepenuhnya adalah tanggung jawab jemaat di mana Pendeta atau Guru Injil tersebut melayani. Demi terpenuhinya anggaran pelayanan, maka di tingkat jemaat selalu dihimbau menyusun sendiri anggaran pendapatan dan belanja jemaat setiap tahunnya, demikian juga halnya di tingkat wilayah dan di tingkat sinode. Adapun sumber-sumber keuangan gereja,
di tingkat jemaat diperoleh dari;
-         Kolekte tiap hari Minggu, kumpulan-kumpulan[74] dan juga pada hari raya  
       gerejawi serta ibadah khusus lainnya
-         Partisipasi warga jemaat berupa iuran
-         Usaha jemaat, seperti hasil sawah atau kebun jemaat.
Sedangkan di tingkat Sinode;
-         Setoran dari tiap-tiap Jemaat; 10% dari korban bulanan dan 10% dari korban tahunan
-         Sumbangan dari Pemerintah maupun perwakilan di Jakarta.
Dari tahun 1965 hingga tahun 1968 (periode Majelis Sinode pertama) masalah keuangan merupakan hal yang sangat berat dirasakan oleh GPID. Tetapi, kendatipun demikian masa-masa sulit ini dapat dilalui karena penyertaan Tuhan Sang Kepala Gereja yang selalu memenuhi kebutuhan gereja- Nya. 

3. Hubungan Kerja Sama Oikumenis Gereja Protestan Indonesia Donggala
a. Hubungan Kerjasama Oikumenis Dengan Gereja-gereja
    1. Di Tingkat Lokal
Kerja sama di antara gereja-gereja yang terdapat di Sulawesi tengah dan daerah Donggala pada khususnya telah tercipta sejak perjumpaan mereka antara gereja yang satu dengan yang lain. Semangat oikumenis tersebut terlihat dari kesediaan warga dari gereja yang saling berbeda untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang diputuskan dan dilakukan bersama, misalnya dalam perayaan-perayaan gerejawi bersama. Sejak menjadi Gereja Mandiri, GPID selalu berusaha menjalin kerja sama dalam semangat oikumenis  dengan gereja-gereja yang terdapat di daerah Donggala dan juga di tingkat Propinsi Sulawesi tengah. Walaupun harus diakui bahwa di awal kemandiriannya sebagai satu Sinode, GPID diperhadapkan pada pergumulan dalam hubungannya dengan gereja tetangga[75].  Pengalaman serupa juga sering kali terjadi dengan gereja-gereja yang bermunculan di daerah Donggala terutama gereja beraliran kharismatik seperti gereja-gereja Pantekosta. Anggota-anggota GPID seringkali menjadi incaran gereja-gereja Pantekosta yang mulai menjamur di daerah Donggala sejak akhir abad 20. Namun secara umum, GPID telah berhasil menjalin kerja sama oikumenis dengan gereja-gereja tetangga dalam berbagai bentuk kegiatan.

    2. Di Tingkat Regional
GPID berpartisipasi aktif  dalam hubungan kerja sama oikumenis, yakni dengan menjadi anggota persekutuan Gereja-gereja Wilayah Sulawesi Utara dan Tengah (PGW Sulutteng) sejak Oktober 1990. Bahkan pada bulan Juni-Juli 1990 GPID menjadi tuan rumah penyelenggaraan sidang Sinode Am I PGW Sulutteng tersebut[76]. Selanjutnya, GPID dengan rutin menghadiri rapat kerja dan sidang Ketua-ketua Sinode Am setiap 2 kali setahun. Kegiatan-kegiatan di Sinode Am Sulutteng lainnyapun seperti halnya; penataran pelayan-pelayan dan kegiatan Kompelka. Selain memberi iuran ke Sinode Am, GPID juga bekerjasama di bidang pendidikan dan di bidang diakonia. Pada tahun 1977 GPID telah bekerja sama dengan PGIW Sulutteng dalam proyek transmigrasi lokal yakni di Sigega[77].

    3. Di Tingkat Nasional
    3. 1. Gereja Protestan Indonesia Donggala Adalah Gereja Bagian Mandiri[78]  
            Gereja  Protestan Indonesia.
