Minggu, 02 Oktober 2011

bendrio sibarani: GEREJAPROTESTAN INDONESIA DONGGALADANPENINGKATAN P...

bendrio sibarani: GEREJAPROTESTAN INDONESIA DONGGALADANPENINGKATAN P...: GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA DAN PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN A. Pendahuluan Berbicara tentang perempuan di dala...
GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA
DAN PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN
A. Pendahuluan
            Berbicara tentang perempuan di dalam kehidupan bergereja, untuk sekarang ini, telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang signifikan. Ini terlihat bahwa secara umum gereja-gereja yang ada di Indonesia telah melibatkan secara aktif perempuan dalam pelayanannya termasuk menjadi pelayan khusus (pendeta, penatua dan diaken). Malah yang lebih menggembirakan ialah bahwa tidak sedikit teolog-teolog perempuan yang berbakat dan menjadi pemimpin di dalam gereja. Ketika perempuan mulai terlibat langsung dan aktif dalam pelayanan gereja. Nyata bahwa paling tidak telah terjadi pergeseran paradigma gereja dalam menginterpretasikan tempat perempuan dan siapa perempuan menurut Alkitab. Secara khusus di dalam gereja-gereja Protestan di Indonesia, pergeseran paradigma berteologi tentang perempuan tersebut semakin nyata apabila dibandingkan dengan sejarahnya pada masa silam ketika memulai kehadirannya di Indonesia. Sejarah pekabaran Injil yang diprakarsai secara khusus oleh gereja protestan dari Belanda hampir tidak menyinggung keterlibatan perempuan-perempuan baik sebagai pendeta maupun zendeling.
            Ketika perempuan mulai memasuki ranah publik dalam hal ini dalam struktur kepemimpinan gereja, persoalan mengenai peran perempuan di dalam gereja belumlah selesai, sebab ternyata kehadiran Pendeta, Penatua dan Diaken perempuan tidak serta merta membuat peranan perempuan-perempuan lain (yang bukan pendeta, penatua atau diaken)  nampak dengan jelas. Gereja masih mempunyai pekerjaan rumah mengenai hal ini. Kendatipun harus diakui bahwa pada dasarnya untuk saat ini gereja-gereja telah memberi ruang yang lebar bagi perempuan-perempuan untuk mengekspresikan imannya bersama kaum laki-laki yang dahulu sering menomorduakannya termasuk di dalam gereja.
            Untuk membahas pokok kajian seperti yang tertera di atas, maka penulis memfokuskan penulisan ini pada Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)[1] yakni dalam pogram kerjanya untuk meningkatkan peranan perempuan baik di dalam gereja itu sendiri maupun peranan perempuan di ranah domestik dan juga di ranah publik yang lain. Mengapa Gereja ini yang dipilih, alasannya adalah untuk memudahkan penulis mengkajinya sebab penulis adalah seorang pendeta yang melayani di gereja ini dan ikut terlibat langsung dalam program pelayanan gereja, termasuk dalam hal meningkatkan peranan perempuan. Perempuan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka (perempuan) yang adalah warga jemaat Gereja Protestan Indonesia Donggala terutama mereka yang berusia dewasa (pemudi sampai dengan ibu-ibu).

B. Peranan Perempuan Di Dalam Alkitab
1. Perjanjian Lama
Sejak dari awalnya manusia sudah diciptakan Allah sebagai laki-laki dan perempuan yang adalah sama-sama ahli waris baik atas citra Illahi maupun bagi kekuasaan atas bumi. Keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah sama-sama memperoleh predikat istimewa yakni segambar dengan Allah (imago Dei). Sejak semula yakni dalam kisah penciptaan, Alkitab telah memberi kesaksian tentang perempuan dan kedudukannya dengan laki-laki dalam memainkan peranannya sebagai partner Allah dalam melakukan misi- Nya di tengah-tengah dunia ini. Perempuan dalam konteks penciptaan diciptakan oleh Tuhan dengan maksud agar laki-laki (Adam) yang diciptakan- Nya itu tidak seorang diri. Konsep penciptaan perempuan yakni: ”...tidaklah baik laki-laki sendirian saja” hendak menunjukkan bahwa perempuan dibutuhkan untuk kebersamaan, keakraban untuk segala bidang, demikian juga halnya bahwa perempuan juga membutuhkan laki-laki untuk hal yang sama.[2]  Dengan kata lain perempuan diciptakan agar bersama-sama dengan laki-laki melaksanakan amanat Tuhan di dalam dunia ciptaan- Nya (Band. Kej 1: 26-2: 25). Perempuan juga berperan sebagai bidan, Seperti halnya Sifra dan Pua yang membantu proses bersalin bagi ibu-ibu ibrani (Kel. 1:15-21). Pada perkembangan selanjutnya termasuk dalam keberagamaan umat Israel, perempuan juga kemudian berperan sebagai nabiah yakni; Miryam (Kel 15: 20), Debora (Hak 4), Hulda (2 Raja-raja 22:14; 2 Taw 4: 22), dan juga istri nabi Yesaya (Yes. 8:3). Selain sebagai Nabi, ternyata perempuan-perempuan juga telah terlibat dalam jabatan hakim kala itu sepert Miryam dan Debora. Peranan perempuan yang lainnya dapat dikatakan sebagai peranan yang sangat penting, seperti dalam pengambilan keputusan yang dilakukan Rut (Rut 1:16) dan juga seorang pahlawan pembebasan yang dilatarbelakangi semangat nasionalisme seperti halnya Ester (Est. 1-10). Peran yang dimainkan perempuan-perempuan ini merupakan bukti Alkitabiah yang menegaskan bahwa ternyata perempuan tidak pernah luput dari dan untuk karya Tuhan.

2. Perjanjian Baru
            Perjanjian Baru yang diawali dengan kelahiran Yesus Kristus merupakan suatu zaman baru, di mana konsep perjanjian Allah diperbaharui kembali di dalam Yesus Kristus, manusia dibebaskan dari kuk dosa yang membelenggunya sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa. Memulai karya penyelamatan- Nya tersebut, Allah telah melibatkan perempuan dari sejak semula. Peranan perempuan dapat dilihat pada dua orang perempuan yakni Maria (ibu Yesus) dan Elisabeth (ibu Yohanes). Maria dipakai sebagai sarana kedatangan juruselamat dan Elisabeth dipakai juga sebagai sarana bagi kehadiran Yohanes perintis jalan Tuhan. Peranan lainnya adalah sebagai pelayan (Maria, Yohana, Susan dan Marta, Luk. 8:1-3; 10: 40) dan sebagai murid yang mendengarkan pengajaran Yesus (Maria, Luk. 10: 39, 42). Peranan perempuan selama zaman Yesus (Perjanjian Baru) terus berlangsung hingga babak akhir kehadiran Yesus di dalam dunia. Pada peristiwa kebangkitan misalnya, perempuan-perempuanlah (Maria magdalena, Yohana dan Maria ibu Yakobus) saksi pertama dari kebangkitan Kristus.
            Pada jemaat mula-mula perempuan juga telah memainkan perannya di dalam kehidupan gereja, Febe berperan sebagai pemimpin jemaat (band. Roma 16: 1), Priskila sebagai pemimpin jemaat rumah (1 Kor. 16:19), Lidia sebagai donatur dan penyokong tugas-tugas pelayanan Paulus (Kis. 16: 14-25), bersaksi, mengajar dan menolong adalah juga peran yang dimainkan perempuan, dalam hal ini Trifena dan Trifosa (Rm. 16: 12), perempuan sebagai pengusaha, yakni Lidia (Kis. 16: 14). Dorkas dan Tabita juga dicatat sebagai perempuan yang berperan dalam pelayanan gereja pada waktu itu secara khusus dalam berdiakonia. Peranan perempuan di dalam Perjanjian Baru ternyata sungguh beragam dan malah tidak kalah penting dengan peranan laki-laki. Sebagian malah tercatat sebagai pemimpin jemaat, itu membuktikan bahwa perempuan di mata gereja adalah orang yang sama kedudukannya dengan laki-laki, bukan warga kelas dua atau kelas berikut. J. Darminta, Sj, menyimpulkan bahwa secara singkat hakekat perempuan  dalam terang Illahi  ialah diciptakan  untuk memberikan hidup dan untuk hidup memberikan diri.[3] Artinya bahwa perempuan dituntut untuk memainkan peranannya sesuai dengan yang apa yang dimilikinya seperti halnya perempuan-perempuan di dalam Alkitab. Di samping untuk memberikan hidup, misalnya melahirkan, menyusui dan merawat serta membesarkan anak-anaknya, perempuan juga harus memberikan diri bagi kehidupan di sekitarnya.     

C. Pelayanan Perempuan Dalam Gereja
Tradisi patriarkh yang berlaku dalam kehidupan orang Yahudi telah menggeser isi dan hakekat Kitab Suci yang berbicara tentang perempuan. Fanatisme kelaki-lakian ternyata bukan hanya berlaku di dalam pemikiran orang-orang ateis seperti halnya Plato yang mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dilahirkan demikian akibat kekurangan si ayah atau akibat pengaruh jahat angin selatan yang lembab[4], tetapi juga dalam kehidupan orang-orang Yahudi yang adalah umat percaya. Bagi orang Yahudi menjadi atau dilahirkan sebagai perempuan adalah nasib yang malang, sebaliknya dilahirkan sebagai laki-laki adalah kesukaan yang istimewa, seperti terungkap dalam doa pagi yang diucapkan oleh anak lelaki Yahudi yang bersyukur karena dirinya tidak diciptakan sebagai perempuan. Hal ini tercantum dalam talmud orang Yahudi.
Selanjutnya, yang memprihatinkan lagi adalah keterlibatan bapak-bapak gereja yang karena dipengaruhi budaya Yunani dan Talmud tersebut mengakibatkan wibawa Alkitab terpinggirkan. Di antara mereka malah ada yang merendahkan perempuan sebagaimana halnya dengan Tertullianus yang menulis bahwa perempuan adalah pintu masuk iblis, perusak meterai pohon (terlarang), pelanggar pertama hukum Illahi, perempuan yang membujuk laki-laki sehingga jatuh ke dalam dosa, bahkan gara-gara perempuanlah, sehingga kematian menjadi ganjaran manusia dan juga Yesus anak Allah.[5] Menurut Muhadjir M Darwin; nilai-nilai sosial, baik yang bersumber dari agama maupun tradisi dapat menjadi faktor yang meminggirkan[6]. Pendapat ini memang benar, tetapi sepertinya kurang berani mengatakan bahwa memang tradisi dan agamalah faktor yang selama ini cenderung meminggirkan perempuan termasuk gereja di dalamnya sebelum abad 20- an. Pada perkembangan selanjutnya, gereja mulai mengalami pergeseran paradigma tentang perempuan secara khusus di dunia barat. Perempuan mulai memperoleh tempat di dalam pelayanan gereja sekitar tahun 1960- an yakni sebagai pemimpin gereja.
Peranan perempuan di dalam gereja selama ini memang cenderung sebatas jemaat biasa yang tidak mempunyai tempat dalam pelayanan kepemimpinan gereja, kalaupun itu ada, paling-paling mereka di tempatkan di bidang yang mengurusi konsumsi maupun pelayanan khusus perempuan. Sebenarnya perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pelayan Tuhan di dalam gereja. Semua jabatan dan golongan dalam gereja terbuka bagi perempuan dan laki-laki meskipun kenyataannya tidak berarti perempuan diwakili dengan jumlah yang sama, atau secara proporsional dengan jumlah perempuan dalam gereja. Pada umumnya perempuan dan laki-laki berpartisipasi sama di tingkat lebih rendah, sedangkan di tingkat-tingkat otoritas dan pembuatan keputusan maupun kebijakan yang lebih tinggi, laki-laki masih mendominasi. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri sebab pada salah satu pihak, perempuan juga terkadang sudah terpola dengan warisan tradisi patriark dan merasa puas dengan posisinya di ranah domestik. Kasus yang menggembirakan mengenai perempuan di dalam gereja diuraikan oleh Janet Crawfort yakni penahbisan pendeta perempuan di gereja Anglikan. Peristiwa ini sangat menarik dan mendapat perhatian banyak kalangan sebab di sana sini ada pro dan kontra[7]. Khusus di gereja-gereja protestan di Indonesia, peranan perempuan sebagai pendeta ataupun menjadi pemimpin gereja di tingkat sinodal bukan lagi sesuatu yang jarang. Dalam pengambilan keputusanpun perempuan telah banyak terlibat aktif. Kendatipun memang sebelum abad 20 pemandangan seperti itu jarang bahkan tidak terlihat.
Perempuan di dalam pelayanan gereja boleh dikata telah menerima hak yang sama dengan laki-laki, walaupun memang masih banyak ditemukan bahwa acapkali laki-laki masih terus berupaya mendominasi. Hal ini tidak terlepas dari tradisi lokal setiap gereja yang mana sistem patriarh masih dipegang kuat. 
 
D. Peranan Perempuan Di Dalam Gereja Protestan    
      Indonesia Donggala
             Gereja Protestan Indonesia Donggala yang hadir dan melayani di tengah masyarakat Sulawesi Tengah yang sedang membangun perlu terus memotivasi para perempuan gereja agar mereka sebagai bagian dari perempuan Indonesia mengambil bagian secara aktif dalam kegiatan pembangunan, dari format yang paling kecil hingga format yang lebih besar. Upaya seperti itu sebenarnya telah dimulai sejak lama oleh gereja protestan Indonesia donggala (GPID)  dengan memberikan visi Teologis  bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama di hadapan Allah, sama-sama diciptakan oleh Allah, sama-sama dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan tugas dan panggilannya di tengah dunia ini seperti yang dikehendaki Allah.
Secara Teologis, sebenarnya tidak ada lagi persoalan mengenai perempuan dalam hal peranannya baik di dalam gereja maupun di ranah publik lainnya. Hambatan atau tantangan yang masih terasa dan dihadapi perempuan dalam rangka memainkan peranannya di luar ranah domestik datang dari dimensi kultural atau tradisi, jadi bukan lagi dari yang bersifat Teologis.[8] Demikian juga sebenarnya yang terjadi pada gereja protestan Indonesia Donggala yang tak bisa tidak harus berjumpa dan beriteraksi dengan tradisi dan budaya mengakibatkan persoalan mengenai peran perempuan tak kunjung tuntas untuk dibicarakan. Keadaan ini diperumit lagi dengan situasi dan koteks GPID yang sangat majemuk (latar belakang gereja, suku, budaya, adat-istiadat, bahasa, dan pola hidup lainnya yang sangat majemuk). Sebagai gereja yang menjung-jung tinggi imamat Am orang percaya, GPID tidak membedakan laki-laki maupun perempuan di dalam pelayanan gereja Tuhan. Memang harus diakui bahwa hingga saat ini belum ada perhatian khusus yang diberikan oleh gereja terhadap persoalan pemosisian perempuan baik di dalam gereja maupun di ranah publik lainnya. Kemajuan yang dicapai oleh GPID sepertinya hanya mengikuti perkembangan zaman dan pergeseran paradigma di masyarakat, pemerintahan dan gereja-gereja secara umum tentang pemosisian perempuan di dalam pelayanan gereja Tuhan. Dalam tata gereja GPID tidak ada point khusus yang berbicara mengenai  gender ataupun point khusus yang mengatur pendeta laki-laki atau pendeta perempuan secara tersendiri. Pada salah satu pihak ini bisa dikatakan bahwa GPID tidak lagi mempersoalkan jabatan pendeta bagi perempuan, dan di pihak yang lain GPID juga bisa dikatakan tidak memperhatikan hal ini sebagai persoalan yang perlu dibahas karena kurangnya perhatian akan persoalan ini.[9]
Selain menjadi pendeta, perempuan di GPID juga mempunyai ruang khusus dalam bentuk komisi pelayanan kategorial (KOMPELKA) yakni komisi pelayanan untuk perempuan atau kaum ibu. Komisi tersebut sepenuhnya dipimpin oleh perempuan mulai dari unsur ketua hingga anggota-anggotanya dan ketuanya otomatis masuk dalam jajaran pimpinan di tingkat sinode[10]. Pemosisian perempuan dalam hal ini sudah menggembirakan. Pelayanan kategorial khusus perempuan dan kaum ibu ini bukan hanya pelengkap struktur organisasi gereja, melainkan mereka juga di beri ruang untuk mengekspresikan imannya sebagai perempuan melalui program pelayanan di tingkat KOMPELKA tadi. Jika dilihat dari program tahunan yang disusun oleh kompelka perempuan, nyata bahwa kesadaran perempuan di GPID sudah mulai maju. Program kompelka perempuan ternyata bukan lagi melulu pada bidang kultis ataupun diakonis, tetapi juga sudah mulai memikirkan perjuangan gender, misalnya dalam keputusan sidang kompelka perempuan/kaum ibu di tingkat sinode tahun 2008, mereka sepakat merobah penggunaan kata ”wanita” menjadi ”perempuan” dalam lagu mars perempuan GPID dengan alasan bahwa pengertian wanita cenderung dipahami lebih rendah derajatnya dengan istilah perempuan.[11] Dalam penggunaan ”tuan rumah” misalnya, perempuan GPID merobahnya menjadi ”Nyonya rumah”. Selain pergeseran pemahaman ke arah yang lebih baik, perempuan GPID juga berjuang untuk memikirkan hari yang bersejarah bagi mereka, yakni dengan menetapkan hari ulang tahun kompelka perempuan. Peranan perempuan di dalam GPID sudah dapat dikatakan sejajar dengan peranan laki-laki, kendatipun memang hingga saat ini jumlah perempuan yang menjadi majelis sinode Cuma satu orang dan belum pernah menduduki jabatan yang lebih tinggi di tingkat sinode. Mengenai jumlah perempuan yang menjadi pelayan-pelayan khusus (penatua dan diaken) di tiap-tiap jemaat sangat bervariasi selalu dipengaruhi tingkat rendahnya semangat tradisi patriarkh di tengah masyarakat di mana gereja itu hadir. Biasanya di jemaat perkotaan peranan perempuan lebih nampak apabila dibandingkan di jemaat pedesaan yang masih kuat pengaruh tradisi patriarkhalnya. Di samping keengganan perempuan itu sendiri menjadi pemimpin di dalam gereja yang sekaligus pemimpin atas laki-laki, perempuan juga menghadapi tantangan dari pihak laki-laki yang dituakan di dalam jemaat (tua-tua jemaat).
E. Gereja Protestan Indonesia Donggala dan Peningkatan
      Peranan Perempuan
            Setelah menguraikan seperti apa peranan peranan perempuan di dalam Gereja Protestan Indonesia Donggala, maka kini yang perlu dikaji ialah sejauh mana dan apa yang dilakukan oleh gereja protestan Indonesia Donggala (GPID) dalam rangka meningkatkan peranan perempuan bukan hanya di dalam gereja, di ranah domestik tetapi juga di ranah publik lainnya. Untuk itu ada baiknya mengkajinya dalam beberapa point menurut ranah-ranah tersebut.

1. Di dalam Gereja   
 Sepintas lalu telah disinggung di atas bahwa GPID tidak lagi mempermasalahkan posisi perempuan menjadi pendeta maupun menjadi penatua/diaken baik di tingkat jemaat maupun di tingkat Sinode. Peranan perempuan di dalam gereja dianggap penting sehingga tidaklah mengherankan apabila belakangan ini pendeta GPID lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di dalam gereja, GPID pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya di antaranya, melakukan pelatihan secara khusus bagi ibu-ibu/perempuan dalam bidang pelayanan gerejawi, seperti misalnya menagemen/administrasi gerejawi, kepemimpinan kristen dan pelatihan lainnya yang bertujuan memperlengkapi perempuan untuk pelayanan gereja. Program pelathan seperti ini biasanya difasilitasi oleh majelis sinode melalui kompelka perempuan kaum ibu tingkat sinode. Program pelatihan ini boleh dikata berhasil, di mana perempuan-perempuan sudah mulai berani menunjukkan diri mampu menjadi pelayan-pelayan gereja Tuhan.
Selain pembinaan atau pelatihan, perempuan-perempuan GPID juga dibekali dengan pengetahuan teologi praktis terutama mereka yang menjadi pengurus di kompelka perempuan/kaum ibu di jemaat-jemaat dengan harapan peranan mereka akan lebih dirasakan oleh jemaat. Program ini sepenuhnya ada dalam kendali majelis sinode melalui bidang Pembinaan Warga Gereja.

2.Di ranah Domestik
Peranan perempuan di ranah domestik sebenarnya tidak lagi diragukan sebab pada umumnya orang yang dipengaruhi tradisi patriarkhal memahami bahwa ranah domestik adalah istana perempuan. Namun, kendatipun demikian, GPID tetap merasa bahwa perempuan tidak boleh berpuas diri di ranah domestik dengan di tiga medan pelayanannya kasur, dapur dan sumur. Artinya bahwa perempuan juga mempunyai peluang untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia yang produktif (bukan hanya melahirkan anak). Untuk itu, GPID membuat program pelatihan khusus bagi perempuan/ibu-ibu, diantaranya pelatihan menjahit, memasak kue dan pengembangan industri rumah tangga yang setiap tahunnya dilaksanakan di pusat ppendidikan dan pelatihan GPID. Program ini dirasa sungguh berhasil terlebih dikarenakan persaingan hidup yang semakin ketat seperti sekarang ini. Untuk mendukung program tersebut biasanya Sinode menyediakan anggaran untuk menopang anggaran yang memang selalu diusahakan oleh perempuan/kaum ibu itu sendiri. Demikian juga dalam hal peningkatan gizi dan kesehatan keluarga, perempuan-perempuan/kaum ibu- lah yang sepenuhnya terlibat. Program ini semua bertujuan untuk meningkatkan peranan perempuan khususnya di ranah domestik.

