Jumat, 26 Agustus 2011

bendrio sibarani: misi dan dakwah; jangan dicurigai

bendrio sibarani: misi dan dakwah; jangan dicurigai: ...

bendrio sibarani: Makna studi Alkitab..

bendrio sibarani: Makna studi Alkitab..: MAKNA STUDI ALKITAB TENTANG GERAKAN PEMBAHARUAN BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DALAM GEREJA – GEREJA PROTESTAN Oleh . Pdt. Bendrio P Sibaran...

gereja berantas dong kemiskinan....!


 GEREJA DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN
“Sebuah Refleksi Teologis Atas Peristiwa Eksodus”
Pdt. Bendrio P Sibarani


A. Pendahuluan

Kemiskinan atau orang miskin adalah masalah lama. Ketika hidup Nomaden berakhir dalam kehidupan orang Israel maka struktur masyarakat mengalami perubahan orang sudah mulai hidup menetap dan bertani, memiliki tanah dan modal sehingga persaingan tidak dapat lagi dihindari. Disaat itulah muncul orang miskin yakni mereka yang tidak memiliki tanah. Kemudian struktur pemerintahan yang sentralistik telah mengakibatkan goyahnya sendi tradisional di dalam suku-suku. Jika pada mulanya pemeliharaan kaum miskin menjadi kewajiban suku-suku, sekarang sudah tidak menentu (baca Kel. 20 dst). Bahkan ada kesan bahwa orang-orang miskin diperlakukan semena-mena dan menjadi golongan yang hina. Situasi seperti ini terus berlangsung hingga pada masa pembuangan yang terjadi beberapa episode. Dalam setiap reformasi yang terjadi di Israel, kelihatannya reformasi di bidang sosial ekonomi tidak terlalu dihiraukan sehingga masalah kemiskinan terus berlangsung hingga pada zaman Yesus. Jika dikaji lebih mendalam dari Alkitab, sebenarnya kemiskinan tidak boleh dipahami sebagai nasib buruk saja melainkan harus diperangi sebab kemiskinan adalah musuh bersama.
Masalah kemiskinan telah menjadi masalah semua bangsa hingga pada masa kini. Segala upaya dilakukan oleh setiap bangsa untuk memerangi kemiskinan dari kehidupannya rakyatnya. Namun karena kompleksnya masalah ini, maka semua pihak dan semua ilmu diperlukan melakukan pengkajian yang se dalam-dalamnya dengan harapan paling tidak kemiskinan bisa diminimalisir. Kemiskinan ada dalam lingkaran setan yang sulit untuk diberantas. Karena itu, hal ini bukan saja tanggung jawab pemerintah atau lembaga sosial semata, tetapi semua elemen bangsa dan masyarakat dituntut berpartisipasi aktif dalam perjuangan ini. Gereja yang adalah bagian dari bangsa, yang menerima mandat dari Sang Pencipta untuk mewujudkan Tanda-tanda Syalom kerajaan Allah di muka bumi ini juga tidak boleh hanya mengurus dirinya sendiri.  Gereja telah dibawa keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang Kristus diutus ke dalam dunia untuk menyampaikan kabar baik kepada segala makhluk dituntut menjadi aktor dalam eksodus.