Gereja Protestan Indonesia Donggala sebenarnya adalah bekas gereja yang dahulu dilayani oleh Gereja Protestan Indonesia. Namun Sejak 1 Januari 1937 pelayanan terhadap Gereja di daerah Donggala ini diserahkan oleh Gereja Protestan Di Indonesia (GPI) kepada GMIM untuk menjadi daerah penginjilan GMIM seiring dengan pemisahan administratif di Gereja Protestan di Indonesia pada akhir tahun 1934. GPID adalah bagian dari GPI sesuai pernyataan BaPeAm GPI no. Bap. 8/Sek/69. Dengan demikian Badan Hukum Gereja Protestan Indonesia Donggala adalah sama dengan Badan Hukum Gereja Protestan di Indonesia Staatblad no. 19 tanggal 15 Mei 1927[79] yang berlaku Sejak tahun 1969.
Badan hukum GPID yang sama dengan badan hukum GPI menunjukkan eratnya hubungan GPID dengan GPI. Secara historis boleh dikatakan bahwa GPID adalah anak kandung dari GPI sebab semula sebelum menjadi sebuah gereja mandiri, GPID dilayani oleh GPI setelah itu diserahkan kepada GMIM.

   3. 2. GPID Adalah Anggota Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia
            Sebagai sebuah gereja yang lahir, tumbuh dan melayani di Indonesia, maka pada tahun 1967 pada sidang Raya DGI/PGI di Makassar GPID menyampaikan permohonannya kepada DGI/PGI untuk menjadi anggota. Akan tetapi pada saat itu GPID hanya diterima menjadi anggota luar biasa di DGI/PGI disebabkan keberatan gereja tetangga yakni GKST. Setelah digumuli selama kurang lebih 2 tahun maka pada tanggal 3 Oktober 1969 GPID ditetapkan sebagai anggota penuh ke-39 di DGI/PGI[80].

   3. 3. Hubungan Oikumenis Dan Kerja sama GPID Di Tingkat Internasional
            Sejak tahun 1969 GPID telah menjalin kerja sama dengan zending Nederlandse Hervomde Kerk (NHK). Kemudian pada masa kepemimpinan Pdt. Tommy Malonda sebagai ketua Sinode (1993-1998) Gereja Protestan Indonesia Donggala mendaftarkan diri  menjadi anggota World Alliance of Reformed Churches (WARC). Ini menunjukkan bahwa GPID juga turut menggumuli semangat keesaan Gereja sampai di tingkat internasional. Di samping itu, dengan masuknya GPID sebagai anggota WARC, maka GPID telah menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah gereja reformasi. GPID juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga gereja di luar negeri yang terjalin dalam bentuk kemitraan, di antaranya: PKN di Belanda dan dengan EMS di Jerman.

III. Penutup
            Demikianlah secara umum Sejarah GPID yang dapat disajikan dalam pertemuan kita kali ini. Dengan demikian diharapkan, setelah mengetahui sejarah Gereja Tuhan ini, kita sebagai pelayan-pelayan Tuhan yang melayani di Gereja Tuhan ini paling tidak boleh bercermin dari sejarah untuk menghantar kita merefleksikan nilai-nilai teologis historis dalam perjalanan pelayanan GPID dan selalu memberi diri dibaharui sesuai dengan kehendak Kristus sang Kepala Gereja.



[1]. Supri Na’a, Arkham M. Pibete, Sejarah Parigi, Hal. 11-13. Band. Hi. Hasim Marasobu, Sejarah Budaya Dan Hukum Adat Kerajaan Parigi, (Parigi: Perpustakaan Kabupaten Parigi Moutong), hal. 1.
[2]. Dalam suratnya kepada BPS GMIM tanggal 20 November 1939, G. A. Tenda menyatakan bahwa M. Larumpoa-lah guru djemaat pertama di wilayah Teluk Tomini. Lihat, Dr. M. C. Jongeling, Sejarah Singkat GPID, (Makassar, 1972), hal. 1.
[3]. Ongka terletak kira-kira 200 KM. ke sebelah utara kota Parigi, yakni jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi bagian utara.
[4]. Arsip Sinode GPID.