3. Di Ranah Publik
            Mengenai program gereja dalam peningkatan peran perempuan di ranah publik boleh dikata belum terlihat sama sekali. Hingga saat ini belum ada program khusus yang diselenggarakan gereja yang bertujuan untuk meningkatkan peranan perempuan di ranah publik. Biasanya perempuan-perempuan memperoleh pembinaan maupun pelatihan mengenai politik misalnya, belum pernah secara khusus bagi perempuan. Demikian juga dengan kepemimpinan di ranah publik lainnya, perempuan sangat sedikit mendapatkan pembekalan dari pihak gereja, seperti perempuan yang menjadi tenaga kesehatan (suster atau dokter) misalnya, belum pernah terdengar memperoleh pembinaan dari gereja bersangkut paut dengan profesinya tersebut. Kalaupun itu ada, paling-paling terjadi pada waktu pastoral pendeta. Ini menunjukkan bahwa persoalan pemosisian perempuan di ranah publik diaggap bukanlah masalah yang serius bagi gereja. Akibatnya adalah perempuan-perempuan yang beraktivitas di ranah publik seringkali tidak mampu memposisikan dirinya sebagai perempuan kristen yang sesungguhnya di tengah interaksi sosialnya sehari-hari.
            Usaha peningkatan peranan perempuan di ranah publik oleh GPID pada dasarnya masih jauh dari yang diharapkan. Seharusnya masalah peningkatan peranan perempuan di ranah publik adalah juga tanggung jawab gereja. Dalam program sinode baik jangka pendek maupun jangka panjang belum terlihat sejauh mana langkah-langkah yang diambil gereja guna memperjuangkan warga jemaatnya (secara khusus perempuan) mampu mengikuti kompetisi persaingan di ranah publik. Hal ini adalah suatu kelemahan gereja-gereja secara umum. Gereja memang masih dikuasai tradisi historis gereja dari zaman zending, yang menganggap tabu hal-hal yang duniawi dibicarakan di dalam gereja. Misalnya saja, hingga saat ini gereja belum mencapai kata sepakat atas persoalan politik dan gereja dan pelayan gereja. Pemimpin-pemimpin gereja sepertinya dipaksa oleh tradisi untuk tidak membawa-bawa masalah politik untuk dibicarakan di dalam gereja termasuk di dalam kompelka perempuan/kaum ibu. Melalui perjumpaannya dengan tradisi patriarkhal yang mulai tergeser dalam kehidupan masyarakat, gereja juga kiranya semakin membuka diri mengkaji dan terus berupaya meningkatkan peranan perempuan di ranah publik.



F. Penutup
            Menutup uraian ini maka berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan sebenarnya telah memainkan perannya di ranah yang strategis dalam rangka karya Allah bagi dunia ini. Sejak dalam zaman perjanjian Lama hingga pada zaman Perjanjian Baru bahkan hingga pada zaman jemaat kristen mula-mula, perempuan telah berperan aktif dan memperoleh tempat-tempat yang special oleh Allah. Tapi patut disayangkan bahwa kemudian, intepretasi atas kisah-kisah perempuan tersebut diselewengkan oleh penganut agama perjanjian lama dan juga oleh bapak-bapak gereja. Ternyata bukan hanya tradisi dan kultur yang melakukan diskriminasi kepada perempuan, tetapi agama juga turut di dalamnya. Jika ditelusuri dalam sejarah gereja, perempuan demikian juga peranan mereka sepertinya hilang lenyap. Kita tidak mendengar istilah ibu-ibu gereja, yang ada adalah bapak-bapak gereja. Pembahasahan di tiap-tiap konsilipun kita tidak mendengar perjuangan terhadap pemosisian perempuan di dalam gereja yang ada adalah persoalan hakekat Maria. Ini merupakan sejarah hitam bagi gereja yang melupakan jasa perempuan dalam karya Allah bagi penyelamatan dunia ini.
            Bersyukurlah bahwa di abad-abad ke- 20 ini, gereja-gereja sudah mulai sadar dan merasa bahwa sudah saatnya merekontruksi kembali pemahamannya tentang perempuan dan perannya. Namun ketika kesadaran itu bangkit, gereja masih juga gagal meningkatkan peranan perempuan terutama di ranah publik. Gereja-gereja cenderung hanya memfokuskan perhatiannya bagaimana peranan perempuan di gereja dan di ranah domestik dapat ditingkatkan, tanpa menganggap penting peningkatan peranan perempuan di ranah publik. Hal ini juga terjadi dan dialami oleh Gereja Protestan Indonesia Donggala. Padahal ranah publik juga adalah tempat di mana perempuan dapat dengan leluasa mengekspresikan diri dan imannya, sebab kesaksian dan pelayanan perempuan juga sangat dibutuhkan di ranah publik.


[1]. Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) adalah gereja yang bernaung dalam Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang melayani di wilayah Sulawesi Tengah. GPID berdiri sejak 4 April 1964 dengan sinode sendiri, tepatnya di Jl. Kijang Raya no. 14 Palu, Sulawesi Tengah.
[2]. Lihat, Ruth Tiffani Barnhouse, Identitas Wanita, (Yogjakarta: Kanisius, 1998), hal. 15.
[3]. J. Derminta Sj, Perempuan Di Hadapan Hidup Dan Allah, (Yogjakarta: Kanisius, tt), hal. 31.
[4]. John Stott mengutipnya dalam buku, Isu-isu Global, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005), hal. 334  
[5]. Ibid, hal. 335
[6]. Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, (Jakarta:Media Wacana, 2005), hal. 19.
[7]. Lebih lengkapnya, lihat, Jeanne Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001), hal.310-312
[8]. Lihat, Pdt. Weinata Sairin, Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1994), hal.49
[9]. Lihat Majelis Sinode GPID, Tata Gereja Protestan Indonesia Donggala, khususnya pada bab III,  (Palu: GPID, 2008), hal. 5.
[10]. Ibid, hal. 44-49
[11]. Materi hasil keputusan sidang kompelka perempuan/kaum ibu tingkat sinode GPID 2008.

bendrio sibarani: RINGKASAN SEJARAHGEREJAOLEHOLEH. PDT.BEND...

bendrio sibarani: RINGKASAN SEJARAHGEREJA

OLEH






OLEH. PDT.BEND...
: RINGKASAN SEJARAH GEREJA O L E H OLEH. PDT. BENDRIO P SIBARANI, M. TEOL. SEJARAH GEREJA MULA...
RINGKASAN
SEJARAH GEREJA


O
L
E
H







OLEH. PDT. BENDRIO P SIBARANI, M. TEOL.






SEJARAH GEREJA MULA-MULA (PURBA)

1. Permulaan Sejarah Gereja
a. Jemaat Mula-mula
            Hari kelahiran Gereja ialah hari keturunan Roh Kudus pada pesta Pentakosta. Ketika itu murid-murid dipenuhi oleh roh Kristus, kemudian mereka mulai memberi kesaksian tentang kelepasan yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Injil mulai diterima yakni dengan adanya orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, dan terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Keberadaan jemaat-jemaat ini pada mulanya bagaikan mazhab-mazhab dalam agama Yahudi. Jemaat-jemaat ini, sebagian besar adalah orang-orang Yahudi, jadi kekristenan itu masih memegang kuat taurat Musa dan tradisi-tradisi Yahudi lainnya. Akibat percaya mereka kepada Yesus sebagai Sang Mesias, peran Bait Allah, Sinagoge dan Taurat Musa lambat laun mulai kurang penting bagi mereka.
            Tulisan mengenai permulaan sejarah Gereja telah dimulai oleh penginjil Lukas, yakni seperti yang terdapat dalam Kisah Para Rasul. Di situ diceritakan bahwa kehidupan jemaat mula-mula itu memiliki ciri khas yang unik, mereka hidup dalam persekutuan yang rukun dan damai. Pada zaman itu pula pertama kali dikenal jabatan Syamas yang bertugas untuk melayani orang-orang miskin, yakni semua anggota Gereja yang membutuhkan pertolongan atau topangan hidup karena keterbatasan mereka.
            Penganiayaan terhadap gereja terus terjadi bukan hanya pada Yesus Kristus, tetapi juga pada jemaat mula-mula. Berawal dari pembunuhan Stefanus, akhirnya Gereja semakin memisahkan diri dari keyahudian. Tetapi penganiayaan malah semakin keras dialami oleh gereja itu, mereka dikejar-kejar, ditangkap dan dipenjarakan. Orang-orang percaya tersebut terpaksa melarikan diri ke berbagai tempat, tetapi Injil malah semakin menyebar ke mana-mana. Jika mulanya Injil mereka siarkan kepada orang-orang Yahudi yang berada di perantauan, maka kemudian Injil juga mulai didengar oleh orang-orang kafir seperti yang terdapat di Antiokhia[1].
b. Perselisihan Dalam Gereja
            Ketika Injil semakin tersebar bahkan juga kepada orang-orang kafir (Yunani, Romawi,dll), Gereja semakin diperhadapkan pada berbagai macam persoalan. Selain dari kejaran penganut agama Yahudi, Gereja di Yerusalem juga pada awalnya keberatan dengan keberadaan orang-orang kafir yang menjadi Kristen tetapi dengan budaya mereka sendiri. Akibatnya Gereja di Yerusalem di mana anggotanya sebagian besar orang-orang Yahudi tidak setuju dengan budaya orang-orang kafir tersebut yang tidak lagi memegang teguh Taurat seperti misalnya sunat. Akhirnya persoalan ini dibahas pada sidang Gereja di Yerusalem (Kis. 15) dengan kesimpulan membebaskan orang-orang yang bukan Yahudi dari tuntutan Taurat kecuali 4 hal yang wajib diperhatikan (Kis. 15: 29).

c. Perkembangan Gereja
            Jemaat-jemaat yang terbentuk di kalangan non Yahudi atau yang di luar Yerusalem semakin berkembang, tetapi di Yerusalem sendiri Gereja makin surut. Hal ini disebabkan kehancuran Yerusalem oleh Romawi yang kala itu dipimpin oleh panglima Titus. Orang-orang Kristen asal Yahudi akibatnya meninggalkan Yerusalem karena mereka tidak setuju pada ide orang-orang Yahudi yang hendak memberontak melawan pemerintah Romawi.

2. Gereja Sesudah Zaman Para Rasul
            Gereja mengalami perubahan yang besar setelah berakhirnya zaman para Rasul, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Gereja sangat cepat tersebar ke mana-mana. Jemaat-jemaat tercatat terdapat di Siria, Asia Kecil, dan Yunani, juga di Mesir, mesopotania, Italia. Dari perjalanan Paulus dapat dilihat bahwa Gereja telah terdapat di kota Roma dengan jumlah anggota jemaat yang tidak sedikit. Bahkan dalam sejarah Gereja ada kisah yang mengatakan bahwa Petrus mati shyahid di sana. Bukan hanya di Roam, tetapi di daerah Laut tengah juga pernah terdengar adanya jemaat-jemaat Kristen. Perkembangan Gereja yang demikian ini, pada hakekatnya adalah merupakan tingginya semangat orang-orang Kristen pada waktu itu untuk memberitakan Injil Tuhan Yesus Kristus di mana-mana dan usaha itu belum terorganisir sebagaimana yang terjadi kemudian.
            Perubahan dari segi batiniah, jika gereja itu pada mulanya sempat terfokus pada penantian kedatangan Yesus keduakali, maka kini Gereja itu mulai melengkapi diri untuk hidup terus-menerus sesuai dengan kehendak Allah sambil terus memberitakan Injil kerajaan Allah kepada dunia di mana mereka berada.
            Dalam segi lahiriah, Gereja mulai mengalami perubahan. Jika sebelumnya pimpinan Gereja diamanatkan kepada Rasul-rasul, kini rasul-rasul baru (yakni bukan saja yang menjadi saksi-saksi kebangkitan Yesus, tetapi juga mereka yang memberitakan Injil dengan menjelajah negeri-negeri yang jauh), di dalam Gereja juga mulai dikenal Pengajar-pengajar, dan Nabi-nabi. Para pejabat Gereja ini tidaklah dipilih, melainkan dengan sendirinya mereka dihormati dan ditempatkan pada posisi tersebut sesuai dengan karunia-karunia yang mereka miliki. Kemudian dikenal lagi penatua-penatua(Presbiter) di tiap-tiap jemaat[2]. Pejabat-pejabat ini dipercayakan untuk memimpin jemaat baik dalam hal keuangan, organisasi, dan sebagainya. Mereka ini dibantu oleh Syamas yang ada di jemaat tersebut.
            Kemudian penggembalaan jemaat beralih dari golongan para rasul, pangajar dan nabi kepada para uskup. Sehingga di kemudian hari uskup memegang jabatan yang tinggi dalam jemaat seperti yang terjadi pada abad II di jemaat Asia kecil. Ini terus berkembang dalam kehidupan Gereja sehingga pada akhirnya Gereja mengandung pola episkopal di mana presbiter-presbiter merupakan badan tetap yang memilih uskup serta membantunya dalam melaksanakan kebaktian dan pemerintahan jemaat. Dari sini kemudian terbentuklah suatu kaum pejabat dalam Gereja yang disebut dengan ”klerus”, yakni segolongan imam yang mengetahui seluk beluk agama Kristen, sehingga dapat menguasai banyak orang yakni para anggota jemaat ”biasa/awam’’. Inilah awal mula terjadinya pemerintahan imam dalam gereja atau hierarkhi gerejawi[3]. Demikian juga halnya tentang tata cara kebaktian yang dilangsungkan oleh Gereja.
            Harus diketahui bahwa alasan utama bagi orang Kristen melaksanakan kebaktian pada hari Minggu adalah didasarkan pada kebangkitan Yesus Kristus yang tepat terjadi pada hari Minggu. Minggu berasal dari kata portugis, yakni ”Dominggo” artinya Tuhan[4]. Berdasarkan kesaksian Kisah para Rasul 2: 46, jelas terlihat bahwa orang-orang percaya kala itu selalu berkumpul pada hari Minggu mengadakan perjamuan bersama, di mana jemaat berdoa, menyanyi, dan mendengarkan pembacaan Alkitab. Masa itu belum ada tata ibadah seperti yang ada pada saat ini.
Penutup
            Demikianlah sejarah gereja mula-mula itu terjadi dan nampak bahwa Gereja itu tidak statis, tetapi dia terus menerus mengalami transformasi sesuai dengan perkembangan zaman yang menyertainya. Gereja mula-mula itu terus mengalami perubahan yang turut dipengaruhi perkembangan pemikiran manusia termasuk filsafat yang kemudian berakibat pada terbaginya Gereja itu dalam beberapa aliran pemikiran teologis. Akhirnya pada babak sejarah berikutnya Gereja tersebut menjadi terbagi dalam dua kelompok besar yakni Gereja barat dan gereja timur.
