B. Kemiskinan Dan Eksodus

            Peristiwa eksodus merupakan tema yang dominan dalam Alkitab Perjanjian Lama. Tema ini malah menjadi titik tolak iman umat Israel dalam hampir semua cita-cita dan perjuangan hidup. Eksodus telah menjadi poros iman umat Israel dari generasi ke generasi, artinya bahwa eksodus tidak hanya di imani sebagai karya pembebasan Allah atas mereka yang mengalami peristiwa tersebut melainkan juga pada setiap generasi dikemudian. Allah yang mereka sembah adalah Allah pembebas dari  kungkungan atau belenggu penderitaan dalam bentuk apapun. Eksodus menjadi titik pandang umat Israel terhadap kehidupan dan dunia. Pengalaman historis atas Eksodus merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi umat Israel sebab peristiwa sejarah ini telah menjadi dasar rekontruksi relasi Allah dengan mereka sebab melalui peristiwa ini mereka diingatkan bahwasannya Allah tetap memegang teguh perjanjian- Nya dengan nenek moyang mereka walaupun mereka acapkali memberontak. Eksodus bukan melulu peristiwa yang bercorak spiritual, melainkan dalam peristiwa tersebut terkandung proses pembebasan dari belenggu perbudakan, kemiskinan, politik, budaya, dan dari penyunatan hak-hak azasi manusia.
            Kemiskinan adalah salah satu fenomena hidup yang selalu diusahakan untuk diberantas termasuk oleh Allah sendiri. Dalam peristiwa eksodus juga terkandung nilai-nilai yang tak terhitung jumlahnya yakni dalam pengentasan kemiskinan yang membelenggu umat Israel berabad-abad lamanya. Eksodus sebagai sebuah misi pembebasan yang diprakarsai Tuhan Allah sudah, masih dan akan terus dikerjakan oleh Allah di sepanjang sejarah peradaban umat- Nya. Kemiskinan masih dan malah menjadi permasalahan besar bagi umat manusia termasuk umat Allah di dalamnya. Karena itu misi Allah masih dan harus terus dilanjutkan untuk mengentaskan kemiskinan termasuk pada zaman sekarang ini. Gereja sebagai partner dan teman sekerja Allah dipercayakan mengemban tugas agung ini demi hadirnya tanda-tanda Syalom kerajaan Allah di muka bumi ini.

C. ”Biarkanlah Umat-Ku Pergi…” ( Kel. 5 : 1 )

            Kutipan ayat ini adalah teriakan Allah melalui Musa kepada penguasa  bengis
Mesir. Tuntutan ini bersifat politis yang konkrit yang menuntut sebuah kemerdekaan atas satu bangsa yang ditindas dengan sangat keji oleh yang berkuasa. Kendatipun misi ini bersifat politis, namun tak terlepas dari penghayatan religius.[1]Seruan Allah agar Umat-Nya dibebaskan adalah tuntutan pemerdekaan umat termasuk dari kemiskinan yang menyiksanya. Walaupun Allah menyerukan hal ini kepada penguasa keji di Mesir, tetapi Dia sendirilah yang berkarya melalui Musa yang diangkat- Nya sebagai pemimpin Politik yang handal dan berani. “ Pergi ”, keluar dari kemiskinan adalah tema yang amat hangat untuk didengungkan di sepanjang peradaban hidup manusia, sebab kemiskinan merupakan lingkaran setan yang membuat manusia menderita dan teraniaya. Kemiskinan ini telah melanda hampir separoh penduduk bumi. Dalam hal ini, kemiskinan meliputi hampir seluruh lini kehidupan ( Ekonomi, politik, social, budaya, hukum dan HAM di dalamnya).
 “ Biarkanlah Umat Tuhan Pergi “ itu berarti membawa keluar umat-Nya dari lingkaran setan kemiskinan yang mengekangnya akibat dosa. Seruan ini  tidak lagi hanya ditujukan kepada penguasa Mesir yang jahat dan bengis itu, tetapi kini  juga kepada Gereja.
            Ketika perjanjian-Nya disempurnakan- Nya di dalam Yesus Kristus, Eksodus juga menjadi tema sentral. Harus dipahami bahwa Yesus Kristus bukan hanya pahlawan rohani tetapi juga actor dalam misi pembebasan bagi mereka yang tertawan, terpenjara baik oleh system termasuk oleh kemiskinan.[2] Jadi tidak ada alasan bagi gereja untuk lepas tangan atau tidak mau bertanggung jawab atas kemiskinan disekitarnya.