[5]. Kini komunitas Orang-orang Sangihe tersebut menempati daerah Sidoan, Bolong, Bondoyong dan Sipayo dan mereka sebagian besar adalah warga jemaat GPID. Dikemudian hari mereka ada yang menjadi warga GKST.
[6]. ”Donggala” di sini menunjuk pada kota Donggala sekarang yakni ibukota kabupaten Donggala sekarang.
[7]. Pada batu nisan orang Kristen tersebut tercatat tahun meninggal pada tahun 1910. Lokasi pekuburan Kristen di Donggala terletak di Gunung Bale yang diberikan oleh Raja Banawa.
[8]. Pdt. Waney telah diutus ke Donggala pada tahun 1934 kemudian pada tahun berikutnya dikirim lagi beberapa tenaga Pendeta dari GMIM. Lihat, F. K. Taga, 10 Tahun GPID, (Makassar: Skripsi Sarjana muda STT Intim, 1976),  hal. 26-27.
[9]. Sejarah Berdirinya Jemaat GPID Tiberias Walandano, (Palu: Arsip Sinode GPID). Persekutuan Kristen di tempat ini dimulai oleh 12 orang Minahasa yang memasuki tempat ini pada tahun 1910. Mereka kemudian memberitakan Injil kepada penduduk setempat setelah beradaptasi bahkan kawin mawin dengan mereka.
[10]. Arsip Sinode GPID.
[11]. Pendeta tersebut bernama Pdt. Paul. Lihat, M. C. Jongeling, hal. 2. 
[12]. Yang dimaksud dengan Lembah Palu adalah kota Palu sekarang dan sekitarnya, sebab kota ini berada dalam lembah yang di sekelilingnya adalah pegunungan. Pada zaman dahulu tempat ini bernama teluk Kaili.
[13]. Yang memberi nama Maesa adalah seorang dokter perempuan orang Minahasa yaitu dokter Gerungan. Cerita tentang nama “Maesa” ini ditemukan oleh penulis ketika penelitian lapangan. Sejak “Maesa” dijadikan sebagai sebuah Desa, kepala Desa selalu dijabat oleh orang Minahasa. Kepala Desa Maesa Pertama bernama No Londok. Kini karena pemekaran daerah, Maesa telah dimasukkan dalam Kelurahan Lolu.
[14]. Terutama mereka yang datang ke Palu dengan alasan merantau. Di antara tempat-tempat tersebut adalah Palolo dan ke arah Dolo. 
[15]. Banua Ntupu berarti Rumah Tuhan atau Rumah ber-Tuhan. Nam ini berasal dari bahasa Kaili yakni bahasa daerah Palu. Gereja inilah gereja pertama di kota Palu yang kemudian diberi nama Jemaat Pniel dan kemudian menjadi jemaat Getsmany setelah jemaat Pniel dipindahkan ke jalan Cik Di Tiro sekarang.
[16]. Berulangkali dalam sejarahnya, gereja maupun Negara dengan silih berganti ingin memisahkan diri antara gereja dan Negara, namun persoalan tersebut di Indonesia baru dapat diselesaikan pada tahun 1935.
[17]. G. P. H. Locher, Tata Gereja, Gereja Protestan Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,1997), hal. 70.
[18]. Lihat, Ch. De Jonge, Gereja Masehi Injili Di Minahasa 1934-1945 Berdiri Sendiri Di Bawah Perwalian, hal. 124-148, Dalam, Sularso Sopater (Peny), APOSTOLE PENGUTUSAN (Kumpulan Karangan Dalam Rangka Memperingati Hari Ulang Tahun Ke- 70 Prof. J. L. Abineno, 1987).
[19]. Ibid, hal. 131.
[20]. Lihat Pdt. DR. A. F. Parengkuan, Dalam, BPH GPI (ed), Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, (Jakarta: 2005), hal. 102.
[21]. Pada waktu itu GMIM memang telah menjadi Gereja Mandiri, namun masih dalam Perwalian di bawah naungan GPI.
[22]. Kini sekolah-sekolah tersebut telah menjadi sekolah negeri setelah pemerintah Jepang sempat berkuasa di Nusantara.