GEREJA BARAT DAN GEREJA TIMUR

A. Latar belakang Munculnya Gereja Barat dan Gereja Timur
Sebelum Gereja terbagi menjadi dua kelompok besar, ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya, selain faktor perbedaan Teologis, ternyata juga karena dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti kekuasaan, politik dan geografis. Sebelum gereja barat dan gereja timur berdiri sendiri, mula-mula gereja itu telah dijadikan menjadi gereja negara yakni sejak kaisar Konstantinus agung meresmikan agama Kristen sebagai agama resmi di Roma pada tahun 313 M. Konstantinus Agung mengeluarkan Edik Milano. Gereja menjadi agama resmi di kerajaan Romawi dan semakin hari Gereja tersebut semakin kaya karena negara memberi bantuan dan menyokong Gereja dengan sepenuhnya. Di samping itu pula, Gereja semakin penuh karena banyaknya orang yang ramai-ramai masuk agama Kristen di antara mereka  ada juga yang kembali masuk agama Kristen di mana sebelumnya mereka telah murtad karena penghambatan. Di abad ke empat ini, Gereja diperhadapkan pada persoalan hilangnya semangat yang dulu ada di dalam Gereja ketika jumlah mereka sedikit dan dalam penganiayaan, kini Gereja semakin diwarnai oleh semangat yang suam karena banyaknya orang yang masuk agama Kristen dengan tujuan mencari hormat dan pangkat.
Melihat pola hidup kekristenan yang seperti itu, maka ada sebagian orang-orang Kristen yang merasa tidak senang. Orang-orang ini ingin tetap memelihara cita-cita lama agama Kristen, dan karena itu mereka mengasingkan diri dan melakukan askese. Inilah gerakan pembaharuan yang lahir ketika Gereja memperoleh kebebasannya di kerajaan Romawi. Salah seorang yang terkenal dalam gerakan ini adalah Antonius (251-356)[5]. Kelanjutan dari gerakan ini adalah berdirinya biara-biara (cluny) dan perkumpulan orang-orang yang hidup membiara yakni rahib lelaki dan para biarawati (suster). Ketika Gereja menjadi agama negara, caesaropapisme[6] yakni raja-raja memandang diri mereka sebagai kepala Gereja merupakan ancaman yang sangat serius bagi Gereja. Di sinilah letak masalah yang dihadapi Gereja menyangkut hubungannya dengan pemerintah. Ambrosius, melakukan gerakan pembaharuan atas persoalan ini. Pada tahun 390 Ambrosius mengecam sikap raja, menurutnya ”raja termasuk di dalam Gereja, akan tetapi tidak menguasainya”.
Selain persoalan mengenai caesaropapisme ini, Gereja juga diperhadapkan pada ancaman ajaran tentang diri Kristus, yaitu: Trinitas, hubungan tabiat Illahi dan manusia di dalam diri Yesus (masalah Kristologi) persoalan lainnya adalah tentang ajaran Arianisme. Irenaeus dengan ajarannya cenderung menghapuskan batas antara Allah Bapa dengan Yesus Kristus. Menurutnya bahwa manusia, yakni: ”jiwa” dan tubuh adalah satu, dan bahwa tubuh itu ikut diselamatkan. Teologi Irenaeus bercorak sakramentalistis. Artinya, menurut dia ”anugerah Allah disalurkan kepada kita terutama melalui sakramen”. Menurutnya:
 ”sama seperti jiwa, begitu juga tubuh manusia diciptakan oleh Allah. Maksud Allah ialah supaya tubuh dan jiwa itu kelak diberi hidup kekal. Karena manusia jatuh ke dalam dosa, tubuh dan jiwa itu tidak dapat tidak harus binasa. Tetapi, ia telah berkenan kepada Allah untuk menebus kita. Kristus yang adalah Allah sepenuhnya, mengenakan tubuh dan jiwa manusia. Tubuh dan jiwa itu, karena penggabungan yang erat dengan bagian Kristus yang Illahi, mengambil alih sifat keillahian, yaitu kekekalan. Dengan demikian, sesudah mati, kemanusiaan Kristus bangkit pula dan ikut naik ke sorga. Tetapi, setiap kali Ekaristi dilayankan, tubuh itu diterima oleh orang percaya. Kita memakan tubuh Kristus, lalu tubuh itu menjadi suatu obat, semacam ragi, yang lama-kelamaan mengubah sifat tubuh dan jiwa kita menjadi kekal. Begitulah nanti, sesudah mati, kita juga akan bangkit”[7].
   Persoalan berikutnya adalah mengenai pengabaian keesaan Allah dan keTuhanan Kristus yang dipelopori oleh Origenes. Menurutnya Kristus berpangkat lebih rendah daripada Allah Bapa. Ajarannya adalah sebagai berikut :
 ”Pada mulanya ada Allah, dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang tak terhitung jumlahnya. Dunia dan manusia belum ada. Kemudian malaikat-malaikat itu, kecuali satu, menjauhkan diri dari Allah. Tetapi, makin jauh mereka dari Allah, makin melekat pada mereka sesuatu yang berat dan jelek, yang tidak ada sebelumnya, dan yang kita sebut zat benda (materi). Begitulah dunia dan tubuh kita terbentuk. Tetapi, Kristus turun dari sorga untuk melepaskan malaikat-malaikat yang terkurung dalam materi itu. Ia mengajarkan kepada malaikat-malaikat atau jiwa itu jalan untuk kembali kepada Allah, yaitu kasih dan askese. Lalu segala sesuatu, termasuk malaikat yang telah jatuh paling dalam (iblis), naik lagi kepada Allah (pendamaian segala-galanya) dan materi (tubuh) yang melekat pada mereka menguap kembali”.
Bagi Origenes, Kristus adalah Logos yang diperanakkan dari kekal oleh Allah Bapa. Logos ini sezat dengan Allah, tetapi pada pihak lain merupakan Allah yang kedua, yang dalam arti tertentu lebih rendah dari Allah bapa. Kedua kelompok ini akhirnya terlibat dalam pertikaan yang hebat sekitar tahun 315. Azas-azas Irenaeus dipertahankan oleh Athanasius dan pemikiran Origenes diwakili oleh Arius dalam bentuk yang lebih keras.
Pendiri ajaran arianisme adalah Arius. Arius adalah seorang imam pada sebuah paroki di Aleksandria. Adapun ajaran yang disebarluaskannya adalah pengingkarannya terhadap keallahan Kristus. Baginya Kristus adalah mahkluk pertama yang termulia di antara manusia sehingga boleh dianggap sebagai Allah, tetapi pada hakekatnya bukanlah Dia itu Allah[8]. Di samping itu, arianisme juga memberi kepuasan kepada akal budi karena nampaknya memberi pemecahan kepada rahasia Allah Tri Tunggal. Kendatipun dalam konsili di Aleksandria telah memutuskan bahwa ajaran Arius ini sesat, namun Arius sendiri tidak mau tunduk pada putusan tersebut dan malah masih meneruskan menyebar luaskan ajarannya. Sehingga pada tahun 325 Konstantinus memelopori konsili di Nicea yang dihadiri kira-kira 300 orang uskup dan menolak dengan keras ajaran Arius dan menetapkan pengakuan iman (credo). Kendatipun sempat dibuang, Arius ternyata dipanggil lagi berkat bantuan Eusibius yang membujuk raja Constantinus. Athanasius yang sebelumnya sangat memusuhi arianisme sekarang mendapat perlawanan dan akhirnya dia mengungsi ke Trier yang jauh. Pada saat ini ajaran arianisme berkuasa lagi, tetapi raja Constantinus melakukan pengejaran sungguh-sungguh kepada para orang Kristen yang menjungjung keallahan Kristus dan pada tahun 381 ia menyuruh malaksanakan konsili di Konstantinopel. Konsili ini memperkuat lagi keputusan Nicea. Maka berakhirlah arianisme.
Di kemudian, timbul lagi pertikaian tentang kedua tabiat Kristus. Persoalannya adalah bagaimana eratnya hubungan antara kemanusiaan dan keillahian di dalam diri Kristus. Hal ini menjadi pokok pertikaian antara Nestorius (Nestorian) dan Cyrillus (monofisit). Nestorius adalah seorang patriarkh di Konstantinopel (kira-kira 430). Dia mengatakan bahwa hubungan kedua tabiat Kristus tidaklah begitu erat dan mengandaikannya seperti minyak dengan air dalam satu gelas. Pemikiran Nestorius tersebut bersumber pada teologi Origenes degan jiwa Irenaeus.[9] Nestorius juga menciptakan gelar baru bagi bunda Maria yakni ”Bunda Kristus”. Hal ini dilakukannya untuk menghindari perpecahan di dalam jemaat yang mempersoalkan apakah Maria itu bunda Allah atau bunda manusia. Tetapi Nestorius tidak berhasil mendamaikan jemaatnya, sehingga terjadilah perlawanan sengit kepada Nestorius. Setelah Cyrillus mendengar gelar ”Kristotokos” yang diberikan Nestorius kepada bunda Maria, maka ia menyurat kepada Nestorius agar bunda Maria diberi gelar ”Theotokos”. Pertikaian antara Cyrillus dengan Nestorius akhirnya berlanjut hingga kepada Paus. Tahun 430 pada sinode di Roma ajaran Nestorius dinyatakan sesat. Namun ternyata pertikaian tersebut berlanjut lagi bahkan semakin tajam. Untuk mengatasi hal ini, maka kaisar memanggil sebuah konsili yang bersidang di Efesus. Sinode inipun mengutuk Nestorius, tetapi Nestorius terus mempertahankan ajarannya. Pada tahun 451 persoalan mengenai Kristologi tersebut dipecahkan pada konsili Chalcedon. Keputusan dalam konsili ini hanyalah sebuah jalan tengah, yakni apa yang dianggap salah dalam kedua ajaran tersebut ditolak. Keputusan tersebut hanya sebuah keputusan spekulatif demi menjungjung nilai dan menghormati  Alkitab. Akibatnya konsili Chalcedon berdampak pada terpecahnya gereja yakni: Gereja-gereja Monofisit dan Gereja-gereja Nestorian memisahkan diri dari Gereja dalam kekaisaran Romawi.
Pada abad ke- 4 perbedaan corak Gereja di kekaisaran romawi barat dengan Gereja di bagian timur mulai kelihatan. Perbedaan yang semakin nyata ini di kemudian hari mengakibatkan pecahnya Gereja menjadi dua arus utama, yakni Gereja barat dan Gereja timur. Di barat, berkembang Gereja Katolik Roma, sedangkan di timur berkembang Gereja ortodoks Timur dan beberapa Gereja lainnya. Gereja Ortodoks Timur cenderung menganut teologi Irenaeus, Athanasius dan teologi Cyrillus dan mereka masih memakai tata Gereja lama dengan berpegang pada sistem episkopal yang mana Gereja dipimpin oleh Patriarkh Konstantinopel, tapi hanya memegang kehormatan utama. Hingga kini Gereja ini masih terdengar mendiami daerah timur tengah sekarang, walaupun sebahagian dari mereka tidak terdengar lagi. Sedangkan dalam Gereja Katolik Roma pucuk pimpinan ada di tangan Paus yang membawahi uskup-uskup. Teologi yang cenderung mereka adopsi ialah teologi Tertullianus, Augustinus. Dalam hal isi teologi, teologi barat berkisar soal-soal dosa dan rahmat, sedangkan timur berkisar soal-soal kefanaan dan ketidakfanaan. Di Gereja barat, Ambrosius adalah salah seorang tokoh yang sangat penting yang mewakili pikiran barat mengenai hubungan Gereja dan negara. Gerakan pembaharuan yang dilakukannya menjadi sangat berguna bagi gereja selanjutnya. Ia beberapa kali menentang kasar-kaisar yang melawan kehendak Allah, terutama karena kebijakan dan campur tangan kaisar atas Gereja.
Demikianlah sejarah Gereja tersebut menjadi dua keompok besar, yakni Gereja barat dan Gereja Timur. Dalam perkembangannya, Gereja Barat lebih berkembang jika dibandingkan dengan Gereja Timur, baik dalam jumlah anggotanya maupun pergerseran Teologianya dikemudian hari. Gereja timur tetap bertahan hingga kini walaupun dalam jumlah yang sedikit. Sedangkan Gereja barat terus mengalami perkembangan bahkan juga mengalami perpecahan dikemudian hari, di mana lahirlah apa yang dinamakan dengan gerakan reformasi. Gereja barat, yakni gereja yang kemudian dikenal dengan Roma Katolik (RK) berpusat di Roma.








































           
SEJARAH GEREJA REFORMASI (PROTESTAN)
(Gereja Lutheran Dan Gereja Calvinis)

  1. Latar belakang lahirnya Gereja Reformasi (Protestan)
            Setelah terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni Gereja barat (Roma Katolik) dan Gereja timur (Gerika), Gereja Tuhan terus menerus diperhadapkan pada berbagai macam pemikiran teologi yang berbeda-beda di kalangan Teolog atau bapak-bapak Gereja. Hal itu juga terjadi di tubuh Gereja Katolik Roma yang dahulu disebut dengan Gereja barat. Pemikiran Teologi tersebut biasanya dikenal dengan istilah ”gerakan pembaharuan” dalam Gereja.
            Demikian juga halnya dengan lahirnya Gereja reformasi. Gerakan pembaharuan ini bermula dari gerakan yang digagas oleh  John Wycliffe (1329-1384) di Inggris dan Yohannes Hus (1373-1415) di Bohemia[10]. Tetapi gerakan reformasi ini barulah resmi dilakukan oleh Marthin Luter. Marthin Luther semula adalah seorang rahib (biarawan) di Gereja Katolik. Tetapi berkat pendalamannya atas Alkitab, dia kemudian berbeda pendapat dengan Gereja Katolik mengenai konsep keselamatan. Yang menyebabkan timbulnya Gereja Reformasi ini ialah perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab. Peristiwa yang membuat reformasi itu mulai salah satunya ialah karena penjualan surat-surat penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel[11]. Walaupun demikian, sebenarnya ada beberapa hal yang mengakibatkan lahirnya Gereja Reformasi, yakni antara lain:
  1. Di Bidang Kerohanian atau Di Dalam Kehidupan Gereja
            Sistem kepemimpinan yang berlaku di Gereja Katolik telah berakibat pada penguasaan para uskup Roma Katolik yang kemudian disebut ”Paus” baik atas Gereja itu sendiri dan juga atas negara. Selain itu, ada juga berbagai bentuk ajaran gereja yang baru yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik yang tidak hanya bersumber dari Alkitab melainkan juga dari tradisi. Ajaran itu antara lain ialah ajaran yang mengatakan bahwa Paus berkuasa menentukan keselamatan manusia dan dalam upaya memperoleh keselamatan tersebut manusia harus ikut berperan dalam bentuk beramal atau berbuat baik, dalam arti tidak cukup mengandalkan iman dan kasih karunia.
  1. Di bidang sosial politik
Pada masa itu cita-cita persatuan semua orang Kristen di bawah kepemimpinan Paus sudah semakin memudar. Karena timbulnya semangat persamaan hak politik di seluruh Eropa. Setiap raja mulai mengatur sendiri daerah kekuasaannya dan tidak mau lagi mengakui penguasaan Paus atas rakyatnya demikian juga dengan kekuasaan kaisar.
  1. Di Bidang Kebudayaan
abad ke-15 di Eropa telah muncul semangat renaisance, yakni semangat untuk kembali ke kejayaan masa lalu dan untuk itu perlu menggali sumber-sumber dan menemukan kekayaan masa lalu sekaligus mengembangkannya dalam bentuk-bentuk baru. Termasuk untuk menggali kembali mendalami Alkitabdalam bahasa ibrani maupun Yunani.
  1. Di Bidang Ekonomi
Di bidang ekonomi, Eropa barat masa itu mengalami perkembangan yang pesat sehingga bermunculanlah orang-orang kaya yang mendirikan industri-industri besar.    
Dari semua alasan di atas, penyebab mendasar timbulnya reformasi adalah karena perbedaaan antara ajaran dan praktek Gereja Katolik Roma dengan ajaraan Alkitab. Sekali lagi penjualan surat penghapusan siksa kemudian menjadi pemicu reformasi di dengungkan oleh Luther yang dimulai dengan menyusun 95 dalil dan menempelkannya di pintu Gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517. Dalil-dalil tersebut merupakan ungkapan pergumulan dan pengalaman Luther sendiri. Setelah membaca dalil-dalil tersebut, kemudian banyak orang yang tertarik dan menggandakannya serta menyebarluaskannya ke segala penjuru.

  1. Pokok-pokok Ajaran Luther
Firman dan Sakramen adalah kata-kata kunci dalam kehidupan gereja-gereja Lutheran. Bagi Luther, kebenaran dan keadilan Allah bukan terletak pada ganjaran yang setimpal atas setiap perbuatan manusia, melainkan pada pengampunan yang Ia karuniakan pada orang berdosa sebesar apapun dosanya. Manusia dibenarkan oleh karena iman (Sola Fide), oleh kasih karunia (Sola Scriptura) dan Sola Scriptura (Firman Tuhan, dalam hal ini Alkitab). Berdasarkan penelitiannya atas Alkitab, Luther menemukan bahwa hanya ada dua sakramen yang punya dasar Alkitab dalam arti yang ditetapkan oleh Kristus sendiri. Karena itu, menurut Luther, Firman dan Sakramen harus merupakan pusat kehidupan gereja atau umat Kristen.
Menyangkut jabatan dan tata gereja, Luther menemukan dalam 1 Petrus bahwa secara hakiki tidak ada pemisahan antara kaum klerus (Imam) dengan jemaat biasa. Bagi Luther, semua orang sama di hadapan Kristus. Semua orang adalah imam atau yang dikenal dengan ”Imamat Am Semua Orang Percaya”. Demikian juga halnya dalam hal tata ibadah, Bagi Luther, pusat dari ibadah adalah Pemberitaan Firman, berbeda dengan konsep pada Gereja Katolik yakni perjamuan kudus.
Walaupun menghadapi serangan dari Gereja Katolik, Gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Luther ini, kemudian berkembang pesat dan tersebar di mana-mana yang mengakibatkan lahirnya Gereja Protestan. Bukan hanya di Jerman, tetapi juga ke Eropa Barat seperti halnya ke Swis, Belanda dan tempat-tempat lainnya.
            Setelah Luther melakukan gerakan pembaharuan di dalam Gereja yang berakibat pada berdirinya Gereja Protestan yang kemudian disebut dengan Lutheran, kemudian lahir pula gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Johanes Calvin yang mengakibatkan lahirnya Gereja reformed yang kemudian dikenal dengan nama Gereja Calvinis.