[1] . Hal ini terjadi sebab dalam kehidupan umat Israel Agama dan Politik adalah satu kesatuan yang tak 
    terpisahkan.
[2] Lukas 4 : 18-20

misi dan dakwah; jangan dicurigai

                                                                                        
                                                           pelajaran dari sang mahaguru Prof. Dr. Olaf H. Schumann

ISU REKRUTMEN

MISI DAN DAKWAH DI INDONESIA

Pendahuluan
            Misi dan dakwah merupakan kewajiban religius yang hakiki dalam agama Kristen dan agama Islam. kewajiban religius di dalam kedua agama ini dari sejak awal telah melahirkan persoalan bagi masing-masing agama (Islam dan Kristen) terutama karena adanya isu rekrutmen atau perjuangan untuk memasukkan anggota umat yang beragama lain ke dalam agama yang dianutnya. Di Indonesia, persoalan ini sangat hangat dibicarakan sejak tahun 1970- an terutama pada tahun 1975 ketika ada rencana DGD untuk melaksanakan sidang raya di Indonesia[1]. Rencana ini gagal karena kecurigaan umat Islam di Indonesia terutama kalangan Islam politik pada isu Kristenisasi. Baik Islam maupun Kristen ketakutan pada isu rekrutmen ini yang dalam kedua agama ini dikenal dengan istilah kristenisasi dan islamisasi yang dicapai melalui misi dan dakwah. Isu rekrutmen bukanlah isu yang muncul akhir-akhir ini, melainkan sejak kedua agama ini lahir, rekrutmen telah menjadi isu yang melekat dalam masing-masing agama hingga pada masa kini. Konsep misi dan dakwah yang masih dipahami secara harfiah dan sempit telah mengakibatkan lahirnya semangat misi dan dakwah hanya untuk maksud mengembangkan agama yang dianut supaya berkembang secara kuantitas atau dengan kata lain memperbanyak umat.  
            Semangat ini adalah bagian dari eksklusivisme keberagamaan yang terdapat pada agama baik Kristen maupun islam. bukan rahasia lagi bahwa salah satu alasan azasi bagi kecurigaan kedua umat masing-masing terhadap umat lain terletak dalam ketakutan bahwa orang yang imannya lemah atau yang berada dalam kesusahan akan dijadikan objek misi atau dakwah dan dapat tergoda untuk meninggalkan persekutuan keagamaan mereka. Islam, begitu juga Kristen sangat sukar untuk  menerima seseorang yang keluar meninggalkan iman atau agamanya dan masuk agama lain. Di sini nampak bahwa kendatipun iman itu diamalkan secara pribadi dengan Tuhannya, namun pengaruh paguyuban sangat menentukan keberimanan seseorang, namun seorang anggota umat adalah juga anggota paguyuban yang terjalin sangat erat dalam keyakinan dan persekutuan. Bagi orang Kristen misalnya, gereja tidak hanya menunjuk personal atau pribadi, tetapi juga berarti sebagai anggota tubuh Kristus. Oleh karena itu apabila seorang kristen meninggalkan agamanya maka yang bersangkutan dapat dikatakan telah melawan Roh kudus. Demikian juga dalam agama Islam yang dikenal dengan Umma[2]. Berdasarkan umma, maka umat Islam berada dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan umat Islam yang lainnya. Meninggalkan agama Islam sama halnya melakukan penghinaan terhadap Allah dan umat Islam. karena itu umat Islam yang meninggalkan agamanya dan masuk ke agama lain dicap murtad. Keluarnya seseorang dari agamanya dan masuk ke agama yang lain merupakan pelanggaran berat.
2.Lahirnya Isu Rekrutmen