[23]. Seperti di Kulawi misalnya, orang-orang Rampi yang mengungsi dari Selatan pada awalnya menjadi warga jemaat pada jemaat-jemaat GMIM, di kemudian hari mereka membentuk jemaat-jemaat GKST, Lihat, Wajah GKST, Buku Kenangan 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso, (Tentena: Panitia Perayaan 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso, 1992), hal. 55. Demikian juga halnya di Palu, mereka mula-mula bergabung dalam jemaat Pniel Banua Ntupu (dilayani GMIM) yang ada di Maesa, kemudian memisahkan diri mendirikan jemaat-jemaat yang baru (GKST Dan Gereja Toraja). 
[24]. Pada masa tersebut, malah rumusan-rumusan dalam Tata gereja yang masih berbahasa Belanda diganti.
[25]. Baik di Parigi, Donggala dan di Palu jemaat-jemaat dapat beribadah seperti biasa karena hubungan mereka yang baik dengan raja-raja dan penduduk setempat yang beragama Islam yang diperlakukan istimewa oleh Jepang kendatipun memang tetap dituntut harus tetap waspada.
[26]. M. C. Jongeling, Op. Cit. Hal. 7.
[27]. Ibid.
[28]. Demikian keterangan Pdt. DR. Beatrix Lengkong, dalam, R. A. D. Siwu (Peny), Penugasan Agung, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 169.
[29]. Ibid.
[30]. Yan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 292 & 298.
[31]. M. Bahar Mattalioe, Pemberontakan Meniti Jalur Kanan, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal. 183-186. Lihat pula Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Mudzakkar Dari Tradisi ke DI/TII, (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1989). Hal. 260.
[32]. Raja Kulawi (Raja Djiloy) menginstruksikan bawahannya yakni Kepala Kampung Toro yang saat itu dijabat oleh Kadera Lagimpu untuk memberikan lahan kepada pengungsi Rampi. Perintah itu disanggupi, dengan memberi lahan untuk didiami seperti di Bulukuku dan di Raupa dan juga di Lauwa sekarang. Sebenarnya orang-orang Rampi ini bukanlah yang pertama sekali memasuki daerah Kulawi, jauh sebelum pemberontakan DI/TII orang Rampi telah memasuki Kulawi dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan suku Kulawi.
[33]. Devia Tamma, Tongkonan Di Bumi Tadulako, Suatu Tinjauan Historis Tentang Persekutuan Gereja Toraja Di Kota Palu, (Palu: Skripsi STT. Marturia Palu, 2006), hal. 33.
[34]. Seperti di daerah Marawola dan Bora, mayoritas penduduknya dahulu adalah warga Bala Keselamatan, namun akibat pemberontakan DI/TII, kini hampir semua penduduk di daerah tersebut telah beragama Islam. Di wilayah Kecamatan Marawola misalnya, sampai sekarang masih dapat ditemukan sebuah kampung yang bernama “Kampung BK”, namun penduduknya sekarang hampir tidak ada lagi orang Kristen (warga Bala Keselamatan). 
[35]. Di daerah Palolo tepatnya di desa Rahmat sekarang masih terdapat warga Bala Keselamatan yang dulu melarikan diri dari pengislaman DI/TII di daerah Marawola. Mereka adalah penduduk asli daerah Donggala (suku Da’a).
[36]. Mereka yang secara paksa masuk Islam terdapat di Ongka dan di Ogotumubu.
[37]. Mereka ini adalah orang-orang Bali yang telah beragama Kristen.
[38]. Dahulu tempat ini disebut Pamelova yang terletak di antara Dolago dan Nambaru. Penduduk asli meyakini tempat ini angker sehingga dibiarkan begitu saja tanpa pernah diolah. Itulah sebabnya mereka tidak terlalu keberatan ketika orang-orang Bali mulai membuka tempat tersebut menjadi lahan pertanian. Namun, dikemudian hari setelah orang-orang Bali tersebut mulai berhasil, masyarakat setempat melalui LSM lokal menggugat lahan tersebut, untunglah persoalan tersebut dapat diatasi melalui campur tangan pemerintah setempat. Karena di tempat tersebut banyak kayu kuning, maka orang-orang Bali memberi nama Mas sari untuk tempat tersebut yang berarti kayu mas.