  1. Reformasi Calvin
Johanes Calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 di Noyon  Perancis. Ia adalah anak kedua dari pasangan Gerard Calvin dan Jeane Le Franc. Nama asli adalah “ Jean Cauvin” nanti di kemudian hari sesuai dengan kebiasaan kaum berpendidikan dilatinisasi menjadi “ Calvinus” Ayahnya bekerja sebagai pegawai Uskup Noyon, dan karena itu mereka mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga bangsawan di Noyon. Sungguh malang nasib Calvin kecil, usianya baru tiga tahun ibunya sudah meninggal. Warisan kasih yang tidak dialaminya rupanya turut mempengaruhi perkembangan   kepribadiannya yang amat  serius dan disiplin 2.   Tidak lama kemudian ayahnya menikah lagi. Tentang perlakuan ibu tirinya itu tidak banyak diketahui. Hanya diketahui ia diperlakukan seperti orang dewasa oleh ibu tirinya. Dalam arti bahwa jika ada kesalahan yang dilakukannya ia pasti dihukum.
Menurut  Calvin (demikian juga Luther), keselamatan itu semata-mata pemberian Allah sola gratia, yakni hanya karena kasih karunia dan diberikan kepada orang yang menyerahkan diri dalam iman sola fide kepada Allah yang rahmani. Akan tetapi menurut mereka, Gereja Katolik Roma, telah mulai bertindak seakan-akan Allah telah memberikan hak untuk membagikan keselamatan kepada gereja. Pemberian keselamatan kemudian diikat kepada bermacam-macam syarat; Perbuatan-perbuatan baik atau amal, sumbangan-sumbangan yang wajib, ziarah-ziarah dan lain-lain. Demikianlah kebenaran Allah diganti dengan ketidak-benaran manusia20.
Sakramen-sakramen tidak dilayani lagi sebagaimana ditetapkan oleh Kristus. Jumlah sakramen ditambahkan, sehingga dari dua menjadi tujuh. Khusus Perjamuan Kudus yang lazim disebut Ekaristi atau Misa, telah menjadi kebalikan dari apa yang ditentukan Kristus. Sakramen ini tidak dilihat lagi sebagai tanda kelihatan yang menunjuk pada pengorbanan Kristus di Salib dan keselamatan yang diperoleh bagi orang percaya di sana. Menurut ajaran Gereja Katolik Roma yang berkembang pada abad Pertengahan, Misa adalah pengulangan korban Kristus, yang dilaksanakan oleh pelayanan gereja untuk menyalurkan keselamatan kepada mereka  yang   menerima roti dan anggur. Sekaligus merupakan ajaran gereja bahwa roti dan anggur telah secara ajaib menjadi tubuh dan darah Kristus, sehingga patut disembah oleh orang-orang percaya. Menurut paham kaum Protestan ini adalah penyembahan berhala yang patut dijauhi. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Perjamuan Kudus, oleh Calvin ketika berada di Jenewa dan Strassburg mendapatkan penekanan yang penting dan hati-hati.
Karena dalam Gereja Roma, Firman Allah telah diganti oleh ajaran manusia dan ibadah benar telah menjadi penyembahan berhala, maka Gereja ini menurut Calvin, merosot sampai tidak dapat disebut gereja lagi22. Oleh sebab itu orang-orang percaya  harus menjauhi gereja Paus dan mencari gereja yang melanjutkan Gereja Para Rasul. Usaha kaum Protestan adalah membangun kembali gereja ini. Dalam arti bahwa melanjutkan Gereja Perdana yang dipelopori oleh para Rasul.
Dengan demikian Calvin sekaligus membantah tuduhan Gereja Roma bahwa orang-orang Protestan telah memisahkan diri dari gereja (sama seperti Luther). Yang memisahkan diri adalah pengikut-pengikut Paus. Mereformasikan gereja sesuai dengan firman Allah adalah memulihkan kembali keesaan dan katolisitas gereja yang diakui dalam Pengakuan Iman Rasuli.
Untuk menghadapi kemerosotan gereja yang telah terjadi, dan yang dalam pemahaman Calvin telah mengakibatkan kemerosotan seluruh kehidupan masyarakat Kristen di Eropa Barat, maka gereja harus diatur sedemikian rupa sehingga menjadi kembali sebagaimana dikehendaki Allah. Dalam Institutio (IV. I) ia menjelaskan bagaimana gereja dimaksudkan oleh Allah. Gereja yang benar adalah gereja yang memberitakan firman Allah berdasarkan Alkitab saja (Sola Scriptura, azas reformasi ketiga di samping Sola Gratia dan Sola Fide) dan melayani sakramen-sakramen yang ditetapkan oleh Kristus. Hanya gereja yang melayani Firman dan Sakramen-sakramen sesuai dengan kehendak Allah, dapat menjadi sarana “yang dengannya Allah mengundang kita untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Kristus dan membuat kita tetap menjadi anggota-Nya”. Dari cita-cita teologis mengenai gereja yang benar ini, dapat dilihat apa yang menurut Calvin diperlukan oleh gereja. Pertama-tama anggota gereja harus mempunyai pengetahuan jelas mengenai ajaran iman Kristen yang benar, supaya mereka dapat memahami apa yang ditulis dalam Alkitab. Untuk itu Allah menetapkan dalam gereja pejabat-pejabat yang tidak merampas hak Allah untuk memberikan keselamatan, melainkan sungguh-sungguh mendidik anggota-anggota gereja dalam kebenaran Ilahi. Selain itu gereja membutuhkan Tata-Gereja, supaya gereja mampu melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh Allah dengan baik dan mandiri. Akhirnya gereja harus membina kehidupan anggota-anggotanya sedemikian rupa sehingga mereka mulai hidup lebih sesuai dengan kebenaran yang diyakini mereka. Untuk itu menurut Calvin diperlukan disiplin atau siasat gereja, yakni suatu prosedur untuk mengawasi kelakuan hidup para anggota gereja dan – kalau perlu – menindak mereka yang tidak mau dibina.
  • Munculnya Calvinisme : Interpretasi Para Pengikut Calvin
Program untuk mereformasikan gereja di Jenewa oleh Calvin dirumuskan dengan jelas dalam “Ordonancestiques” (Tata-Gereja) yang ditulisnya di saat dia kembali dari Strassburg. Tiga hal yang mencolok dalam Tata-Gereja tersebut adalah :
Pertama-tama, tugas yang diberikan oleh Allah kepada gereja yaitu memberitakan firman, melayani sakramen-sakramen, menggembalakan serta mengawasi anggota-anggota jemaat dan memelihara orang sakit dan miskin. Untuk menjalankan tugas-tugas itu, dalam Tata-Gereja yang disusun Calvin memakai empat jabatan gereja. Jabatan pertama adalah Pendeta atau Gembala, untuk menjalankan pemberitaan firman dan melayani sakramen-sakramen. Jabatan kedua, yakni Penatua yang mengawasi – bersama para pendeta -, kehidupan anggota-anggota jemaat. Jabatan ketiga yakni Diaken atau Syamas yang diberi tugas untuk mengurus mereka yang membutuhkan bantuan seperti orang sakit dan miskin.  Sedangkan jabatan yang keempat adalah jabatan pengajar, yang kemudian dalam tradisi Calvinis tidak dibedakan lagi sebagai jabatan khusus, tetapi merupakan pertanda bahwa pengajaran bagi Calvin sangat penting. Jabatan pengajar atau Doctores ini berfungsi untuk berupaya agar gereja memelihara pendidikan teologia secara sungguh-sungguh26. Demikianlah diatur dengan jelas tugas mana, dilakukan oleh siapa, sehingga bahaya dari segi-segi pelayanan gereja diabaikan, menjadi lebih kecil.
Pendeta-pendeta dan Pengajar-pengajar bersama-sama merupakan “Perkumpulan Kehormatan” yang antara lain memanggil pendeta-pendeta baru. Pendeta-pendeta dan Penatua-penatua bersama-sama merupakan “Konsistori” yaitu Majelis Gereja yang memimpin jemaat dan yang menjalankan disiplin. Dengan peraturan itu, di Jenewalah untuk pertama kali diwujudkan azas pemerintah sendiri oleh sidang jemaat, yakni susunan jemat secara Presbyterial. Inilah ciri khas pembaharuan yang dilaksanakan Calvin di Jenewa. Sistem inilah kemudian yang menjadi ciri khas kebanyakan Gereja-gereja Calvinis.
Akan tetapi dengan menjalankan organisasi Presbyterial itu, Calvin menghendaki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yakni pemerintah mutlak dari Kristus sendiri di dalam Gereja-Nya. Kristokrasi itu adalah selamanya yang menjadi maksud dan tujuan Calvin dalam segala usahanya; Tuhanlah satu-satunya pemerintah gereja-Nya (Theokrasi). Theokrasi dalam arti menempatkan Tuhan Allah sebagai yang berkuasa dalam gereja. Oleh sebab itu para pelayan gereja harus tunduk pada kekuasaan Tuhan Allah dengan melaksanakan Firman-Nya; dan oleh karena itu juga gereja tidak boleh sekali-kali berlaku dan mengaku sebagai penguasa.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah bahwa pejabat-pejabat tadi diangkat melalui prosedur yang teratur, secara khusus ditetapkan bahwa calon-calon Pendeta harus diuji untuk melihat apakah kehidupan mereka sesuai jabatan yang diinginkan dan apakah mereka memeluk ajaran yang benar? Baru sesudah itu mereka dapat diusulkan untuk diangkat. Dengan demikian terjamin bahwa seseorang tidak mulai bekerja di gereja hanya atas kemauannya sendiri, dan bahaya atas semuanya itu bisa dihindari. Walaupun keterlibatan anggota-anggota jemaat dalam pengangkatan jabatan pejabat di Jenewa masih sangat kecil-mereka hanya bisa menyetujui Dewan Kota-namun petunjuk-petunjuk yang disusun Calvin itu di kemudian hari, dapat dipakai sebagai pegangan untuk pemilihan pejabat-pejabat atau para pelayan oleh jemaat sendiri.
Hal ketiga yang mencolok dalam Tata-Gereja Jenewa, yang berhubungan dengan pokok pertama tadi adalah bahwa para pejabat tidak melakukan tugas mereka masing-masing secara sendiri-sendiri, tetapi bertanggung jawab bersama-sama atas tugas yang dipercayakan kepada mereka. Untuk itu mereka dikumpulkan dalam majelis-majelis. Para pendeta membentuk perkumpulan pendeta untuk saling mengawasi kehidupan, menelaah Alkitab dan mendiskusikan pokok-pokok ajaran yang menimbulkan pertikaian di antara mereka. Pendeta-pendeta dan para penatua membentuk Majelis Gereja atau Konsistori yang diberi tugas untuk memelihara keteriban dalam jemat. Ketertiban yang dimaksud di sini bukan terutama ketertiban secara organisatoris (sebab itu diatur dalam Tata-Gereja) melainkan keterlibatan hidup para anggota jemaat atau disiplin. Konsistori atau Majelis Gereja yang dikemudian hari dalam Gereja-gereja yang mengikuti Tata-Gereja Calvin diperluas dengan para Diaken, merupakan dasar kemandirian gereja, sebab di sini gereja mengatur kehidupannya sendiri melalui perundingan bersama para pelayan.
Unsur penting dalam rencana Calvin untuk mereformasikan gereja dan dalam Tata-Gerejanya, adalah Disiplin atau siasat gereja. Disiplin dibutuhkan menurut Calvin, untuk menjadikan gereja yang merosot dalam Abad Pertengahan, sedikit lebih baik. Tidak cukup untuk kembali ke ajaran  yang benar saja kalau usaha untuk mereformasikan gereja tidak disertai dengan usaha untuk membenahi kehidupan orang percaya – supaya mereka tidak hanya mengaku iman yang benar, tetapi juga hidup dari iman yang benar -, maka Reformasi hanya dapat berhasil setengahnya31. Untuk menjamin bahwa gereja tidak hanya dalam teori saja, tetapi juga secara Kudus menurut ketetapan Kristus, maka perlu gereja merayakan Perjamuan Kudus menurut ketetapan Kristus, amat perlu gereja sendiri melatih dan membina anggota-anggotanya dalam kehidupan iman.
Disiplin lebih dari penggembalaan, sebab juga mencakup tindakan-tindakan terhadap mereka yang tidak mau digembalakan. Kalau teguran secara pribadi tidak berhasil, maka perkara dapat dibawa ke Majelis Gereja. Majelis Gereja dapat memutuskan untuk melarang orang agar tidak ikut serta dalam Perjamuan Kudus untuk waktu tertentu, bahkan mengeluarkannya dari persekutuan gereja (ekskomunikasi), kalau semua tindakan-tindakan sebelumnya tidak berhasil32. Dengan demikian gereja membantu anggota-anggotanya untuk dapat memperoleh bagian dalam keselamatan Allah, yang diberikan kepada mereka melalui pelayanan Firman dan Sakramen-sakramen.
Calvin tidak membatasi diri pada pembaharuan gereja semata. Pekerjaannya sangat luas dan mendalam, sehingga ia boleh dikatakan sangat radikal dalam pembaharuan gereja. Bidang-bidang seperti pemerintah dan kemasyarakatan, ekonomi, kebudayaan, tak ketinggalan dan dibaharuinya pula.
Setelah mengetahui porgram-program Reformasi Calvin dan Eklesiologi yang dibangunnya ketika berada di Jenewa, maka muncullah suatu pertanyan yang penting dalam pokok ini, yakni: sejak kapan persisnya pengikut-pengikut Calvin itu disebut sebagai  aliran yang dinamakan Calvinisme?, atau tegasnya kapan kiranya muncul aliran yang disebut Calvinisme itu? Ada beberapa pendapat di bawah ini yang bisa kita pertimbangkan untuk menjawab pertanyaan tersebut :
Pertama Christian de Jonge34, mengungkapkan bahwa Swiss dan Perancis adalah tempat untuk pertama kalinya terbentuk jemaat-jemaat pengikut Calvin. Dengan diterimanya Pengakuan Iman (Konfesi Helvetik Jenewa I 1536) dan Tata-Gereja yang dirancang oleh Calvin pada sidang Sinode Pertama Gereja-gereja Reformasi di Perancis pada tahun 1559, di situlah Gereja Protestan di Perancis benar-benar bercorak Calvinis35. Dengan demikian menurut de Jonge, pada saat itulah lahir dalam gereja aliran yang disebut Calvinis.
Kedua, Van den End menyebutkan bahwa setelah didirikannya Akademi di Jenewa pada tahun 1559 (artinya dengan tamatan-tamatan Akademi dari berbagai negara yang menyebarkan ajaran Calvin) maka menjadi tersebarlah dan nyatalah ciri khas Calvinis itu. Dengan demikian lahirlah gereja-gereja Calvinis di luar Swiss; di Prancis, Balanda, Skotlandia, Jerman Barat, Polandia, Hongaria, Inggris, dan lain-lain. Dengan demikian menurut Van den End, kelahiran gereja Calvinis itu menjadi nyata setelah perkembangannya dari Jenewa (Swiss).36
Ketiga, Berkhof dan Enklaar mengemukakan bahwa dengan diberlakukannya dan disahkannya oleh Dewan Kota Jenewa tahun 1541, Tata-Gereja (Ordonnances Ecclesiastiques) yang di dalamnya memuat  sistem Presbyterial dan yang terkenal dengan jabatan-jabatan gerejawinya, maka di Jenewalah untuk pertama kali diwujudkan “azas pemerintahan sendiri” dari ajaran-ajaran yang ditanamkan oleh Calvin. Dari sini, Berkhof dan Enklaar mulai menyebut pengikut Calvin itu sebagai suatu aliran yang dinamakan Calvinis37.
Keempat, versi lainnya namun hampir sama dengan Berkhof dan Enklaar adalah menurut Helwig. Ia menyimpulkan bahwa, sejak kedatangan Calvin yang kedua kalinya di Jenewa pada tahun 1541, di saat itulah juga para pengikut Calvin disebut sebagai golongan Calvinis. Bahkan menjadi lebih nyata lagi ketika dibentuknya suatu organisasi gereja (yang dimaksud adalah Tata-Gereja denga sistem Presbyterialnya) di Jenewa, dan di situ menjadi nyata ciri khas aliran Calvinisme itu38.
Dari pendapat-pendapat yang dikemukakan tadi, disadari bahwa tidak ada kesepakatan untuk menentukan kapan persisnya Calvinisme itu lahir dan menjadi suatu aliran dalam gereja. Namun jika kita menganalisanya dari sudut organisasi, artinya bahwa ciri khas suatu gereja dapat dilihat dari organisasi dan ajarannya, maka tahun antara (1536-1541) tahun yang paling dekat untuk kita sebut sebagai “kemungkinan” munculnya aliran Calvinisme.
  • Perkembangan Aliran Calvinisme Selanjutnya.
Dibandingkan dengan Lutheran, aliran Calvinisme Reformed punya sejarah dan perkembangan yang jauh lebih rumit. Karena itu perlu uraian khusus untuk disajikan. Pada kesempatan ini hanya dikatakan secara singkat bahwa, jemaat-jemaat Protestan pengikut Calvin pertama terbentuk di Swiss dan Perancis. Pada tahun 1559, telah berlangsung sidang Sinode pertama Gereja Reformed Prancis. Di situlah diterima Pengakuan Iman dan Tata-Gereja yang dirancang Calvin, sehingga Gereja Protestan di Perancis benar-benar bercorak Calvinis. Pada tahun-tahun berikutnya jemaat-jemaat di Perancis ini, yang dikenal dengan nama Kaum Hugenot39 mengalami penghambatan dari pihak pemerintah yang Katolik. Puncaknya terjadi pada suatu peristiwa yang dikenal dengan nama Malam Pesta St. Bartolomeus (23-24 Agustus 1572) dimana sekitar 30.000 orang Protestan terbunuh.
Setelah Edik Nantes yang diterbitkan Raja Henry IV tahun 1598. Di situ sempat ada masa toleransi; tetapi tak beberapa lama, terutama sejak Raja Louis XIV membatalkan edik itu pada tahun 1685, kembali lagi terjadi penghambatan sampai diberitakannya konstitusi 1795 (sebagai produk Revolusi Prancis, 1789) yang menjamin kebebasan beragama.
Perkembangan yang sangat pesat justru berlangsung di Belanda. Jemaat-jemaat Protestan Calvinis terbentuk segera setelah Calvin membentuk jemaat di Jenewa. Selanjutnya menyusullah perang agama yang mengakibatkan terbaginya negeri itu menjadi dua ; Belanda Reformed dan Belgia yang Katolik Roma. Pemisahan itu dituntaskan tahun 1579 oleh Pangeran Willem Van Oranje-Nassau yang Calvinis, yang mengakibatkan munculnya kelompok yang dianggap sesat, lalu dikucilkan (atau memisahkan diri) yaitu pengikut Jacobus Arminius yang kemudian dikenal dengan nama kaum Arminian (pertikaian ini, terutama menyangkut ajaran tentang Predestinasi).
  • Titik Tolak Teologi (ajaran ) Calvin Tentang Gereja.

1. Hakekat Gereja
Penemuan Luther yang menjadi titik tolak Reformasi, bahwa orang berdosa mendapat pengampunan hanya karena kasih karunia dari Allah saja, memberi kepada Calvin pemahaman yang baru mengenai gereja. Gereja tidak lagi dipahami seperti oleh Gereja Katolik Roma, terutama merupakan lembaga yang membagikan keselamatan Allah kepada oang-orang percaya. Menurut Calvin, gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih karunia Allah di dalam Kristus,  yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan orang berdosa12. Di sini Calvin melihat gereja sebagai sarana yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang percaya untuk membina dan memelihara mereka  dalam iman. Sarana pemberian Allah ini sekali-kali tidak boleh diremehkan manusia, seakan-akan ia mampu memelihara hidupnya dalam kebenaran iman13.  Bagi Calvin tanda-tanda gereja yang benar adalah Firman Allah harus dikhotbakan dan Sakramen-sakramen dilayankan secara  benar. Dalam bahasa lainnya gereja yang benar ditemukan ketika  Injil secara benar diberitakan14. Kesetiaan kepada Firman Allah-lah yang menentukan sampai di mana gereja-gereja yang kelihatan betul-betul gereja yang diakui dalam Pengakuan Iman Rasuli.

2. Gereja yang Am dan Kudus
Calvin sangat menekankan pengudusan atau “santificatio”. Menurutnya, orang-orang yang telah dibenarkan karena Kristus harus mencoba hidup sesuai dengan kehendak Allah. Mereka harus memuliakan nama-Nya dengan kehidupan yang baru. Untuk itu perlu kehidupan orang-orang berdosa dikuduskan oleh Roh Kudus. Gereja yang adalah persekutuan orang-orang kudus  menurut Calvin haruslah menekankan pentingnya kesucian hidup15 . Gereja harus menggambarkan perbuatan Allah yang adalah kudus.
Selanjutnya, - menurut Walker – Calvin lebih mengutamakan ke-Am-an gereja dari pada semua reformator lainnya.
Gereja itu harus dinamakan “Am”. Sebab tidak mungkin didapati dua atau tiga gereja tanpa membuat Kristus terbagi. Suatu hal yang mustahil …semua adalah satu tubuh, di bawah satu kepala. Mereka benar-benar dibuat menjadi satu, karena mereka hidup bersama dalam satu iman, pengharapan dan kasih, oleh Roh Allah yang sama. Dan mereka terpanggil tidak hanya untuk menerima warisan yang sama yaitu hidup yang kekal, tetapi juga untuk memasuki persekutuan dengan satu Allah dan satu Kristus17

Calvin bercita-cita gereja Am selalu ada dalam proses pembaruan kembali semper reformanda. Ia ingin memulihkan sifat-sifat masyarakat Abad Pertengahan, yaitu kesatuan, kewibawaan dan ke-Am-an gereja. Dengan tanpa mengenal lelah, dia berusaha mencari jalan untuk mempersatukan   semua orang percaya kepada Kristus ke dalam satu persekutuan yang esa18.

3. Tata Gereja
Untuk mereformasikan gereja bagi Calvin tidak cukup hanya menentukan ajaran yang benar, yang seluruhnya sesuai dengan Firman Allah. Untuk itu perlu kehidupan gereja diatur kembali, supaya hal-hal yang salah dalam gereja boleh dihindari. Untuk mencapai tujuan ini maka Calvin menerbitkan Ordonances Ecclesiastiques (peraturan atau tata gereja) pada tahun 1541. menurut Calvin tata gereja merupakan kebutuhan yang urgen pada zamannya. Sebab tidak ada jalan lain kecuali menata kembali kehidupan gereja yang telah mengalami kemerosotan, supaya gereja benar-benar seperti yang dimaksudkan Allah: suatu persekutuan orang  yang mentaati Firman-Nya dan memuliakan nama-Nya dengan perkataan dan perbuatan19 .
Ada tiga hal yang mencolok dalam tata gereja yang disusun oleh Calvin. Pertama-tama tugas-tugas yang diberikan Allah kepada gereja, yaitu memberitakan Firman, melayani sakramen-sakramen, menggembalakan serta mengawasi anggota-anggota jemaat dan memelihara orang-orang sakit dan miskin, semuanya ini dipercayakan kepada empat jabatan. Pendeta atau Gembala memberitakan firman atau melayani sakramen. Sedangkan Penatua (dan juga Pendeta) secara bersama-sama  mengawasi kehidupan anggota-anggota jemaat. Selanjutnya Diaken atau Syamas diberi tugas untuk mengurus mereka yang memerlukan bantuan. Jabatan yang keempat, jabatan Pengajar, - kemudian dalam tradisi Calvinis tidak dibedakan lagi sebagai jabatan khusus - jabatan ini merupakan pertanda bahwa pengajaran bagi Calvin sangatlah penting.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah bahwa pejabat-pejabat ini diangkat melalui prosedur yang teratur. Secara khusus ditetapkan bahwa calon-calon pendeta harus diuji untuk melihat apakah kehidupan mereka sesuai dengan jabatan yang diinginkan  dan apakah mereka dapat diusulkan untuk diangkat.
Hal ketiga yang mencolok dalam Tata-Gereja Jenewa (seperti yang telah disentil tadi) adalah bahwa para pejabat tidak melakukan tugas mereka masing-masing secara sendiri-sendiri tetapi bertanggung-jawab bersama-sama atas tugas yang dipercayakan kepada mereka. Untuk itu mereka dikumpulkan dalam majelis-majelis yang dikenal dengan konsistori, yaitu Majelis Gereja, yang memimpin jemaat dan yang menjalankan disiplin.  Sistem peraturan ini dikenal dengan nama Presbiterial20 . Konsistori atau Majelis Gereja, yang kemudian hari dalam Gereja-gereja Calvinis diperluas dengan Diaken, merupakan dasar kemandirian gereja sebab di sini gereja mengatur kehidupannya sendiri melalui perundingan bersama para pejabat.
Dengan disusunnya Tata Gereja oleh Calvin pada tahun 1541 ia berharap supaya ada suasana sopan dan teratur dalam kehidupan gereja dan lebih dari itu, supaya iman orang percaya  lebih semakin bertumbuh21.
4. Jabatan Gereja
Menurut Calvin jabatan gereja atau pejabat-pejabat dalam gereja itu perlu. Ini bukan karena kehendak gereja atau manusia semata, tapi karena kehendak Allah sendiri. Allah berkenan memilih manusia (baca pejabat-pejabat ini) sebagai wakil-Nya. Ada beberapa alasan menurut Calvin kenapa Allah berkenan melaksanakan karya-Nya dalam gereja dengan memakai manusia dalam hal ini pejabat-pejabat dalam gereja.
Hal yang pokok adalah Dia sendiri yang menyatakan kesudiaan-Nya kepada kita karena di antara manusia dipilih-Nya mereka yang akan menjadi utusan-Nya di dunia ini. Kedua, dengan dipilihnya para pejabat dalam gereja, maka mereka dilatih untuk menjadi rendah hati. Sebab kuasa yang mereka terima adalah kuasa dari Allah, dan – lagi pula – jabatan yang mereka emban adalah jabatan kemitraan (saling melengkapi, saling mendukung). Di antara mereka tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Di sini Calvin sangat menolak hirarki jabatan  yang terdapat dalam gereja Abad Pertengahan.  Ketiga, jabatan dalam gereja itu diperlukan untuk memelihara gereja yang ada dalam dunia ini lebih dari sekedar cahaya dan panas matahari serta makanan dan minuman yang diperlukan untuk merawat dan memelihara kehidupan sekarang ini22
Dalam motivasi yang ia berikan di atas, Calvin menunjuk pada ungkapan “satu tubuh dan satu roh”. Dari Efesus 4: 1-16, dalam nas ini ia menekankan, bahwa pelayanan yang Allah gunakan dalam pemerintahanNya atas gereja adalah “urat” yang paling penting, yang menghubungkan orang-orang percaya dalam satu tubuh23. Gereja dapat terpelihara dengan baik, kalau ia didukung oleh alat-alat pembantu ini, yang di dalamnya Allah berkenan.
Dalam pembahasan tentang rupa-rupa jabatan, Calvin mengikuti urutan dari Efesus 4: pertama rasul-rasul, kedua nabi-nabi, ketiga pemberita-pemberita Injil, keempat gembala-gembala dan kelima pengajar-pengajar. Hanya kedua yang terakhir – yaitu gembala dan pengajar – mempunyai jabatan tetap dalam gereja Calvinis di kemudian hari.



Disiplin (siasat gereja)
Salah satu ciri khas Reformasi yang diperjuangkan Calvin dalam gereja adalah diterapkannya disiplin atau siasat gereja dengan ketat.  Disiplin yang disusun Calvin memang pertama-tama dimaksudkan untuk diberlakukan di jemaat Jenewa.  Belum terpikir olehnya untuk menyusun disiplin gereja dalam konteks gereja sedunia.