            Isu rekrutmen sebenarnya telah ada semenjak adanya agama-agama yang berorientasi pada pencarian pengikut, baik karena alasan religius maupun karena alasan politis seperti halnya agama Kristen dan Islam. Perjumpamaan kedua agama ini sebenarnya dimulai dalam rangka rekrutmen yang pada akhirnya berujung pada kecurigaan dan malah tiba pada sikap saling memusuhi. Isu rekrutmen benar-benar hangat ketika terdengar istilah kristenisasi (pengkristenan) atau islamisasi (pengislaman). Kristenisasi maupun Islamisasi tidaklah sekedar wacana ataupun istilah, melainkan benar-benar menjadi kenyataan walaupun harus diakui bahwa untuk sebahagian kelompok di dalam kedua agama ini ada yang kurang setuju dengan pernyataan ini. Kedua istilah di atas telah merupakan cita-cita dari sejak awal yang kurang benar dipahami karena telah mengaburkan nilai-nilai kebersamaan dalam perbedaan. Isu rekrutmen sendiri tidak saja menjadi isu yang berkembang di aras lokal, regional dan nasional, tetapi juga pada aras global. Khusus pada agama kristen dan islam, isu rekrutmen ini sendiri telah dipahami menjadi ancaman yang perlu diantisipasi dengan serius. Memang pada tataran praksis nyata bahwa rekrutmen telah berlangsung dengan berbagai macam cara dan metode, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi, baik dengan cara yang lemah lembut maupun dengan cara yang radikal. Akhirnya lahir apa yang disebut ”persaingan”. Pada kedua agama (kristen dan Islam) dalam rangka rekrutmen, dikenal misi dan dakwah yang adalah tugas yang harus diwujudnyatakan sebagai tanggung jawab religius.     
3. Antara Misi dan Dakwah
            Berbicara tentang isu rekrutmen, maka kita akan dan selalu diperhadapkan pada apa yang dinamakan dengan Misi dan Dakwah khususnya pada agama Kristen dan Islam. Memang tidak dapat dirahasiakan dan harus diakui bahwa dalam kenyataannya metode-metode yang dipakai membujuk penganut agama lain dan memasukkannya ke dalam kelompoknya (keyakinannya) sendiri sering membenarkan prasangka-prasangka tentang Misi dan Dakwah. Di Indonesia pernah terdengar ”Kristen beras” dan juga ada yang disebut ”Islam beras”. Kelemahan orang lain dimanfaatkan untuk memasukkan mereka ke dalam kelompoknya sendiri melalui bujukan material, janji-janji tentang pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih baik dan juga melalui debat yang apologetis (lewat tulisan maupun dialog). Berbagai metode ini merupakan bagian dari praktek gelap gerakan-gerakan Misi dan Dakwah yang dewasa ini dikecam sebagai proselitisme.
            Misi dan Dakwah seringkali dianggap sebagai penghambat utama untuk dialog yang produktif. Selain itu juga, Misi dan Dakwahpun dianggap meracuni hubungan antar agama dan pemeluknya. Argumen seperti ini sebenarnya lahir setelah melihat kenyataan yang terjadi. Padahal arti dan hakekat Misi maupun Dakwah bukanlah melulu pada penyebaran ajaran  agama kepada orang lain dengan tujuan agar orang yang mendengar ajaran tersebut meninggalkan agamanya dan menjadi pemeluk agama yang menyampaikan ajarannya itu. Dengan kata lain, Misi dan Dakwah dalam agama Kristen dan Islam seringkali menjadi isu rekrutmen yang ditakuti oleh masing-masing.
Penutup
Isu rekrutmen dalam kehidupan beragama adalah fenomena keberagamaan yang telah ada dari sejak munculnya agama Kristen demikian juga agama Islam. Fenomena ini masih terus terasa hingga masa kini. Alasannya adalah karena misi maupun dakwah dianggap sebagai tanggungjawab religius dan juga karena alasan faktor politis yakni dengan maksud agar agama yang dinutnya menjadi agama yang berkuasa dan mendominir kehidupan disekitarnya. Semua ini didasarkan pada semangat eksklusive yang tinggi dalam masing-masing pemeluk agama tersebut. Isu rekrutmen akhirnya menjadi isu yang diwaspadai bahkan ditakuti oleh agama-agama yang ada. Bahkan karenanya negara juga menjadi waspada dan mengantisipasinya dengan cara menyusun berbagai macam undang-undang. Isu rekrutmen pada hakikatnya tidaklah tepat dikembangkan di Indonesia yang konteksnya majemuk, sebaiknya masing-masing agama (Kristen dan Islam) merekontruksi pemahaman dan pemaknaan mereka akan hakekat Misi dan Dakwah sehingga konflik seperti yang terjadi belakangan ini di nusantara dapat dihindari. Meski berbeda kiranya betah hidup bersama.

