[39]. http://infokom-sulteng.go.id/transmigrasi, diakses tanggal 12 januari 2009.
[40]. Misalnya di Tolai, seorang Kepala Desa yakni Tumakaka malah sampai pergi ke Bali mencari orang-orang yang ingin transmigrasi ke daerah Parigi baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Hindu. Setelah tiba di Tolai, mereka ini ditempatkan berkelompok-kelompok menurut agama mereka masing-masing dengan tujuan untuk menghindari konflik yang berbau agama.
[41]. Alasan mereka pada umumnya adalah masalah tanah, sebab pada waktu itu ada opini yang berkembang di antara peserta transmigrasi bahwa lokasi yang disediakan/diperuntukkan untuk orang-orang (kelompok) kristen lebih subur dibandingkan dengan yang lain.
[42]. Lebih jelasnya, lihat R. Z. Leirissa, PRRI PERMESTA, (Jakarta: Grafiti, 1997).
[43]. R. Z. Leirissa, PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), Hal. 110-111.
[44]. Raja Lamarauna bersama beberapa penduduk Donggala sempat dipenjarakan di Manado, kemudian dibebaskan lagi.
[45]. Pasukan Permesta dan orang-orang Minahasa yang terlibat dengan Permesta yang berada di Kulawi terpaksa meninggalkan keluarga mereka dan melarikan diri melalui hutan. Gereja melayani keluarga yang ditinggalkan tersebut beberapa waktu lamanya.
[46]. F. K. Taga, Op. Cit. Hal. 28.
[47]. Arsip Sinode GPID.
[48]. Arsip Sinode GPID, Dokumen No. 06. C.
[49]. Lihat Tata Gereja GPID Bab II pasal 5.
[50]. Arsip Sinode GPID.
[51]. Laporan kerja Majelis Sinode Tahun 2003, hal. 29. Kini sekolah-sekolah tersebut bernaung di bawah Yayasan Pendidikan GPID.
[52]. Sistem organisasi Jemaat-Wilayah-Sinode berlaku di GPID hingga pada Tahun 2003, setelah itu terjadi perubahan yakni sesuai dengan keputusan Sidang Am Sinode GPID di Sumbersari pada tahun 2003 (arsip Sinode), menjadi Jemaat-Sinode. Dalam hal ini Wilayah dihapus. Lihat Tata Gereja GPID 2003 Bab V Pasal 9. Penghapusan Wilayah tersebut disebabkan keterbatasan dana di GPID, seringnya komunikasi antara Sinode dengan Jemaat hanya sampai di tingkat wilayah, seperti surat-surat dan demi merampingkan struktur organisasi di GPID.
[53].  M. C. Jongeling, Op. Cit. Hal. 10.
[54]. Pdt. Morens Lagimpu adalah Pendeta pertama penduduk asli daerah Donggala (Orang Kulawi) yang melayani di GPID. Kemudian menjadi Pendeta ABRI.
[55]. Alasan utama penghapusan kata “di” pada nama GPID adalah karena seringkali menimbulkan interpretasi yang keliru dengan memahami bahwa gereja ini hanya terdapat di Donggala saja. Padahal pada GPID sendiri melayani bukan hanya di Donggala saja melainkan di Kabupaten Donggala. Selanjutnya kata “Donggala” diartikan bukan lagi menunjukkan tempat tetapi adalah sebuah nama.
[56]. Lihat Peraturan Dasar GPID Bab I Pasal 1.
[57]. Pasal 3
[58]. “Wilayah” dimengerti sebagai suatu persekutuan dari beberapa Jemaat yang karena tempat dan lingkungannya merupakan satu wilayah pelayanan dalam lingkungan GPID. Wilayah, dalam hal ini dilayani oleh Majelis Wilayah. Lihat Tata Gereja GPID 1986 Bab IV Pasal 7 ayat 2.
[59]. Lihat Bahasan di atas.