Menurut Calvin tujuan diterapkannya disiplin atau siasat gereja adalah untuk mempertahankan kesucian gereja sebagai persekutuan yang merayakan Perjamuan Kudus, supaya nama Allah tetap dimuliakan dan tidak dicemarkan24.
Di samping itu disiplin bertujuan melindungi orang-orang baik  di dalam gereja, supaya di satu pihak  akhlak mereka tidak dirusak oleh pergaulan dengan orang-orang jahat; dan di lain pihak orang-orang jahat itu harus didorong untuk bertobat,  melalui teguran dan khotbanya.
Bagi Calvin, disiplin bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan Perjamuan Kudus. Oleh sebab itu Perjamuan Kudus harus dijaga dengan ketat agar tidak diikuti oleh orang-orang yang mencemarkan nama Allah lewat perilaku mereka yang tidak pantas atau pun lewat ajaran sesat yang mereka anut. Jadi kesucian jemaat harus terus-menerus dipelihara, agar jemaat tetap layak merayakan Perjamuan Kudus.
Selanjutnya perlu juga ditekankan bahwa bagi Calvin disiplin berkaitan erat dengan santificatio (pengudusan). Dalam arti bahwa justificatio (pembenaran orang berdosa  oleh Allah) harus dijawab dengan kehidupannya yang penuh dengan ketaatan pada kehendak Allah, sebagai ungkapan syukur atas karunia Allah yang diberikan-Nya. Jadi disiplin gereja harus dipahami sebagai upaya memelihara pengudusan di dalam gereja, dan sebagai alat untuk mendorong warga gereja agar hidup dengan mengandalkan pembenaran Allah, seraya membantu mereka yang terancam menyimpang atau tersesat untuk kembali ke jalan yang benar.









































SEJARAH GEREJA DI INDONESIA

Garis-garis Besar Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia

  1. Sejarah Gereja Protestan di Indonesia berawal di Ambon pada tanggal 27 Pebruari 1605 ditandai dengan Ibadah syukur di Benteng Victoria Ambon dengan menggunakan tata ibadah dan ajaran Reformasi dengan moto ”Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura”.
                  Penginjilan dimulai dari Ambon dan sekitarnya oleh Pendeta-pendeta     Belanda yang menciptakan persekutuan Jemaat-jemaat dengan nama ”De         Protestantse gemeente”.
  1. Berdasarkan keputusan Raja Belanda, Willem I, no. 88 tanggal 11 Desember 1835, semua persekutuan jemaat dengan nama ”De Protestantse Gemeente” disaksikan di bawah pimpinan ”Hogere Kerkbenteuur”(pimpinan tertinggi di Gereja) dari De Protestantsche Kerk In Nederlandsch Indie (Gereja Protestan di Hindia Belanda). Keputusan tersebut dimuat dalam saatsblad no. 34 tahun 1844 di Indonesia.
  2. Dengan Staatsblad 1927 no. 155 Persekutuan umat Kristen berbahasa Belanda dan berbahasa Melayu dinyatakan sebagai ”Gereja” dengan Staatblad 1927 no.156 Gereja Protestan di Hindia Belanda dinyatakan sebagai gereja (Lembaga) memiliki Badan Hukum.
  3. Pada Sidang Sinode Am GPI tahun 1933 ditetapkan:
-         Pemisahan administrasi Negara dan Gereja
-         Penetapan jemaat-jemaat Protestan di Minahasa yang berdiri sendiri, Maluku, dan Timor sebagai Gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan GPI, seperti:
·        GMIM 30 Sept 1934
·        GPM 6 Sept 1935
·        GMIT 31 Okt 1935

A. Pendahuluan         
            Pada abad VII sebenarnya Injil telah tiba di Nusantara yang dibawa oleh penginjil-penginjil Nestorian. Menurut tulisan Shyakh Abu Salih al-Armini di Sumatera, tepatnya di Pansur, Barus terdapat gereja-gereja dan tempat-tempat pertapaan Kristen. Menurut data, terdapat 707 Gereja dan 181 tempat pertapaan[12]. Tetapi kemudian berita tentang Gereja-gereja ini lenyap dan tidak ada lagi terdengar tentang keberadaannya. Berita tentang kekristenan di Nusantara hilang sekian lamanya hingga abad ke- 16 MTahun 1511 Portugis berhasil merebut Malaka dan memasuki wilayah Asia tenggara sekaligus menyebarkan agama Kristen Katolik. Dari Malaka akhirnya Portugis melebarkan kekuatan politik dan ekonominya hingga ke kepulauan nusantara tepatnya ke wilayah timur Indonesia, tak ketinggalan juga penyebaran agama Kristen katolik yakni agama yang mereka anut.
Pada tahun 1558 Portugis meresmikan  keuskupan di Malaka yang pelayanannya meliputi  salah satunya Indonesia. Ternate[13]merupakan tempat pertama Portugis memulai usaha mereka di Nusantara. Selanjutnya misi pekabaran Injil mulai dilanjutkan ke tempat-tempat lainnya yaitu ke Ambon, Nusa tenggara timur (Flores) hingga ke Sulawesi utara.
           
B. VOC Memasuki Nusantara
            Setelah se- abad berkuasa di kepulauan Nusantara khususnya di bagian timur Indonesia, maka pada permulaan abad ke- 17, muncullah kekuatan baru yang bermusuhan dengan Portugis yaitu Belanda. Dengan dalil Mare Liberium[14],  Belanda melakukan pelayaran ke Nusantara dan  pada tahun 1600 tiba di Ambon. Kala itu orang Hitu yang dibantu masyarakat dari Jawa sedang berusaha mengusir Portugis. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda. Belanda menghadapi Portugis sebagai musuh. Permusuhan Belanda dengan Portugis di Nusantara sebenarnya merupakan kelanjutan permusuhan mereka di negeri Belanda karena Belanda adalah salah satu daerah jajahan Portugis kala itu.  Pada tahun 1602 Setelah menaklukkan Portugis, Belanda membentuk kongsi dagangnya yakni  Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Kongsi dagang ini bukan hanya mengurus dagang saja tetapi kepadanya diberi juga kuasa untuk mengatur pemerintahan di seluruh jajahan Belanda antara ujung  selatan Afrika dan ujung selatan Amerika selatan termasuk di dalamnya Indonesia. Berdasarkan surat izin berdagang[15] yang dikeluarkan oleh   pemerintah Belanda (1602) VOC memperoleh hak daulat atas daerah kekuasaannya dan karena itu mereka juga berkewajiban memperhatikan urusan-urusan  gereja. Dalam hal ini VOC adalah “negara“ yang dengannya gereja di wilayahnya harus berurusan. Walaupun VOC turut serta bertanggung jawab dalam kehidupan gereja, namun sudut pandang mereka ialah sudut pandang dagang. Di sini nampak bahwa VOC membiayai kegiatan gereja dan mengupayakan pekabaran Injil hanya dan untuk kemajuan usaha dagangnya. VOC seringkali mengambil langkah-langkah kompromistis dalam hal penyebaran agama demi kepentingan politik dan ekonominya. Pekabaran Injil, sebenarnya tidak dilakukan oleh VOC, malah hak campur tangan dalam masalah gerejani lebih ditekankan hanya untuk kepentingannya, bukan kepentingan gerejani[16].
            Tanggal 27 Februari 1605 adalah tahun istimewa bagi Gereja  Protestan di mana pada waktu itulah untuk pertama kali ibadah ala Kristen Protestan dilaksanakan di Nusantara bertepatan dengan berhasilnya Belanda menaklukkan dan mengusir garnisun Portugis dari Ambon yang dipimpin oleh Laksamana Van der Haghen. Benteng Portugis ini kemudian diberi nama Benteng Victoria[17]. Untuk memelihara iman orang-orang VOC di tempat ini Van der Haghen meninggalkan seorang guru agama yang mengadakan ibadah yang sederhana dan dia berwewenang untuk melayankan sakramen Babtisan kudus. Anak-anak orang Ambon yang diminta orangtua mereka untuk dibabtis, dilayani oleh guru agama tersebut. Peran Guru sangat berarti bagi perkembangan Injil selanjutnya. Anak-anak Ambon diajar membaca, menulis dan berhitung. Selanjutnya mereka di suruh menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli dan Dasa Titah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
            Abad ke- 17 dan ke- 18 Agama Kristen semakin meluas ke luar wilayah Ambon yakni ke Seram selatan, Aru, Tanimbar, dan kepulauan barat daya seiring dengan perluasan wilayah dagang VOC. VOC menancapkan kekuasaannya juga di beberapa daerah di luar Maluku, antara lain di Nusa tenggara timur dan ke utara Sulawesi. Di Manado, VOC mendirikan bentengnya pada tahun 1654. Di tempat ini sudah ada kelompok-kelompok  kecil orang Kristen yang adalah hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh orang Spanyol dan Portugis. Sama seperti di Ambon di Minahasa juga, orang-orang pribumi yang dulunya memeluk agama Katolik banyak yang pindah ke Protestan dengan berbagai alasan. Orang-orang Protestan tersebut dilayani oleh jemaat pusat Ternate di mana sudah ada Pendeta dan Majelis jemaat. Pendeta dari Ternate mengunjungi jemaat-jemaat di daerah Sulawesi utara walaupun sangat jarang.
`           Tahun 1663 Pdt. Yoannes Burum telah melayankan sakramen babtisan kepada anak-anak dan orang dewasa di Minahasa. Sesudah itu adalagi kunjungan Pdt. Jacobus Montanus pada tahun 1675. Kegiatan penginjilan di Minahasa telah berlangsung  sejak abad ke- 17 dan abad ke- 18 terbukti dengan adanya jemaat di Likupang dan pesisir timur Tondano. Walaupun pekerjaan penginjilan ini sempat terhenti, tetapi pada tahun 1817 Josep Kham yang dikenal sebagai Rasul Maluku itu datang di Minahasa walaupun dalam waktu yang tidak lama.
Tahun 1819 Pdt. D. Lenting melakukan penjajakan  terhadap pemenuhan  kebutuhan tenaga pekabar Injil melalui perkunjungannya di Minahasa[18]. Melalui penjajakan ini maka pada tahun 1822 Pdt. Lammers diutus ke Minahasa dan  ditempatkan di Kema dan tahun 1824 Pdt. Muller ditempatkan di Manado[19]. Kedua Pendeta ini tidak lama berdiam di Minahasa karena Pdt. Lammers jatuh sakit lalu meninggal dua tahun kemudian, sedangkan Pdt. Muller seringkali meninggalkan jemaat karena berbeda faham dengan pemerintah VOC. Pada Tahun 1827 di Manado ditempatkan Penginjil Jan Gerrit Hellendoorn sebagai pendeta[20]. Tidak lama sesudah itu, atas permintaan Hellendoorn maka tibalah dua orang penginjil Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) yakni pada tahun 1831. Sejak kehadiran NZG, gelombang pekabaran Injil semakin besar di Minahasa yang memungkinkan tersebarnya jemaat-jemaat di berbagai daerah di Minahasa dan malah dapat dikatakan bahwa sampai dengan pertengahan abad ke- 19 hampir seluruh Minahasa sudah mengenal Injil.
            Pada tahun 1815 Raja Willem I mendeklarasikan terbentuknya Indische Kerk[21] (Gereja Protestan Di Hindia Belanda). Jumlah anggotanya pada waktu diperkirakan 70.000 jiwa, 20.000 jiwa di antaranya adalah orang-orang Eropa dan peranakan, sedangkan 50.000 jiwa lainnya adalah orang-orang pribumi yang tersebar di Maluku, Minahasa, Sangihe dan Timor[22]. Kemudian pada tahun 1875 sampai dengan 1882 jemaat-jemaat hasil pekabaran Injil para Zendeling diserahkan kepada Indische Kerk (Gereja Protestan Di Hindia Belanda). Sebelumnya patut dicatat bahwa di Manado sendiri telah ada satu jemaat yang bernaung di Indische Kerk (Gereja Protestan di Hindia Belanda). Penyerahan jemaat-jemaat hasil pekabaran Injil para zendeling kepada Gereja Protestan di Hindia Belanda (Indische Kerk) dikarenakan kebangkrutan yang dialami  beberapa lembaga zending serta pengambilalihan kekuasaan Belanda atas gereja-gereja tersebut karena dirasa menguntungkan kekuasaannya[23]. Menurut Zakaria Ngelow, Gereja Protestan Di Indonesia adalah bagian dari lembaga pemerintahan kolonial di Indonesia. Para pelayannya adalah pegawai negeri, yang diangkat dan digaji oleh pemerintah, sehingga fungsinya kurang lebih hanya sebagai pegawai kantor urusan keagamaan Kristen[24]. Jemaat-jemaat yang diambil alih tersebut selanjutnya dilayani oleh para pendeta pembantu  yakni mereka yang dulu pekabar Injil di mana status mereka telah diubah. Karena kekurangan tenaga disebabkan pertumbuhan jemaat yang sangat signifikan maka dibutuhkan pendeta pembantu pribumi. Selanjutnya peran majelis jemaat juga turut membantu pelayanan para pendeta pembantu ini. Gereja di Minahasa kemudian diberikan keleluasaan untuk menjadi gereja mandiri dalam persekutuan Gereja Protestan di Indonesia tepatnya 30 September 1934. Kendatipun demikian Gereja Masehi Injili Di Minahasa (GMIM) masih tetap memegang aturan-aturan dalam GPI, termasuk pengakuan Iman yang diakui oleh GPI.










SEJARAH
GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA


I. Pendahuluan
            Jujur harus diakui bahwa minat orang-orang termasuk para pelayan Gereja terhadap apa yang disebut dengan ”sejarah” sudah semakin berkurang. Apakah hal ini disebabkan karena banyaknya hal-hal baru dalam kehidupan masa kini ataukah memang mereka menganggap bahwa sejarah itu tidak penting dengan alasan bahwa tokh juga tidak lagi bisa kembali ke masa lalu itu, hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Dengan mengetahui sejarah, secara khusus sejarah Gereja ini (GPID) diharapkan pelayan-pelayan Tuhan dapat mengetahui apa yang telah terjadi, yang sedang dan akan terjadi pada proses perjalanan gereja ini ke depan. Pengetahuan akan sejarah GPID seharusnyalah dimiliki oleh pelayan-pelayan GPID dan juga oleh semua warga GPID tanpa terkecuali, sebab sejarah GPID bukan hanya yang terjadi di masa silam, tetapi kelak semuanya akan menjadi sejarah baik kini dan nanti, dengan demikian mempelajari sejarah GPID kita sekalian juga dibekali bagaimana caranya mempertanggungjawabkan masa silam dengan membuat sejarah yang lebih baik pada masa yang akan datang. Tulisan singkat ini bersifat informatif,untuk itu dari kita masing-masing diajak untuk berefleksi sesuai dengan keberadaan GPID pada masa kini. Sebagaimana lazimnya penulisan sejarah, maka materi mengenai ”Sejarah GPID” ini akan dibagi dalam 3 periodisasi waktu, yakni:
1. Sejarah Kekristenan di Daerah Donggala 1900-1935
2. Sejarah Kekristenan di daerah Donggala tahun 1935-1964
3. Sejarah Gereja Protestan Indonesia Donggala tahun 1965-2003
            Walaupun secara umum, tapi paling tidak dengan mengetahui sejarah GPID ini, kita sebagai pelayan-pelayan Tuhan yang melayani di GPID memperoleh pengetahuan dan dapat lebih mengenal Gereja Tuhan ini.

II. Gereja Protestan Indonesia Donggala

A. Sejarah Kekristenan di Daerah Donggala 1900-1935
            Pada mulanya, sebelum adanya pemekaran-pemekaran daerah secara khusus di Sulawesi tengah, daerah yang meliputi Kabupaten Donggala, Sigi, Parimo dan kota Palu merupakan satu daerah pemerintahan yang dikenal dengan ”Daerah Donggala”. Daerah Donggala inilah yang kelak merupakan daerah di mana GPID melayani hingga masa kini.
            Sebenarnya, jauh sebelum kekristenan memasuki daerah Sulawesi tengah pada umumnya dan daerah Donggala pada khususnya, Agama Islam (ada yang mengatakan abad 10 adapula pertengahan abad ke-16 M) telah lebih dulu masuk dan menjadi agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk terutama yang berdomisili di pesisir pantai.
            Sejak abad ke- 16 Daerah Parigi pada dasarnya telah menjalin hubungan di bidang ekonomi dengan dunia luar. Pada catatan kaki yang ditulis oleh A. C. Cruyt yang diterjemahkan oleh S. Tobogu yang berjudul ”Sejarah Kerajaan Lokal Di Sulawesi” menjelaskan bahwa Portugis pertamakali menginjakkan kaki di Parigi pada tanggal 15 Januari 1515 tepatnya di Binangga. Portugis membawa armada perangnya dari Mindanao Philipina. Pada saat itu, Portugis gagal menaklukkan Binangga. Menurut Supri Na’a dan juga Hi. Hasim Marasobu, malah dicurigai bahwa raja Parigi yang pertama dilantik oleh seorang Portugis yang bernama Fransisco Le Sa yang melakukan pengembaraan ke Parigi pada tanggal 26 Desember 1517[25], walaupun data tersebut dibantah oleh banyak kalangan, namun dari sini dapat dicatat bahwa kemungkinan besar daerah Parigi telah dimasuki oleh negara luar jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda. Bahkan pertengahan abad ke- 17 Portugis telah memiliki sebuah gudang di Parigi. Kemudian gudang tersebut ditutup dan ditinggalkan pada tahun 1663. Kendatipun demikian hingga saat ini belum ditemukan bukti bahwa kekristenan telah pernah ada di daerah Parigi sebelum ekspansi Belanda. Kendatipun Belanda telah berkuasa di kerajaan Parigi sejak masa pemerintahan Magau Rajangguni (1880-1897), namun tidak pernah terdengar adanya pekabaran Injil kepada masyarakat setempat yang mayoritas telah beragama Islam.
Kedatangan orang-orang kristen dari daerah Sulawesi utara (Minahasa dan Sangihe) di Parigi berlangsung dalam beberapa periode dan latar belakang yang berbeda-beda. Selain karena ditugaskan oleh pemerintah Belanda termasuk para buruh kasar (± 1905), ada juga yang datang karena mengikuti program kolonisasi pada tahun 1909 yang diprakarsai oleh Belanda. Tahun 1910 ternyata orang-orang Rampi juga telah tersebar di daerah Parigi Moutong dan mereka telah beragama kristen protestan. Persekutuan kristen yang pertama kali di Parigi berawal dari kesadaran para pegawai pemerintah (orang-orang pribumi) untuk mengekspresikan iman mereka dalam kebaktian yang  berlangsung di rumah para pegawai tersebut. Setelah mendengar keberadaan orang-orang kristen di daerah ini, maka pada tahun 1915 datanglah badan-badan zending/penginjil seperti M. Larumpoa[26] tepatnya di daerah Teluk Tomini (wilayah utara Parigi Moutong). Pada tahun 1920 T. Bokau memulai pelayanannya di Sipayo. T. Bokau berhasil mendirikan jemaat di Spayo berkat hubungan yang baik dengan penduduk setempat. Selanjutnya tahun 1925 seorang zendeling yang datang dari Gorontalo yakni, Pdt. Pandelaki tiba di daerah Teluk Tomini untuk membantu pelayanan kepada jemaat-jemaat yang telah mulai tersebar di sana.
Kemudian dengan swadaya orang-orang Kristen yang ada di Parigi, maka kira-kira tahun 1919 berdirilah sebuah gedung Gereja di Parigi. Walaupun gedung gereja tersebut masih sangat darurat. Persekutuan ibadah ini semakin bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Tahun 1929 gedung gereja mulai diperbaiki menjadi lebih layak lagi, usaha ini dilakukan dengan swadaya jemaat yang ada. Namun setelah kurang lebih 10 tahun berdiri, gedung gereja tersebut rubuh dan sama sekali tidak dapat digunakan lagi, akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1938. Setelah keadaan berangsur-angsur pulih, maka gedung gereja yang barupun mulai dibangun tahun 1939 dengan swadaya jemaat dan ditahbiskan  tahun 1940.
            Di bagian utara Parigi, pada tahun 1915 tepatnya di Ongka[27] orang-orang Minahasa yang dikoordinir oleh Johan Supit dan Walter Lumentut tiba dan membuka pemukiman baru di sana. Mereka adalah transmigrasi spontan mandiri dari Remboken. Mereka ini juga telah beragama Kristen dari tempat asalnya, sehingga ketika tiba di Ongka mereka melangsungkan ibadah-ibadah.  Setelah Belanda mulai mengeksploitasi kekayaan alam di daerah Parigi maka para pekerja pribumi mulai ditempatkan di mana-mana. Di sepanjang pesisir pantai timur orang-orang Kristen semakin tersebar, terutama para buruh pekerja kayu hitam (ebony) yang dikelola oleh Belanda. Di daerah Sipayo misalnya pada tahun 1918 seorang guru jemaat bernama Tomas Marengkeng telah aktif melayani jemaat yang telah terbentuk[28]. Demikian juga halnya di Sidoan pada tahun 1922 juga berdiri gedung gereja. Warga jemaatnya kala itu adalah sebagian besar orang-orang Sangihe yang bekerja sebagai buruh pengangkut kayu hitam[29]. Mereka kemudian dilayani oleh penginjil yang bernama Pdt. Rumoka.  Pada tahun 1925 di daerah teluk Tomini (wilayah utara Parigi Moutong) Pdt. L. Pandelaki (dari Gorontalo) membantu pelayanan terhadap jemaat-jemaat yang mulai tersebar di sana. Untuk mengurus gereja-gereja tersebut, maka pegawai-pegawai Pemerintah Belanda menunjuk orang-orang pribumi menjadi pengurus gereja (majelis gereja). Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) kemudian bertanggung jawab melayani gereja-gereja protestan yang ada di daerah Donggala dan sekitarnya.
Selain orang-orang Kristen dari utara Sulawesi, ternyata daerah Parigi juga dimasuki oleh orang-orang Bali (1900-an) yang beragama Hindu. Orang Bali yang pertama kali datang di Parigi ialah mereka yang diasingkan oleh pemerintah Belanda dan dijadikan budak.