  


[1].Lihat T. B. Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991), hal.252-253 
[2]. Menurut pemahaman Islam, umma berada dibawah perjanjian Allah : kamu adalah umat terbaik yang pernah diadakan untuk manusia. Umma berdiri  sesudah nabi Muhammad meninggalkan Mekkah dan pindah ke Medinah.lihat, Olaf H Schuman, Menghadapi Tantangan memperjuangan kerukunan, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2006), hal.63.

bendrio sibarani: bendrio sibarani: ekumenisme dan dialog: sebuah fe...

bendrio sibarani: bendrio sibarani: ekumenisme dan dialog: sebuah fe...: bendrio sibarani: ekumenisme dan dialog: sebuah fenomena post modern... : FENOMENA POSMODERN: EKUMENISME DAN DIALOG Pdt. Bendrio P Sibaran...

gereja harus tingkatkan ibadah diakonis



BERIBADAH DIAKONIS DI TENGAH MASYARAKAT YANG PESIMISTIS
Pdt. Bendrio P Sibarani, M. Teol
Pendahuluan
            Ibadah tentu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keberagamaan, malah ibadah itulah roh dari agama. Sebagai roh dari agama maka ibadah menjadi pusat dari seluruh kehidupan beragama. Pengertian ibadah harus dipahami sesuai dengan essensi yang sebenar-benarnya agar tidak terjadi kesalahpamahan yang berakibat kekeliruan untuk melaksanakannya. Dalam kehidupan bergereja, ibadah dapat dibagi dalam dua bagian, yakni ibadah yang bersifat kultis dan ibadah diakonis. Kedua ibadah ini merupakan dua kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lain. Masalahnya adalah penekanan pada ibadah kultis yang begitu tinggi seakan telah mengaburkan hakikat ibadah dari sebuah agama. Ibadah kultis, yang rutin dilaksanakan setiap hari Minggu, maupun dalam ibadah-ibadah kategorial serta ibadah perayaan hari-hari besar oleh gereja misalnya seakan menjadi muara dari semua ibadah orang Kristen, padahal di sekitar mereka terdapat begitu banyak problema kemanusiaan yang sangat kompleks, seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, degradasi moral dan pendidikan yang terabaikan, dan lain-lain.
Ibadah Diakonis
            Secara sederhana, ibadah Diakonis dapat diartikan sebagai bentuk atau pola beribadah untuk memuji Tuhannya dengan cara melayani sesama mereka yang membutuhkan. Ibadah diakonis sebenarnya bukanlah model beribadah yang baru bagi kekristenan. Jika kita meneliti sejarah gereja maka akan nyata, bahwa sejak kelahiran gereja ibadah diakonis adalah pola ibadah yang mereka lakukan. Dalam hal ini bukan berarti ibadah kultis tidak mereka hiraukan. Akan tetapi dalam ibadah kultis jemaat mula-mula misalnya, diakonia menjadi pusat dari ibadah mereka. Tanpa mempermasalahkan bentuk atau model gedung, menara gereja, maupun system organisasi mereka. Kendatipun sempat diklaim bahwa pola hidup beriman jemaat Kristen mula-mula menganut pola hidup system komunis, namun satu hal yang harus diingat bahwa mereka hidup demikian bukan karena sebuah system melainkan karena mereka benar-benar mengaplikasikan kasih yang sesungguhnya. Walaupun konsep berteologi jemaat mula-mula itu sangat dipengaruhi konsep eskatologis yang kurang tepat, akan tetapi pola ibadah yang mereka laksanakan pantas untuk diteladani oleh gereja masa kini.
Masyarakat Pesismistis
            Tak dapat dipungkiri, bahwa era globalisasi saat ini telah mengakibatkan pergeseran pola hidup dalam berbagai bidang dan di dalamnya turut berpengaruh pada pola hidup keberimanan orang-orang percaya. Pesimistis menjadi salah satu pola hidup manusia pada era sekarang ini, yang mempengaruhi keyakinan dan kepercayaannya dan juga keprihatinannya pada lingkungan di sekitarnya. Sikap pesimistis ini juga membuat orang semakin skeptis dan tidak lagi mempercayai orang-orang lain di sekitarnya, sehingga pada akhirnya melahirkan pola hidup yang individualistik. Akibatnya persekutuan tidak lagi memiliki makna dan harga akhirnya tidak lagi peduli dengan keadaan hidup orang lain. Di lain pihak masyarakat yang pesimistis seakan langsung menghakimi sesama mereka yang menderita dengan berpikir bahwa kondisi yang dialami mereka yang hidup menderita, miskin dan terbelenggu adalah akibat salah, kemalasan mereka sendiri. Demikian juga halnya dengan orang-orang miskin, mereka juga menjadi mencurigai sesama mereka yang hidupnya berkecukupan dengan berpikir bahwa jangan-jangan kekayaan mereka diperoleh dari hasil korupsi misalnya atau dengan cara yang tidak benar. Keadaan hidup seperti ini mengakibatkan makin lebarnya ketimpangan dan terdegradasinya persekutuan sebagai orang-orang percaya. Memang harus jujur diakui, bahwa ketimpangan sosial ekonomi juga terjadi di dalam gereja. Dikala gereja-gereja di kota, gereja-gereja yang berpendapatan tinggi sibuk berdiskusi tentang arsitektur gedung gereja mewah dan masalah pengaturan staf tata usaha, mereka terkadang seakan kurang peduli dengan saudara-saudara mereka yang tinggal di pedalaman yang sulit mendapatkan akses pendidikan, pangan dan sandang. Hal ini memang sangat membuat kita prihatin. Padahal gereja adalah mitra kerja Allah yang diutus ke dalam dunia, bukan dari dunia dank arena juga diharapkan tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Pesismistis, yang telah merasuki hidup orang-orang percaya masa kini menjadi tantangan bagi gereja untuk lebih proaktif memberi pemahaman melalui pelayanan nyata bagi semua warganya tanpa terkecuali.
Galakkan Ibadah Diakonis
            Jika ditelusuri di gereja-gereja yang tergolong mapan dalam hal perekonomiannya, mungkin akan ditemui bahwa tidak sedikit dari gereja-gereja tersebut yang hanya gereja bagi dirinya sendiri, yakni barangkali pelayanannya melulu hanya bagi anggota jemaatnya saja. Gereja seharusnya keluar dari benteng-benteng pemahaman yang demikian. Gereja akan menjadi gereja apabila ia menjadi gereja bagi orang lain dan bukan hanya bagi dirinya sendiri. Menyikapi apa yang menjadi pergumulan kita masa kini di negeri ini, maka sudah saatnya gereja Tuhan menggalakkan kembali ibadah diakonis. Menolong mereka yang miskin, yang menderita yang terpenjara oleh kebodohan dan yang tergilas oleh perkembangan zaman. Ini adalah sebuah ungkapan yang hendak mengkritik kita sebagai gereja:


Saya kelaparan,
Dan anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
Dan anda menyelinap ke kapel anda untuk berdoa bagi kebebasan saya.
Saya telanjang,
Dan anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.
Saya sakit,
Dan anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan anda.
Saya tak mempunyai tempat berteduh,
Dan anda berkhotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spiritual.
Anda begitu suci, begitu dekat kepada Allah, tapi saya tetap amat lapar, kesepian, dan kedinginan.
Penutup
            Sudah saatnya gereja bertindak karena apa yang diderita oleh sesama mereka adalah tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai bukti bahwa mereka benar-benar adalah pengikut Yesus Kristus. Menggalakkan ibadah diakonis dalam kehidupan gereja-gereja masa kini mestinya menjadi program bersama semua anak-anak Tuhan, tanpa memandang denominasi gereja masing-masing. Beribadah diakonis, berarti gereja Tuhan telah mewujudnyatakan kasih yang adalah inti ajaran kristiani. Gereja harus mengingat bahwa tidak ada kasih tanpa memberi. Oleh karena itu gereja harus memberi diri dan perhatian penuh bagi semua makhluk yang tertindas, terbelenggu, terpenjara, yang telanjang, kedinginan dan penderitaan lain yang dialami oleh mereka di sekitar kita. Suara kenabian ini harus bergema dalam hidup semua gereja. Tuhan ada di sana, di tengah-tengah penderitaan, karena itu mari kita menemui Dia di sana dengan kasih…!