[60]. Pada awalnya di GPID jabatan Diaken seperti yang digunakan saat ini masih menggunakan istilah “Syamas”. Penggantian Syamas menjadi Diaken mempunyai alasan yang menarik yakni bahwa pada sebuah kesempatan di salah satu Jemaat di wilayah Parigi Selatan yakni pada tahun 1987 Pdt. Tomy Malonda (Sekretaris Sinode 1984-1988) ditertawakan oleh seorang ibu warga jemaat (Suku Bali) karena memanggil seorang Syamas. Setelah ditelusuri, ternyata ibu tersebut tertawa karena “Samas” yang dalam pengucapannya hampir sama dengan “Syamas”, dalam bahasa daerah Bali berarti Empat ratus. Untuk lebih menghormati jabatan pelayanan ini terutama di kalangan jemaat Bali, maka kata “Syamas” kemudian diganti dengan “Diaken” dan mulai digunakan pada tahun 1988. Penggantian ini juga didasarkan bahwa kata Diaken lebih Alkitabiah dan lebih sering ditemukan dalam Alkitab. Penatua dan Syamas dipilih oleh sidi-sidi jemaat dan diurapi oleh Pendeta, sedangkan Pendeta, karena jabatannya langsung menjadi Majelis jemaat.   
[61]. Mereka-mereka inilah yang disebut sebagai “Pendeta angkatan” seperti yang pernah dikenal di GPID.
[62]. Pada tahun 1988 jabatan wakil ketua Sinode diadakan lagi setelah tahun tersebut Ketua Sinode meninggal dunia sebelum masa kerjanya berakhir, maka terjadilah Pejabat sementara untuk menggantikan Ketua sinode tersebut. Untuk itu diadakanlah Sidang Am Istimewa untuk memilih Pejabat Ketua Sinode Sementara.
[63]. M. C. Jongeling, Hal. 12.
[64]. Arsip Sinode tahun 2003.
[65]. Seperti halnya di Onu dan di Sigega. Pekabaran Injil selanjutnya dimulai kepada suku Da’a pada tahun 1986.
[66]. Mereka antara lain: B. Rumangkang (seorang Penatua), Filipus dan Kambuan. 
[67]. Karena faktor geografis yang sangat jauh dan terbatasnya dana yang dimiliki GPID, maka jemaat GPID yang terdapat di Kalimantan tersebut dikemudian hari diserahkan kepada GPIB.
[68]. Seperti halnya di Oti.
[69]. Orang-orang Sangihe di Kopi semula adalah pengungsi akibat meletusnya gunung merapi Siau. Mereka pertama-tama mengungsi ke Londoun di mana saudara-saudara mereka telah lebi dulu menetap di sana, yakni sejak zaman kolonial Belanda tahun 1939. Mereka termasuk dalam proyek kolonisasi pemerintah Belanda.
[70]. Pdt. M. Lumolos sebagai Pembantu rektor I Akademi Theologia GPID dan menjalankan tugas penuh sebagai rektor adalah seorang tamatan dari Akademi Theologia GMIM Tomohon pada tahun 1966. Pdt. M. Lumolos diutus oleh GMIM sebagai tenaga bantu ke GPID.
[71]. Materi Sidang AM XVIII Sinode GPID tahun 2003, Arsip Sinode.
[72]. Arsip Sinode tahun 2003.
[73]. Dalam Tata Gereja GPID tahun 2003 telah diatur tentang Pendeta yang serendah-rendahnya lulusan pendidikan Theologia yang diakui oleh GPID. Lihat Tata gereja GPID 2003 Peraturan tentang Pelayan-pelayan Khusus Bab II pasal 3 dan pasal 11.
[74]. Kumpulan-kumpulan yang dimaksud adalah seperti Ibadah rumah tangga, Pelayanan kategorial. 
[75]. Seperti halnya Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
[76]. Lihat laporan kerja Majelis Sinode Harian GPID pada sidang Am Sinode XVI GPID, tanggal 24-31 Oktober 1993 di Palu.
[77]. Arsip Sinode GPID.
[78]. Yang dimaksud dengan “Bagian Mandiri” ialah bahwa gereja-gereja tersebut mengurus tata gereja masing-masing. Lihat, BPH GPI, Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, hal. vi.
[79]. Lihat Tata Gereja GPID Tahun 2003. 
[80]. Keanggotaan GPID di DGI mulai efektif sejak tanggal 1 Januari 1970. Lihat M. C. Jongeling, Hal. 41.