1. Kekristenan Di Donggala[30]
            Kota Donggala merupakan salah satu tempat masuknya penjajah Belanda di samping tempat-tempat yang lainnya. Letaknya yang strategis dan berada di pesisir pantai, membuat Belanda tertarik pada tempat ini. Diperkirakan bahwa Belanda telah membangun kantor-kantor pemerintahannya di tempat ini sekitar tahun 1900. Selain kantor pemerintah, Belanda juga membangun gudang-gudang penampungan hasil alam (terutama kopra) yang selanjutnya diangkut dengan armada-armada kapalnya melalui pelabuhan Donggala. Pada tahun 1900, Donggala telah menjadi sebuah kota pelabuhan yang ramai dan dihuni oleh orang-orang dari berbagai latarbelakang. Orang-orang Kristen (terutama orang-orang yang berasal dari Sulawesi utara) juga telah tiba di Donggala pada waktu itu. Selain sebagai pegawai pemerintah yang ditempatkan di daerah ini, dari antara mereka juga terdapat pegawai perusahaan-perusahaan dan buruh-buruh pada perusahaan-perusahaan tersebut. Para pegawai pemerintah yang mendapat tugas di Donggala, selanjutnya ditempatkan lagi keberbagai tempat, terlebih mereka yang berprofesi sebagai guru dan tenaga medis. Para pegawai pemerintah dan pegawai-pegawai perusahaan yang adalah orang-orang pribumi dari Minahasa dan Sangihe tersebut kemudian melangsungkan ibadah-ibadah sebab mereka adalah warga gereja dari tempat mereka masing-masing. Keterangan tentang kapan jemaat pertama terbentuk di Donggala sangat sulit ditentukan. Selain tidak adanya arsip-arsip gereja tentang hal tersebut, orang-orang yang mengetahui cerita tersebut telah tidak ada lagi. Namun berdasarkan tulisan pada batu nisan yang ditemukan pada kuburan orang-orang Kristen di Donggala, maka dapat diperkirakan bahwa orang-orang kristen telah ada di Donggala sebelum tahun 1910[31]. Persekutuan ibadah di Donggala dilaksanakan oleh para pegawai pemerintah yang pribumi dan berkebangsaan Belanda secara bersama-sama. Mereka dilayani oleh pelayan Indische Kerk yang datang dari Manado. Ada dua versi cerita mengenai berdirinya gedung gereja di Donggala. Versi yang pertama mengatakan bahwa gedung gereja yang pertama di Donggala adalah bekas gudang garam salah satu perusahaan VOC yang kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda dan versi yang kedua mengatakan bahwa gedung gereja di Donggala dibangun oleh pemerintah Belanda kemudian diserahkan kepada GMIM untuk dilayani setelah terjadi pemisahan administratif tahun 1935[32]. Dari Donggala, Injilpun mulai tersebar hingga ke daerah pantai barat seperti misalnya di daerah Tanjung yakni Walandano (tahun 1910), Lewonu dan sekitarnya. Hal ini dimungkinkan karena Belanda juga mulai memasuki daerah-daerah tersebut dalam rangka kepentingan ekonominya. Untuk mencapai daerah pantai barat tersebut khususnya di sekitaran Tanjung, maka Belanda menempuhnya melalui laut yang memang sangat dekat dari Donggala jika dibandingkan dengan perjalanan darat. Pada waktu itulah para pekerja (orang-orang Minahasa) mulai tersebar ke Walandano dan daerah di sekitarnya[33].
Tahun 1910 tercatat bahwa di Tibo orang-orang Rampi dan Seko yang datang merantau telah mulai membentuk persekutuan ibadah sehingga pada tahun 1927 mereka telah memiliki gedung gereja untuk dipakai beribadah[34]. Demikian juga di Kaliburu, sejumlah 150 keluarga yang merupakan pendatang mendirikan gedung gereja. Setelah itu, tahun 1930 seorang pendeta GPI datang dari Balikpapan untuk meresmikannya[35]. Demikianlah kekristenan dengan perlahan-lahan semakin tersebar ke berbagai tempat di daerah Donggala.  

2. Kekristenan Di Lembah Palu[36]
            Pada mulanya Lembah Palu bukanlah tempat yang penting bagi Belanda. Palu hanyalah sebuah tempat yang kurang ramai jika dibandingkan dengan kota Donggala. Akan tetapi ketika Belanda mulai mengekspansi daerah-daerah ke arah selatan kota Palu, maka Palu dirasa penting untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda. Untuk menjalankan roda pemerintahannya, maka diutuslah pegawai-pegawai ke Palu termasuk warga pribumi asal Minahasa dan Sangihe. Selain para pegawai pemerintah, ternyata ada juga orang-orang Minahasa yang datang di Lembah Palu dengan alasan merantau. Dari antara pegawai pemerintah tersebut, selain sebagai pegawai kantor, di antara mereka juga terdapat para guru, mantri dan para buruh. Mula-mula, pemerintah Belanda mendirikan kantor pemerintahannya di sekitar Maesa sekarang persisnya di dekat jalan Pattimura sekarang. Daerah Maesa yang ada sekarang di tengah kota Palu, dulunya adalah hamparan rawa yang luas yang terletak persis di tepi sungai Palu yang membagi dua kota Palu (Palu timur dan Palu barat). Karena sungai tersebut sering meluap, maka daerah Maesa itu digenangi oleh air dan menjadi tempat kodok. Itulah sebabnya nama ”Maesa” dulunya disebut ”kampung kodok”. Nama ”Maesa” sendiri nanti dikenal tahun 1951 setelah seorang dokter perempuan orang Minahasa bertugas di sana memberi nama atas tempat tersebut[37]. Dari antara orang-orang Minahasa dan Sangihe yang memasuki kota Palu mulai mengambil inisiatif memasuki daerah-daerah lain yakni ke arah selatan seiring dengan ekspansi Belanda di tempat-tempat tersebut[38]. Mengingat kota Palu telah menjadi pusat pemerintahan Belanda di daerah Donggala dan juga mengingat banyaknya orang-orang Kristen yang ditugaskan di Palu maka pemerintah Belanda menjadikan Palu sebagai Pos Pelayanan Indische Kerk, sehingga orang-orang Kristen tersebut mendapatkan pelayanan rohani. Ibadah-ibadah mulai dilangsungkan. Akan tetapi karena belum adanya gedung gereja, maka ibadah tersebut mula-mula dilangsungkan di pendopo milik pemerintah Belanda. Baik yang berkebangsaan Belanda maupun yang pribumi beribadah bersama di pendopo tersebut.
            Gedung gereja mulai berdiri di Palu diperkirakan tahun 1915, yakni setelah  beberapa tahun Belanda berkuasa di Palu. Pada dasarnya penduduk atau kerajaan Palu sendiri telah memeluk agama Islam jauh sebelum Belanda datang dan berkuasa. Mereka belum pernah sama sekali berjumpa dengan agama Kristen. Gedung gereja pertama yang berdiri di Palu adalah gedung gereja yang terletak di daerah Maesa sekarang. Kemudian hari Gereja tersebut diberi nama ”Banua Ntupu[39]. Pemberian nama ini ternyata mengandung muatan politis dengan maksud agar masyarakat setempat menghormati keberadaan gedung tersebut sebagai sebuah tempat suci atau sakral. Sebab penduduk Palu sebelumnya belum pernah berjumpa dengan kekristenan.







B. KEKRISTENAN DI DAERAH DONGGALA TAHUN 1935-1964

1. Daerah Donggala Dalam Pelayanan Gereja Masehi Injili Di Minahasa 
     (GMIM).

            Setelah mengalami persoalan yang dilematis mengenai hubungan gereja dan negara[40], akhirnya terjadilah pemisahan administratif antara gereja dan negara pada tahun 1935. Bahkan pada saat sidang raya GPI pada tahun 1933, persiapan untuk membangun gereja yang mandiri di Maluku dan di Minahasa sudah mulai berjalan. Walaupun pada sidang raya tersebut menyatakan bahwa pemisahan administratif antara gereja dan negara hanya dapat diterima jika hak atas bantuan finansial dijamin sepenuhnya, namun pada akhirnya sidang menjamin kelangsungan bantuan finansial dari kas negara, kendatipun memang pada akhirnya tuntutan ini hanya terpenuhi sebagian saja. Raja akhirnya mengumumkan pemisahan administratif antara gereja dengan negara dengan catatan negara tetap mengeluarkan dana dari kas untuk penggajian 43 pendeta, 31 pendeta pembantu dan 7 guru agama[41].
            Pada tanggal 1 Agustus 1935, akhirnya Gereja Protestan Di Indonesia bebas dari cengkeraman negara. Gereja itu menjadi gereja yang mandiri. Moment tersebut disambut dengan sukacita oleh hampir semua jemaat-jemaat Protestan. Gereja Masehi Injili Di Minahasa (GMIM) resmi dilembagakan menjadi gereja mandiri di bawah perwalian sejak tanggal 30 September 1934[42]. Karena pada waktu itu belum terjadi pemisahan administratif, maka Gubernur jenderal mengeluarkan surat keputusan khusus untuk membatalkan peraturan Am Gereja protestan sejauh menyangkut Minahasa. Selanjutnya, GMIM berada pada masa perwalian hingga pada tahun 1942. Orang-orang Minahasa yang adalah warga  GMIM yang berada di luar Minahasa ternyata membentuk jemaat-jemaat tersendiri yang termasuk GMIM, sesuai dengan peraturan Am Gereja Minahasa (1934). Khusus di daerah yang tidak terdapat gereja-gereja protestan lain, warga Minahasa mendirikan jemaat-jemaat baru bersama dengan orang-orang Kristen lainnya dari golongan suku yang lain. Hal ini juga terjadi di daerah Donggala termasuk Palu di dalamnya[43]. Jemaat-jemaat yang ada di daerah Donggala yang dibentuk oleh orang-orang Minahasa beserta suku-suku lainnya termasuk dalam pelayanan GMIM dan dibawahi langsung oleh Sinode GMIM, akan tetapi jemaat-jemaat tersebut tidak memperoleh hak untuk memilih anggota-anggota Sinode baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jemaat-jemaat GMIM di daerah Donggala semakin hari semakin berkembang terutama karena arus migrasi penduduk dari daerah Sulawesi utara dan dari daerah selatan Sulawesi dan juga dari luar pulau Sulawesi seperti dari Pulau Jawa dan Pulau Bali. Perkembangan jemaat-jemaat ini juga didukung oleh usaha pekabaran Injil kepada penduduk asli yang mulai dilaksanakan oleh pelayan-pelayan GMIM maupun warga jemaat.
Daerah Donggala dan dua daerah penginjilan GMIM lainnya (Gorontalo dan Toli-toli) sejak 1 Januari 1937 diserahkan oleh Gereja Protestan Di Indonesia (GPI) kepada GMIM untuk menjadi daerah penginjilan GMIM[44]. Sebenarnya, sebelum serah terima ini berlangsung, GMIM telah melayani jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala.

2. Pelayanan GMIM Di Daerah Donggala
            Jemaat-jemaat yang terbentuk di daerah Donggala pada umumnya adalah bagian dari jemaat GMIM sebab ketika para warga Minahasa (sebagian besar adalah warga GMIM) datang di daerah ini, belum ada satupun gereja maupun gereja Protestan lainnya. Orang-orang Protestan dari suku-suku lainnya yang berdiam di daerah Donggala bergabung dengan orang-orang Minahasa dan Sangihe dalam jemaat-jemaat yang dilayani oleh GMIM. Walaupun dalam keadaan keuangan yang sulit[45], GMIM tetap memperhatikan pelayanan dan juga penginjilan yakni dengan mengutus tenaga-tenaga pelayannya ke daerah Donggala. Dapat dicatat di beberapa tempat, GMIM mengutus para tenaga untuk melayani jemaat-jemaatnya seperti halnya di daerah Parigi Moutong, Donggala, Palu dan mulai melaksanakan pekabaran Injil ke daerah pedalaman Kulawi dengan pertimbangan bahwa di tempat ini telah terdapat warga Minahasa yang menjadi guru yang diperbantukan pemerintah kepada Bala keselamatan dan menjadi warga jemaat Bala Keselamatan dan masih adanya penduduk asli yang belum mendengar Injil Yesus Kristus.

3. Pelayanan GMIM Dibidang Pendidikan di Daerah Donggala
            Ketika GMIM melayani jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala, ternyata bidang pendidikan juga menjadi salah satu bagian pelayanan yang mendapat perhatian. Hal itu dibuktikan dengan usaha GMIM mendirikan sekolah-sekolah di mana terdapat jemaat. Hingga tahun 1940 GMIM masih mempunyai sekolah-sekolah rendah (sekolah dasar) seperti misalnya SD di Lemusa, guru yang dapat dicatat di sana ialah guru N. Laobasi, SD di Lumbumamara, guru waktu itu adalah guru gereja. Di Lonca juga GMIM pernah mendirikan sebuah Sekolah dasar[46]. Selain sekolah-sekolah dasar, GMIM juga pernah membuka sekolah kepandaian puteri (SKP) di Parigi. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menerima warga gereja saja, melainkan juga penduduk setempat yang beragama Islam. Hal inilah kemudian yang paling tidak menjadi sumbangsih yang sangat berharga bagi pembangunan sumber daya manusia penduduk di daerah Donggala.
             
4. Perkembangan Jemaat-Jemaat Di Daerah Donggala
            Pada awalnya, usaha untuk memberitakan Injil kepada penduduk asli di pedalaman Daerah Donggala tidak dilaksanakan oleh GMIM mengingat kurangnya tenaga pelayan dan berkembangnya jemaat-jemaat yang telah ada dengan pesat dan semakin banyak tersebar di berbagai tempat. GMIM memulai penginjilan di daerah kerajaan Kulawi pada tahun 1946. Pada waktu itu disebut-sebut bahwa Pdt. H. Daendeel adalah pelayan GMIM yang pertama kali melaksanakan pekabaran Injil. Dia juga berusaha menginjili orang-orang Kulawi untuk masuk protestan walaupun mereka sebelumnya telah menjadi warga Bala Keselamatan. Dua tahun kemudian (1948), diutuslah Pdt. W. Makapadua menggantikan Pdt. Daendeel di Kulawi, pada saat itulah jemaat Protestan (GMIM) tercipta di Kulawi yakni ketika Pdt. W. Makapadua berhasil meyakinkan raja untuk dibabtis bersama 30 orang lainnya. Peristiwa ini sangat berpengaruh bagi perkembangan jemaat-jemaat GMIM pada khusunya di Kulawi.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1950an akibat kedatangan pengungsi dari daerah Sulawesi selatan (suku Rampi, Seko dan Toraja) yakni mereka yang mengungsi akibat pemberontakan DI/TII. Mereka ini adalah orang-orang Kristen yang akhirnya setelah tiba di daerah Donggala bergabung dengan jemaat-jemaat yang telah ada di Kulawi, di Palu dan di tempat-tempat lainnya sebelum mendirikan jemaat-jemaat baru dari gereja induk mereka[47].

5. Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa Penjajahan Jepang (1942-1945).
            Jepang mendarat di Palu pada bulan Maret 1942. Pada waktu itu kantor gereja tetap terbuka dan ibadah-ibadah masih tetap dapat dilangsungkan. Keadaan jemaat-jemaat yang ada di daerah Dongala pada masa pendudukan Jepang sangat ditentukan oleh keadaan GMIM di Sulawesi Utara. GMIM sendiri pada masa penjajahan Jepang menghadapi keadaan yang sulit dan mengakibatkan tugas pelayanan gereja menjadi sangat berat. Keadaan ini diperparah lagi oleh karena terputusnya hubungan GMIM dengan GPI secara praktis[48]. Kesulitan untuk membiayai para Pendeta, memaksa GMIM tidak menggaji para Pendeta, namun mereka dihimbau agar tetap bekerja. Keadaan seperti ini tentunya sangat mempengaruhi pelayanan di daerah Pekabaran Injil seperti di daerah Donggala. Namun mengenai masalah keamanan kelangsungan ibadah-ibadah jemaat-jemaat di daerah Donggala sendiri tetap berjalan lancar tanpa mengalami gangguan yang berarti[49]. Pada saat Jepang mulai menduduki daerah Donggala, pelayan-pelayan GMIM masih terus melaksanakan pelayanannya, Massie masih tetap melayani di Donggala, Pdt. A. S. Lengkong di Parigi dan Pdt. R. P. H. Ngantung di Palu. Mereka ini masih dapat mengunjungi jemaat-jemaat di beberapa tempat[50]. Pada akhir perang, Jepang juga sempat menginternir seluruh Majelis jemaat di Palu karena dicurigai sebagai mata-mata. Seorang Penatua dan seorang Kostor gereja gugur dan yang lainnya sempat dibawa ke Poso dan dipenjarakan di sana. Mereka kemudian dibebaskan setelah  Jepang menyerah kepada sekutu[51].
Di Minahasa sendiri, pemerintah Jepang menyita banyak sekali harta milik gereja, seperti gedung sekolah, rumah kediaman para Pendeta Belanda, rumah sakit, dan gedung gereja. Pelarangan pengajaran agama kristen di sekolah juga dikeluarkan oleh Jepang[52]. Secara umum dapat digambarkan bahwa keadaan jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala pada masa pendudukan Jepang dapat berjalan sebagaimana biasanya, walaupun memang karena situasi keuangan yang sulit yang dialami oleh GMIM membuat pelayanan kepada jemaat-jemaat yang tersebar di daerah Donggala menjadi kurang maksimal. Mengenai tindakan Jepang terhadap kebaktian jemaat di daerah Donggala tampaknya tidak terlalu keras, dalam arti tidak sampai adanya pelarangan beribadah seperti halnya yang terjadi di beberapa tempat di Minahasa (Di Minahasa sendiri, sikap Jepang terhadap kebaktian jemaat berbeda di semua tempat, tergantung pada komandan militer setempat).  Dalam pelaksanaan kebaktian juga demikian, berbeda di setiap tempat, ada yang hanya diperkenankan menyanyi, berdoa dan membaca liturgi, ada juga yang dilarang berkhotbah[53]. Keadaan jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala dapat dikatakan tetap baik ternyata juga dipengaruhi oleh orang Kristen Jepang, seperti misalnya Ds. G. Fujisaki selaku pimpinan gereja Sulawesi tengah yang dipersatukan Jepang.

6. Gereja di Daerah Donggala Pada Masa Pemberontakan DI/TII
            Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan gerakan separatis yang dirancang oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiro yang bercita-cita mendirikan suatu negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Mula-mula gerakan ini berlangsung di Jawa barat, namun kemudian merembes ke berbagai daerah, seperti Aceh, Jawa tengah, Kalimantan selatan dan juga Sulawesi selatan[54].
Setelah teks proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia bagian timur sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibacakan oleh Kahar Muzakhar pada tanggal 7 Agustus 1953, orang-orang Kristen yang terdapat di daerah Sulawesi selatan mengalami penghambatan yang luar biasa. Kahar menghimbau agar mempertahankan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia sampai titik darah penghabisan[55]. Pemberontakan tersebut mengakibatkan orang-orang Kristen dari Sulawesi Selatan khususnya yang di bagian utara menyelamatkan diri dan mempertahankan imannya dengan cara melarikan diri ke daerah Donggala. Untuk menghindari tentara Islam, mereka yang mengungsi ke daerah Donggala memilih jalan melewati hutan tepatnya dari arah Selatan kota Palu. Mereka yang mengungsi adalah orang-orang Rampi, orang-orang Toraja dan Seko. Kedatangan para pengungsi ini di daerah Donggala ternyata mendapat sambutan yang baik terutama di wilayah kerajaan Kulawi yang telah menjadi warga Jemaat Protestan. Raja memberikan perhatian yang serius kepada mereka dan memberi tempat untuk mereka huni. Di daerah Kulawi misalnya, orang-orang Rampi yang datang mengungsi diberi lahan untuk didiami[56]. Hingga kini etnis Rampi sudah tersebar di wilayah Kulawi, mereka adalah orang-orang Kristen yang datang di daerah Donggala tanpa mengikut sertakan pelayan-pelayan gereja dari asal mereka. Demikian juga halnya dengan orang-orang Seko, setelah menempuh perjalanan  yang amat berat yaitu daerah Mamu di Watukilo mereka akhirnya tiba di daerah Donggala. Yang memimpin mereka saat itu disebut-sebut bernama Saniang dan Kalambo. Mereka diberi lahan untuk ditinggali tepatnya di desa Omu sekarang dan di Omulah ibadah pertama Gereja Toraja dilangsungkan di daerah Donggala[57]. Kedatangan para pengungsi ini telah menambah corak kekristenan di Daerah Donggala demikian juga dalam hal perkembangan gereja.
            Ternyata pasukan DI/TII tidak hanya melakukan aksinya di Sulawesi selatan, mereka juga memasuki daerah Donggala. Pemberontakan DI/TII ini sangat terasa di Donggala dan di Palu. Di Donggala sendiri mereka seringkali melakukan teror yang membuat masyarakat merasa takut dan waspada. Syukurlah bahwa ternyata mereka tidak menyerang orang-orang Kristen di sana yang mayoritas adalah orang-orang Minahasa dan Sangihe. Apakah hal ini disebabkan latar belakang Kahar Muzakhar yang sebelumnya mempunyai hubungan dengan Kawilarang yang adalah orang Minahasa, tidaklah diketahui. Serangan gerombolan DI/TII yang memasuki daerah Donggala telah berakibat pada banyaknya penduduk asli yang beragama Kristen beralih menjadi Islam dengan cara paksa[58]. Hanya sedikit dari mereka yang mampu mempertahankan iman mereka. Di antara mereka ada yang terpaksa pindah ke tempat lain asalkan mereka tetap percaya kepada Tuhan Yesus Kristus[59]. Orang-orang Kristen ini adalah hasil penginjilan Bala Keselamatan. Sampai sekarang sebahagian besar mereka tetap menjadi Islam. Gerombolan juga ternyata memasuki daerah pantai timur tepatnya di bagian utara Parigi. Orang-orang Kristen yang terdapat di Ongka dan di Ogotumubu terpaksa harus mengungsi ke Parigi demi keselamatan dan demi mempertahankan iman percaya mereka. Bukan hanya di daerah Pantai timur, tetapi juga di pantai barat, gerombolan membakar gedung gereja di Tibo dan di Panii. Mereka juga membunuh beberapa orang-orang Kristen di sana. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1957. Pada tanggal 13 Februari 1956 gerombolan DI/TII juga melakukan ekspansi di daerah Teluk Tomini yang berusaha mengislamkan orang-orang Kristen yang terdapat di sana. Akibatnya sekitar 789 jiwa orang-orang Kristen terpaksa mengungsi ke Parigi, sedangkan yang lainnya dengan terpaksa menjadi Islam[60].

7. Kehadiran Transmigrasi Dari Bali Di Daerah Donggala
Kehadiran orang-orang Bali di daerah Donggala dimulai sejak tahun 1957 tepatnya di daerah Palolo[61]. Kehadiran mereka di daerah Donggala dilatar belakangi keadaan hidup mereka yang semakin susah di Pulau Bali. Kala itu mereka datang secara berkelompok seperti layaknya perantau. Ternyata beberapa orang dari orang-orang Bali ini kemudian ada yang kembali ke Bali karena keadaan yang kurang aman saat itu di daerah Donggala, seperti bapak I Ngurah Lasir dan I Made Wejo. Kedua orang ini kembali lagi dengan membawa 15 kk orang-orang Bali ke daerah Donggala pada tahun 1959. Mereka tiba di Parigi pada bulan Desember 1959. Karena mereka belum mengenal siapapun di tempat ini, maka mereka menumpang di rumah saudara-saudara mereka orang-orang Bali yang Hindu di Mertasari selama 40 hari. Waktu itu kepala desa di Mertasari ialah seorang Bali Hindu yang bernama I Gusti Arko. Mulanya, raja Parigi hanya mengizinkan mereka untuk tinggal sementara di wilayah pemerintahannya karena mereka tidak memiliki surat jalan maupun surat pindah dari pemerintah Bali. Berkat bantuan kepala desa Mertasari I Gusti Arko, maka raja Parigi akhirnya mengizinkan mereka tinggal di daerah Parigi dan memberikan lokasi di Masari[62] untuk mereka buka menjadi lahan pertanian. Setelah tiba dan memulai hidup yang baru di daerah Donggala, orang-orang Bali yang beragama Kristen ini beribadah ke Parigi, sebab kala itu gedung gereja masih hanya ada di Parigi mereka juga melaporkan diri mereka kepada pengurus gereja dengan maksud agar mereka diketahui sebagai orang Kristen dan juga untuk dilayani. Mulai saat itulah mereka mulai beribadah bersama-sama dalam satu persekutuan. Pendeta GMIM yang melayani di Parigi saat itu melayani mereka setiap hari Minggu.
Selanjutnya orang-orang Bali didatangkan lagi ke daerah Donggala dalam program transmigrasi Umum yang pertama kali di Sulawesi tengah tepatnya di Desa Nambaru Kecamatan Parigi, Kabupaten Donggala (sekarang Kabupaten Parigi Moutong), yakni Pada tanggal 28 Februari 1962 dengan jumlah 52 KK, 243 jiwa yang berasal dari Pulau Bali[63]. Kemudian pada tahun 1968 transmigrasi dari Bali tiba lagi di daerah Donggala tepatnya di Tolai. Transmigrasi tersebut merupakan transmigrasi spontan yang diprakarsai oleh Gereja Kristen Protestan Bali dan melibatkan pemerintah setempat[64]. Mereka ternyata bukan saja yang beragama Kristen tetapi juga beragama Hindu. Setelah mereka tiba di daerah Donggala ternyata dari orang-orang Bali yang baragama Hindu banyak yang berpindah ke agama Kristen dengan berbagai alasan[65]. Para peserta transmigrasi Bali yang beragama Kristen  tersebut selanjutnya berupaya mendirikan tempat ibadah/gedung gereja walaupun sifatnya masih darurat. Mereka kemudian dilayani oleh pelayan-pelayan GMIM yang ada di Parigi. Jumlah orang-orang Bali ini terus meningkat terutama karena adanya program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun transmigrasi swakarsa/spontan mandiri (TSM). Merekapun, termasuk orang-orang Kristen menyebar hampir ke semua tempat khususnya di daerah Parigi selatan sekarang. Perlu diketahui, bahwa ternyata orang-orang Kristen dari pulau Bali yang mengikuti transmigrasi ke daerah Donggala tidak didampingi oleh pelayan gereja yakni dari Gereja Kristen Protestan Bali akibatnya sesampainya di daerah Donggala mereka beribadah di gereja yang dilayani GMIM yang terdapat di Parigi dan kemudian mereka mulai mendirikan gedung gereja dan dilayani oleh Pelayan maupun Pendeta dari Parigi yang adalah pelayan GMIM.

8. Gereja Di Daerah Donggala Pada Masa PERMESTA 
Permesta (Perjuangan Semesta) di mulai dengan pembacaan Proklamasi Permesta oleh LetKol. Ventje Sumual pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar[66]. Permesta yang diproklamasikan di Makassar melibatkan banyak petinggi militer yang berasal dari Sulawesi utara dan juga didukung oleh masyarakat Minahasa mulai menyebar ke seluruh pelosok Sulawesi termasuk Sulawesi tengah. Di kemudian hari, Permesta lebih identik dengan masyarakat Minahasa bukan saja yang tinggal di Minahasa tetapi juga di tempat-tempat lain, seperti di Sulawesi tengah pada umumnya dan di daerah Dongggala pada khususnya.
Pada bulan Juli 1957 H. N. V. Sumual menyatukan Sulawesi utara tengah yang terpisah dari Sulawesi selatan tenggara dan mengangkat Manoppo sebagai gubernur[67]. Permesta yang dianggap oleh pemerintah sebagai pemberontakan mulai diperangi. Bukan hanya di Minahasa, tetapi juga di Sulawesi tengah, termasuk di daerah Donggala. Peperangan antara tentara pusat dengan pasukan Permesta ternyata menjadikan gereja menjadi korban. Jemaat-jemaat yang terdapat di daerah Donggala yang adalah daerah pelayanan GMIM diperhadapkan pada situasi yang sulit.
            Di daerah Parigi misalnya, sebagian orang-orang Kristen (orang-orang Minahasa) dikejar-kejar dan ditangkap oleh tentara pusat sehingga mengakibatkan kehidupan gereja terganggu karena tidak merasa aman. Penyelenggaraan ibadahpun diawasi oleh tentara pusat dan tidak sedikit dari antara anggota jemaat yang ditangkap dan mengalami perlakuan buruk dari tentara pusat karena mereka orang Minahasa. Di Donggala (kerajaan Banawa), Permesta sempat menguasai keadaan, sehingga tentara pusat berupaya menaklukkan mereka dan merebut kembali tempat tersebut. Di Donggala, ternyata Permesta sangat eksis. Karena di tempat ini sendiri dibuka perekrutan dan pelatihan tentara Permesta. Orang-orang yang direkrut ternyata bukan hanya orang-orang Minahasa maupun Sangihe, tetapi banyak juga dari penduduk asli. Permesta juga didukung sepenuhnya oleh Raja Banawa yang kala itu dipimpin oleh Raja Lamarauna. Gereja sendiri kelihatan bersikap terbuka terhadap Permesta walaupun pada hakikatnya tidak menunjukkan dukungan yang nyata. Pada bulan April 1948 Donggala diserang oleh tentara pusat, berlangsunglah peperangan yang dahsyat. Tentara pusat akhirnya mampu menduduki Donggala dengan personil yang cukup banyak. Akibatnya banyak dari penduduk yang ditangkap dan dipenjarakan termasuk Raja Lamarauna sendiri[68]. Selain itu, banyak juga dari antara penduduk terutama orang-orang Minahasa yang dikenakan wajib lapor tanpa alasan yang jelas. Walaupun tidak secara langsung, dampak peperangan antara tentara pusat dengan Permesta juga dirasakan oleh gereja. Ibadah-ibadah menjadi sunyi karena banyak warga jemaat yang enggan menunjukkan diri, takut ditangkap oleh tentara pusat. Hal yang sama juga dialami oleh jemaat yang terdapat di kota Palu, bahkan tentara pusat terus mengejar pasukan permesta hingga ke daerah pedalaman, seperti di Kulawi[69].
            Penumpasan Permesta di daerah Donggala oleh tentara Pusat yang dipimpin oleh seorang suku Toraja yakni Frans Karangan, ternyata juga melahirkan satu corak persekutuan Kristen yang baru dari Gereja Toraja. Para tentara pusat yang sebagian besar adalah warga Gereja Toraja yang kemudian menetap di Palu, turut mensponsori berdirinya Gereja Toraja di kota Palu pada waktu kemudian.

9. Persiapan Kemandirian Gereja Protestan Indonesia Donggala
Gereja Masehi Injili Di Minahasa (GMIM) sebenarnya telah sejak lama merencanakan pemekaran jemaat-jemaat yang ada di daerah penginjilan termasuk yang terdapat di daerah Donggala. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan bahwa gereja-gereja di daerah penginjilan sudah mulai mampu membiayai tunjangan Pendeta dan mendirikan gedung-gedung gereja. Pada tahun 1955 ketua Sinode GMIM yang pada saat itu dijabat oleh Pdt. M. Sondakh telah mengunjungi jemaat-jemaat yang ada di Sulawesi tengah, termasuk di daerah Donggala. Kunjungan itu sekaligus hendak melihat sejauh mana gereja mengalami penghambatan akibat pemberontakan DI/TII. Selain itu, ternyata kunjungan tersebut juga merupakan evaluasi terhadap kemapaman jemaat-jemaat yang ada di daerah Donggala untuk rencana pemekaran. Pada tahun-tahun selanjutnya, jemaat-jemaat di daerah Donggala ternyata dilihat telah mampu membangun gedung gereja sendiri dan sudah mulai mampu membiayai gaji Pendeta atau Pelayannya. Untuk itu, maka di tiap-tiap jemaat diangkatlah seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat yang bertugas untuk memberitakan Firman (Berkhotbah), memimpin Katekisasi dan pelayanan-pelayanan lainnya, kecuali Pelayanan Sakramen[70]. Pdt. D. Wenas adalah seorang Pendeta GMIM yang disebut-sebut sangat berperan dalam persiapan berdirinya GPID. Pdt. D. Wenas adalah koordinator pelayanan di seluruh daerah Donggala (Palu, Parigi-Moutong, Donggala dan Kulawi). Pada waktu persiapan pemekaran GPID sebagai gereja mandiri, jemaat telah berjumlah 48 jemaat yang dilayani seorang Majelis Jemaat dan seorang Guru Jemaat tiap jemaat.
            Pada tanggal 18 Desember 1964 bertempat di gereja Centrum GMIM Manado akhirnya secara simbolis jemaat-jemaat di daerah-daerah Penginjilan GMIM dinyatakan menjadi gereja-gereja yang berdiri sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan Di Indonesia (GPI), Masing-masing:
1. Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo (GPIG) yang berpusat di 
    Gorontalo.
2. Gereja Protestan Indonesia Di Buol Toli-toli (GPIBT) yang berpusat di
    Toli-toli.
3. Gereja Protestan Indonesia Di Donggala (GPID) yang berpusat di palu.
Pernyataan simbolis tentang kemandirian gereja-gereja di daerah penginjilan GMIM tersebut ternyata masih membutuhkan waktu untuk ditahbiskan menjadi Gereja mandiri.


C. GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA TAHUN 1965 SAMPAI
     TAHUN 2003

1. Pelayanan Gereja Protestan Indonesia Donggala
            Setelah diresmikan secara simbolis pada tanggal 18 Desember 1964, Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) bersama dengan Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo (GPIG) dan Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-toli (GPIBT) resmi menjadi gereja mandiri di bawah naungan Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Namun, pelaksanaan kemandirian tersebut di Gereja Protestan Indonesia di Donggala barulah berjalan mulai tanggal 4 April 1965, yakni dengan dilangsungkannya pentahbisan Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang bertempat di Gereja Pniel Palu. Pentahbisan itu dihadiri oleh Pnt. H. B. Kaunang (BPS GMIM), Pdt. Daandel, Pdt. Daan Wenas, Pdt. Y. Wokas dan yang lainnya[71]. Acara pentahbisan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan sidang Am sinode pertama Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) yang berlangsung mulai dari tanggal 4-7 April 1965 sekaligus untuk menyusun pedoman kerja Majelis Sinode dan pemilihan Majelis sinode untuk periode pertama yang bertugas selama 4 tahun (1965-1968). Untuk melaksanakan sidang sinode tersebut dibentuklah terlebih dahulu Proto Sinode yang diketuai Pnt. Yan Kaunang dan Sekretaris Pdt. D. Wenas. Ketua Sinode yang pertama dijabat oleh Pdt. D. M. V. Kandijoh dan Sekretaris Pnt. Hans Pondaag yang terpilih dalam sidang Am Sinode yang pertama tersebut. Majelis Sinode terpilih ini bekerja sampai pada tahun 1968[72]. Setelah ditahbiskan sebagai gereja yang mandiri, selanjutnya GPID terus berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dalam rangka penatalayanan Gereja Tuhan yang tersebar di daerah Donggala sebab GMIM tidak lagi memberikan bantuan terutama menyangkut bantuan dana.
Sejak tahun 1965 Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID) menjadi gereja yang mandiri di mana pelayanannya meliputi daerah  Kabupaten Donggala (Donggala, Palu dan Parigi). Sesuai dengan tata gereja, GPID memiliki tujuan yakni; terwujudnya suatu persekutuan orang-orang percaya yang takut, taat, dan setia kepada Allah Yang Maha Kuasa Khalik semesta alam dan yang bertanggung jawab untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara menuju kehidupan yang adil, sejahtera, bersatu sesuai dengan kesaksian Alkitab[73].
Pada waktu lahirnya sebagai satu Sinode Mandiri, pelayanan GPID meliputi 6 wilayah, 48 jemaat yang terdiri dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa. Keenam wilayah tersebut dilayani oleh 8 orang Pendeta dan 3 orang Guru Injil.
Setelah melayani selama 25 tahun dalam berbagai suka dan duka GPID terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Sehingga pada tahun 1990 GPID telah memiliki 24 wilayah, 133 Jemaat, 4895 KK, 23.317 jiwa yang dilayani oleh 43 orang Pendeta. Jumlah ini terus meningkat, sehingga tahun 2003 GPID telah memiliki 98 orang Pendeta, 12 orang Vikaris yang melayani 153 jemaat dalam 40 wilayah dengan jumlah 30 ribu jiwa, 6910 KK[74].
            Pelayanan lainnya juga dilaksanakan oleh GPID seperti di bidang sosial dan pendidikan. Tahun 1979 GPID mendirikan panti asuhan sebagai bukti pelayanannya di bidang sosial. Selanjutnya tahun 1980, GPID juga mendirikan sekolah-sekolah mulai dari tingkat Taman kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2003 tercatat jumlah sekolah yang didirikan GPID adalah, TK berjumlah: 10 buah, SD: 2 buah, SLTP: 2 buah, SMA: 2 buah[75].   

2. Struktur Dan Organisasi Badan Gerejani Di Gereja Protestan Indonesia di
    Donggala
Memperhatikan dan mempertimbangkan keadaan baik di bidang dana maupun letak geografis pelayanan yang sangat jauh antara satu jemaat dengan jemaat yang lain, maka GPID dalam hal ini Majelis Sinode menerapkan struktur devinitif  Jemaat-Wilayah-Sinode[76]dalam mekanisme pelayanan sistem Presbyterial Sinodal.
Pada tanggal 29 Juli sampai dengan 1 Agustus 1966 yakni pada sidang Am II Sinode GPID, peraturan dasar GPID yang disusun oleh panitia dan Badan Pekerja Am GPI dibahas lagi dan diadakan beberapa perubahan, selanjutnya ditetapkan dan disahkan menjadi tata gereja, peraturan-peraturan dan peraturan-peraturan khusus  GPID yang mulai digunakan sejak 1 Januari 1967[77].
            Sebelum berlangsungnya Sidang Sinode Am pada tahun 1968, di GPID terjadi masa transisi kepemimpinan yang disebabkan kembalinya Pdt. D. M. V. Kandijoh sebagai ketua Sinode dan Pnt. Hans Pondaag sebagai sekretaris Sinode ke Minahasa. Untuk mengisi lowongan yang kosong tersebut, maka diangkatlah Pdt. Morens Lagimpu[78] sebagai Pejabat sementara Ketua Sinode dan Pdt. Yesaya Roti Lampie sebagai Pjs Sekretaris Sinode sekaligus dipercayakan untuk mempersiapkan Sidang Am Sinode GPID tahun 1968.
            Pada  tahun 1968 di Palu berlangsunglah Sidang Am Sinode GPID sekaligus untuk memilih Majelis Sinode yang baru. Dalam Sidang Am Sinode ini, maka terpilihlah Majelis Sinode yang baru, yakni;
Ketua: Pdt. Frans Kaesang Taga
Wakil Ketua: Pdt. M. Lumolos
Sekretaris: Pdt. Yesaya Roti Lampie
                                           Pdt. Marthen Tondong
                                           Pnt. Yan Theodorus Kairupan
Majelis Sinode terpilih ini bekerja selama empat tahun sesuai dengan peraturan dasar GPID. Pada periode Majelis Sinode yang baru ini, telah terjadi beberapa pembaharuan di dalam tubuh GPID. Pembaharuan yang terjadi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk lebih mengarahkan GPID kepada kemandiriannya sebagai sebuah Gereja.
            Pada tahun 1969 dalam Sidang Sinode GPID diputuskan perobahan nama GPID, jika sebelumnya gereja ini diberi nama Gereja Protestan Indonesia Di Donggala, maka kata ”di” dihapus. Kemudian nama gereja ini menjadi Gereja Protestan Indonesia Donggala[79].
Sesuai dengan peraturan dasar GPID, susunan GPID adalah Jemaat dan Sinode[80]. Pada Bab I pasal 2a dalam Peraturan Dasar tersebut disebutkan;
Jemaat ialah persekutuan dari anggota-anggota yang diam di suatu tempat yang tertentu yang menyelenggarakan rumah tangganya sendiri selaku bagian dari gereja. Tiap jemaat terdiri tidak kurang dari 10 rumah tangga. Jemaat ditetapkan dan disahkan dengan beslit Sinode.
Sedangkan Sinode adalah sidang tertinggi yang memutuskan segala hal yang bersifat umum. Sinode terdiri dari anggota-anggota utusan jemaat[81]. Badan Pekerja Sinode terdiri dari seorang Ketua dan seorang Sekretaris dan seorang lagi Bendahara serta 4 orang anggota. Adapun Penasehat Sinode terdiri dari 3 orang yang tidak bekerja penuh waktu. Walaupun pada awalnya susunan GPID terdiri dari Jemaat dan Sinode, tetapi dalam praktek selanjutnya yang terjadi ialah terdiri dari Sinode-Wilayah[82]dan Jemaat[83]. Untuk menyelenggarakan Sidang Sinode, biasanya wilayah-wilayah mengirim utusan-utusannya. Setiap wilayah mengirim utusannya 3 orang pelayan khusus yang terdiri dari 1 orang Pendeta atau Guru Injil dan 2 orang yang dipilih oleh Majelis jemaat di wilayah tersebut. Dalam susunan organisasi GPID juga dikenal wilayah berbantuan, yakni jemaat-jemaat yang masih ditopang oleh Sinode terutama dalam hal keuangannya.
            Pada mulanya pelayan-pelayan Gereja Protestan Indonesia Di Donggala terdiri dari beberapa penggolongan yakni;
a.       Pendeta, adalah seorang tamatan sekolah Teologia dan juga Pendeta 
       angkatan yang diangkat oleh Sinode.
b.      Guru Injil Kategori B, ialah Pelayan sama dengan Pendeta tetapi tidak 
       melalui sekolah Pendeta; diangkat oleh Sinode.
c.       Guru Injil Kategori A. (Guru Jemaat), ialah Pemimpin Jemaat yang dipilih  oleh sidi-sidi Jemaat.
d.      Majelis Jemaat, ialah Pendeta, Penatua Dan Syamas[84].
Akibat terbatasnya tenaga pelayan di GPID, maka tahun 1982 melalui Sidang Am Sinode GPID di Sumbersari,  Guru-guru Injil kategori B resmi diangkat menjadi Pendeta[85]. Kepada mereka kemudian diberikan semacam pembinaan khusus oleh Majelis Sinode. Mereka ini tetap menjadi pegawai organik GPID yang digaji sama dengan pendeta-pendeta lainnya. Sedangkan Guru Injil kategori A telah berobah nama menjadi guru Jemaat pada tahun 1971 dan dalam perkembangan selanjutnya istilah untuk jabatan ini berobah menjadi ketua jemaat dan mereka bukan merupakan pegawai organik. Mereka ini bekerja sesuai dengan periode majelis jemaat di jemaat masing-masing dan dipilih dalam sidang sidi-sidi jemaat.
Komposisi Majelis Sinode Harian GPID dari periode ke periode selalu saja mengalami perobahan walaupun tidak terlalu banyak, tetapi paling tidak dari sini dapat dilihat bahwa komposisi tersebut diadopsi sesuai dengan tuntutan konteks pelayanan pada saat itu. Jika dari tahun 1965-1968, unsur wakil ketua belum ada, maka pada tahun 1968-1976 unsur wakil ketua ditambahkan pada komposisi MSH. Kemudian mulai pada tahun 1976-1988 jabatan wakil ketua Sinode dihilangkan lagi, tapi pada tahun 1988-2003 jabatan wakil ketua[86] diadakan lagi. Tetapi sejak tahun 2003 jabatan wakil ketua dibagi dalam 3 bidang yakni masing-masing membidangi pelayanan; wakil ketua I membidangi Kesaksian Keesaan dan Pekabaran Injil (KEKES/PI), wakil ketua II membidangi Pembinaan Warga Gereja dan penelitian Pengembangan (PWG/Litbang), sedangkan wakil ketua III membidangi Diakonia. Dengan demikian sekretaris-sekretaris departemen yang sebelumnya ada, kini dihilangkan.
Sejak tahun 1988 melalui Sidang Sinode Am GPID telah ditetapkan bahwa masa kerja Majelis Sinode berlaku selama 5 tahun. Untuk itu mulai tahun 1988 GPID melaksanakan Sidang Am Sinode sekali dalam 5 Tahun dan ini berlaku hingga sekarang. Tetapi setiap tahunnya dilaksanakan sidang tahunan Sinode untuk mengevaluasi program Majelis Sinode dan sekaligus menyusun program kerja dan rencana anggaran pendapatan dan belanja Sinode untuk tahun berjalan. Sedangkan Sidang Am istimewa hanya dilangsungkan apabila ada hal-hal yang sangat penting untuk diputuskan.

2. Pertumbuhan Dan Perkembangan Jemaat dan Keadaan Kemandirian 
    Teologi, Daya dan Dana
a. Pertumbuhan dan Perkembangan Jemaat
            Walaupun Gereja Protestan Indonesia di Donggala diperhadapkan pada pergumulan yang berat di awal berdirinya, namun gereja ini ternyata terus bertumbuh dan jumlah warga jemaatnya terus bertambah, demikian juga dengan tenaga pelayan. Jika pada tahun 1965 tercatat jumlah Wilayah pelayanan sebanyak  6 wilayah, dan jemaat: 48 jemaat, yang terdiri dari 1933 KK dan 11. 600 jiwa serta jumlah tenaga pelayan: 8 orang Pendeta dan 3 orang Guru Injil, maka pada tahun 1968 jumlah tersebut bertambah menjadi 12 wilayah, yang terdiri dari 65 jemaat, yang terdiri dari kurang lebih 14. 600 jiwa. Sedangkan jumlah Pendeta menjadi 15 orang, Guru Injil 10 orang, Guru jemaat 64 orang, Penatua 151 orang dan Diaken 151 0rang serta 1 orang Guru Agama tetap[87]. Jumlah ini sungguh signifikan bagi sebuah gereja yang baru mandiri selama kurun waktu 4 tahun. Pertumbuhan jumlah warga jemaat dan juga tenaga pelayan di GPID terus bertambah dari periode ke periode. Sehingga pada tahun 2003 jumlah warga jemaat GPID menjadi; 28.046 Jiwa (6910 KK), yang tersebar dalam 147 jemaat, 40 wilayah. Sedangkan jumlah pelayan menjadi, Pendeta; 98 orang, Vikaris 12 Orang[88].
            Bertambahnya jumlah jemaat tersebut tidak terlepas dari upaya pekabaran Injil yang dilakukan, baik oleh pelayan-pelayan Khusus maupun oleh warga jemaat sendiri[89]. Bahkan dalam sejarahnya, GPID pernah membuka wilayah pekabaran Injil di Kalimantan timur, tepatnya di Kabupaten Kutai. Pekabaran Injil di tempat tersebut mula-mula dilakukan oleh beberapa orang warga GPID yang berasal dari Abo yang merantau ke Kalimantan sebagai pencari rotan[90]. Sesampainya di Kalimantan orang-orang ini kemudian berbaur dengan masyarakat setempat dan mulai memberitakan Injil kepada mereka yang pada masa itu masih memeluk agama suku. Kemudian tahun 1982 GPID menyanggupi permintaan warga GPID yang telah merasa berhasil mengabarkan Injil di Kalimantan dengan mengutus Pdt. I Gusti Bagus Sudiadjana untuk membabtis 89 orang suku Dayak. Selanjutnya GPID menempatkan tenaga pelayan untuk memelihara jemaat tersebut. Jemaat tersebut malah berkembang dengan pesat sehingga kemudian menjadi dua jemaat yang mandiri[91]. Di samping itu, pertumbuhan jumlah jemaat dan pelayan juga terjadi akibat arus transmigrasi yang terus meningkat ke daerah Donggala baik yang diprakarsai pemerintah maupun dalam transmigrasi spontan. Misalnya saja pada tahun 1968 jumlah transmigrasi meningkat tajam di daerah Parigi selatan tepatnya di Tolai. Ternyata transmigrasi ini diprakarsai oleh seorang kepala desa yakni Tumakaka. Ternyata para peserta transmigrasi ini sebagian besar adalah orang-orang Kristen dari Bali, maka setelah mereka tiba di daerah Donggala yakni di Parigi selatan mereka kemudian menjadi warga GPID dan ada juga yang menjadi warga GKST[92]. Program transmigrasi selanjutnya seperti transmigrasi dari Pulau Jawa yang ditempatkan di Tirtasari, Kota raya dan transmigrasi lokal pada tahun 1977 dalam kerja sama dengan PGIW Sulutteng yakni mereka yang kemudian ditempatkan di Sigega. Selain dalam transmigrasi lokal maupun nasional, ada juga dikarenakan migrasi karena bencana alam, seperti halnya komunitas orang-orang Sangihe yang terdapat di Kopi Lambunu[93].

b. Kemandirian Theologi
            Mengenai upaya yang dilakukan menuju kemandirian Teologi dapat dicatat bahwa sejak tahun 1967 GPID telah membina sebuah Akademi Teologia, yang dahulu didirikan oleh DGI Wilayah Sulutteng akan tetapi terkesan dibiarkan. Akhirnya GPID mengambil alih dan bertanggung jawab penuh atasnya. Akademi Theologia GPID yang beralamat di Jl. Pattimura IV/85 tersebut didirikan pada tanggal 18 januari 1969 dipimpin oleh Pdt. M. Lumolos[94]. Walaupun dalam situasi yang sulit karena keterbatasan Dana, Tenaga maupun infrastruktur, Akademi Theologia GPID telah berhasil menamatkan sejumlah tenaga pelayan di GPID ke masa selanjutnya.
            Pola berteologi yang ditunjukkan para pelayan yang telah dipersiapkan dan mempersiapkan diri di Akademi tersebut lebih diarahkan pada gaya berteologi kontekstual dengan memperhatikan kemajemukan budaya di kalangan warga gereja. Gaya berteologi ini sangat mempengaruhi perkembangan Gereja Tuhan di masa selanjutnya, sebab kemajemukan yang ada tersebut dijadikan sebagai kekayaan. Budaya berada dan berjalan bersama-sama dengan Injil sebagai anugerah Tuhan dan semua demi kemuliaan Tuhan.
            Belum lama didirikan, GPID langsung diperhadapkan pada persoalan yang dilematis menyangkut keberadaan Akademi Theologia GPID di Palu, yakni bahwa GKST juga mendirikan PGA di Palu. GKST beralasan bahwa PGA yang didirikan ini adalah merupakan antisipasi untuk memenuhi jumlah tenaga Guru Agama di Palu yang diprediksi akan terus meningkat. Sekali lagi GPID dan GKST terlibat dalam ”perang dingin”. Akhirnya pada tahun 1971 akademi Theologia GPID resmi ditutup sesuai dengan keputusan sidang Sinode ke- VI tahun 1970. Penutupan Akademi Theologia ini disebabkan selain karena tidak tersedianya dana yang mencukupi di GPID, juga karena PGA yang didirikan oleh GKST kemudian menjadi pilihan orang-orang Kristen di Palu pada khususnya yang ingin mendalami ilmu Theologia. Selanjutnya dalam rangka kemandirian di bidang Theologia, berbagai upaya telah dilakukan di antaranya:
* Pemberitaan Firman Allah secara intensif, tersistem dengan metode-metode  
   yang sesuai dengan kondisi jemaat melalui;
             - Ibadah-ibadah Minggu,  kunjungan rumah tangga, kompelka, KPI
       - Penelaan Alkitab, PA dan pekan keluarga.
       - Konsultasi, seminar, lokakarya dan PWG.
* Mengupayakan dan menggumuli suatu pemahaman iman GPID yang benar-
   benar lahir dari kondisi objektif GPID.
* Menyusun sejarah GPID.
* Mengikut sertakan seluruh lapisan warga gereja dalam pelayanan gereja.
* Menggali dan mentransformasikan kekayaan budaya yang ada di GPID[95]

c. Kemandirian Daya
            Pada mulanya sewaktu GPID baru ditahbiskan menjadi sebuah Sinode mandiri, pergumulan utama adalah kurangnya tenaga pelayan. Sehingga pada waktu itu tidak heran jika ada seorang Pendeta yang melayani untuk 10 jemaat. Beruntunglah bahwa kehadiran guru Injil baik kategori A maupun kategori B telah sangat membantu pelayanan gereja Tuhan yang tersebar di daerah Donggala. Karena terbatasnya tenaga pelayan, maka tidak heran juga jika di GPID pada awalnya banyak tenaga utusan gereja dari gereja-gereja lain. Dari waktu ke waktu, jumlah tenaga utusan gerejawi yang diperbantukan di GPID semakin berkurang. Ini terjadi karena tenaga-tenaga pelayan sudah semakin meningkat jumlahnya. Apalagi setelah penamatan 8 orang dari akademi theologia Palu yang kemudian bertugas di jemaat-jemaat, GPID juga mengangkat Guru-guru Injil kategori B menjadi pendeta penuh pada tahun 1971. Demikian juga halnya dengan kedatangan beberapa orang Pendeta dari Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) telah menambah jumlah Pendeta di GPID. Penerimaan Vikaris setiap tahunnya juga menjadi faktor utama yang mengakibatkan bertambahnya jumlah pelayan di GPID.
            Bukan hanya tenaga Pelayan, tetapi pertumbuhan kemampuan jemaatpun semakin hari semakin nampak sehingga tanggung jawab untuk menunaikan tugas dan panggilan gereja semakin nyata pula. Untuk menumbuhkan kemampuan seluruh warga gereja dalam memikul tanggung jawab dan tugas panggilannya, maka GPID telah melakukan berbagai upaya, di antaranya;
·        Mengerahkan dan mengarahkan warga jemaat untuk mewujudkan tugas panggilan mereka sebagai gereja.
·        Melibatkan para profesional yang terdapat di antara warga gereja untuk bersama-sama melayani sesuai dengan talenta, karunia, bakat dan potensi yang dimiliki masing-masing.
·        Mempersiapkan kader, yakni dengan program alih generasi kepelayanan gereja dalam arti yang luas dan positif.
·        Dengan terus-menerus meningkatkan kualitas para pelayan dan pelayanan warga gereja melalui kursus-kursus, pelatihan/pembinaan, dan pendidikan ke jenjang strata yang lebih tinggi, baik di bidang Theologi, maupun non theologia melalui jalur akademis dan profesional dengan pemberian beasiswa.
Hingga tahun 2003 kemandirian Daya di GPID terus menerus mengalami perkembangan, jumlah warga jemaat GPID menjadi; 28.046 Jiwa (6910 KK), yang tersebar dalam 147 jemaat, 40 wilayah. Sedangkan jumlah pelayan menjadi, Pendeta; 98 orang, Vikaris 12 Orang[96]. Bukan hanya dalam jumlah tetapi juga dalam peningkatan kualitas, sehingga Pendeta-pendeta yang lulus dari pendidikan Theologia semakin banyak[97].


d. Kemandirian Di Bidang Dana
Seperti yang telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa setelah GPID ditahbiskan menjadi gereja mandiri, GMIM sama sekali tidak lagi memberi bantuan di bidang dana. Untuk itu GPID harus dengan semaksimal mungkin berusaha memenuhi sendiri kebutuhan pelayanannya di bidang dana. Upaya memenuhi kebutuhan di bidang dana dilakukan mulai dari tingkat jemaat, wilayah hingga di tingkat sinodal. Mengenai skala penggajian Pendeta-pendeta maupun guru-guru Injil sepenuhnya diatur dan ditetapkan menurut tata gereja, akan tetapi untuk pembayarannya sepenuhnya adalah tanggung jawab jemaat di mana Pendeta atau Guru Injil tersebut melayani. Demi terpenuhinya anggaran pelayanan, maka di tingkat jemaat selalu dihimbau menyusun sendiri anggaran pendapatan dan belanja jemaat setiap tahunnya, demikian juga halnya di tingkat wilayah dan di tingkat sinode. Adapun sumber-sumber keuangan gereja,
di tingkat jemaat diperoleh dari;
-         Kolekte tiap hari Minggu, kumpulan-kumpulan[98] dan juga pada hari raya  
       gerejawi serta ibadah khusus lainnya
-         Partisipasi warga jemaat berupa iuran
-         Usaha jemaat, seperti hasil sawah atau kebun jemaat.
Sedangkan di tingkat Sinode;
-         Setoran dari tiap-tiap Jemaat; 10% dari korban bulanan dan 10% dari korban tahunan
-         Sumbangan dari Pemerintah maupun perwakilan di Jakarta.
Dari tahun 1965 hingga tahun 1968 (periode Majelis Sinode pertama) masalah keuangan merupakan hal yang sangat berat dirasakan oleh GPID. Tetapi, kendatipun demikian masa-masa sulit ini dapat dilalui karena penyertaan Tuhan Sang Kepala Gereja yang selalu memenuhi kebutuhan gereja- Nya. 

3. Hubungan Kerja Sama Oikumenis Gereja Protestan Indonesia Donggala
a. Hubungan Kerjasama Oikumenis Dengan Gereja-gereja
    1. Di Tingkat Lokal
Kerja sama di antara gereja-gereja yang terdapat di Sulawesi tengah dan daerah Donggala pada khususnya telah tercipta sejak perjumpaan mereka antara gereja yang satu dengan yang lain. Semangat oikumenis tersebut terlihat dari kesediaan warga dari gereja yang saling berbeda untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang diputuskan dan dilakukan bersama, misalnya dalam perayaan-perayaan gerejawi bersama. Sejak menjadi Gereja Mandiri, GPID selalu berusaha menjalin kerja sama dalam semangat oikumenis  dengan gereja-gereja yang terdapat di daerah Donggala dan juga di tingkat Propinsi Sulawesi tengah. Walaupun harus diakui bahwa di awal kemandiriannya sebagai satu Sinode, GPID diperhadapkan pada pergumulan dalam hubungannya dengan gereja tetangga[99].  Pengalaman serupa juga sering kali terjadi dengan gereja-gereja yang bermunculan di daerah Donggala terutama gereja beraliran kharismatik seperti gereja-gereja Pantekosta. Anggota-anggota GPID seringkali menjadi incaran gereja-gereja Pantekosta yang mulai menjamur di daerah Donggala sejak akhir abad 20. Namun secara umum, GPID telah berhasil menjalin kerja sama oikumenis dengan gereja-gereja tetangga dalam berbagai bentuk kegiatan.

    2. Di Tingkat Regional
GPID berpartisipasi aktif  dalam hubungan kerja sama oikumenis, yakni dengan menjadi anggota persekutuan Gereja-gereja Wilayah Sulawesi Utara dan Tengah (PGW Sulutteng) sejak Oktober 1990. Bahkan pada bulan Juni-Juli 1990 GPID menjadi tuan rumah penyelenggaraan sidang Sinode Am I PGW Sulutteng tersebut[100]. Selanjutnya, GPID dengan rutin menghadiri rapat kerja dan sidang Ketua-ketua Sinode Am setiap 2 kali setahun. Kegiatan-kegiatan di Sinode Am Sulutteng lainnyapun seperti halnya; penataran pelayan-pelayan dan kegiatan Kompelka. Selain memberi iuran ke Sinode Am, GPID juga bekerjasama di bidang pendidikan dan di bidang diakonia. Pada tahun 1977 GPID telah bekerja sama dengan PGIW Sulutteng dalam proyek transmigrasi lokal yakni di Sigega[101].

    3. Di Tingkat Nasional
    3. 1. Gereja Protestan Indonesia Donggala Adalah Gereja Bagian Mandiri[102]  
            Gereja  Protestan Indonesia.
Gereja Protestan Indonesia Donggala sebenarnya adalah bekas gereja yang dahulu dilayani oleh Gereja Protestan Indonesia. Namun Sejak 1 Januari 1937 pelayanan terhadap Gereja di daerah Donggala ini diserahkan oleh Gereja Protestan Di Indonesia (GPI) kepada GMIM untuk menjadi daerah penginjilan GMIM seiring dengan pemisahan administratif di Gereja Protestan di Indonesia pada akhir tahun 1934. GPID adalah bagian dari GPI sesuai pernyataan BaPeAm GPI no. Bap. 8/Sek/69. Dengan demikian Badan Hukum Gereja Protestan Indonesia Donggala adalah sama dengan Badan Hukum Gereja Protestan di Indonesia Staatblad no. 19 tanggal 15 Mei 1927[103] yang berlaku Sejak tahun 1969.
Badan hukum GPID yang sama dengan badan hukum GPI menunjukkan eratnya hubungan GPID dengan GPI. Secara historis boleh dikatakan bahwa GPID adalah anak kandung dari GPI sebab semula sebelum menjadi sebuah gereja mandiri, GPID dilayani oleh GPI setelah itu diserahkan kepada GMIM.

   3. 2. GPID Adalah Anggota Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia
            Sebagai sebuah gereja yang lahir, tumbuh dan melayani di Indonesia, maka pada tahun 1967 pada sidang Raya DGI/PGI di Makassar GPID menyampaikan permohonannya kepada DGI/PGI untuk menjadi anggota. Akan tetapi pada saat itu GPID hanya diterima menjadi anggota luar biasa di DGI/PGI disebabkan keberatan gereja tetangga yakni GKST. Setelah digumuli selama kurang lebih 2 tahun maka pada tanggal 3 Oktober 1969 GPID ditetapkan sebagai anggota penuh ke-39 di DGI/PGI[104].

   3. 3. Hubungan Oikumenis Dan Kerja sama GPID Di Tingkat Internasional
            Sejak tahun 1969 GPID telah menjalin kerja sama dengan zending Nederlandse Hervomde Kerk (NHK). Kemudian pada masa kepemimpinan Pdt. Tommy Malonda sebagai ketua Sinode (1993-1998) Gereja Protestan Indonesia Donggala mendaftarkan diri  menjadi anggota World Alliance of Reformed Churches (WARC). Ini menunjukkan bahwa GPID juga turut menggumuli semangat keesaan Gereja sampai di tingkat internasional. Di samping itu, dengan masuknya GPID sebagai anggota WARC, maka GPID telah menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah gereja reformasi. GPID juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga gereja di luar negeri yang terjalin dalam bentuk kemitraan, di antaranya: PKN di Belanda dan dengan EMS di Jerman.

III. Penutup
            Demikianlah secara umum Sejarah GPID yang dapat disajikan dalam pertemuan kita kali ini. Dengan demikian diharapkan, setelah mengetahui sejarah Gereja Tuhan ini, kita sebagai pelayan-pelayan Tuhan yang melayani di Gereja Tuhan ini paling tidak boleh bercermin dari sejarah untuk menghantar kita menciptakan sejarah Gereja Protestan Indonesia Donggala yang baru dan selalu di baharui sesuai dengan kehendak Kristus sang Kepala Gereja.





















                [1] . Di Antiokhialah, sebutan “Christianus/Kristen” diberikan untuk menunjuk orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus (Kis. 11: 26). Sebutan ini sebenarnya pada mulanya bermaksud mengejek orang-orang Kristen yang dianggap sebagai bidat dalam agama Yahudi, tetapi kemudian, ”Kristen” menjadi populer untuk menunjuk orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.
                [2]. Di antara Penatua-penatua ini, dipilih oleh orang yang diberi tugas untuk mengamat-amati jemaat yakni episkopos atau uskup atau penilik. 
                [3] . Hal inilah yang kemudian berlaku dalam Gereja Katolik Roma.
                [4]. H. Berkhof-I. H.Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2000), hal. 11.
[5]. Mengenai riwayat hidupnya, lihat, F. D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja, op. Cit. Hal. 10-12.
[6]. Lihat, W. L. Helwig, Sejarah Gereja Kristus 1, (Yogyakarta: Kanisius,1999), hal. 37.
[7]. Lihat, Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia), hal. 66
[8]. Lihat, W. L. Helwig, Sejarah Gereja Kristus 1,  Op. Cit. hal. 39
[9]. Lihat, Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, Op. cit. hal. 71
[10]. Jan Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta:BPK. Gunung Mulia, 1996), hal. 25.
[11]. Th. Van den end, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001),  hal. 162-163  
2 Band Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung mulia, 1994) hlm. 370.

20 Berkhof & Enklaar, Op. cit. , hlm. 131-132.
22 Calvin mengakui bahwa dalam Gereja Roma, masih ada sisa-sisa gereja benar, terutama pelayanan baptisan (sehingga orang yang dibaptis di Gereja Roma seperti Calvin sendiri tidak perlu meragukan keabsahan baptisan mereka) tetapi sisa-sisa ini tidak menjadikan gereja ini gereja dalam arti benar.   
26 Berkhof & Enklaar, Op. cit. ,  hlm. 163.
31 Ibid.
32 Ibid. , hlm. 78
34 Band Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1998)  hlm. 12. , juga Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996) hlm. 57. 
35 Ibid. , hlm. 58.
36 Ibid.
37 Berkhof & Enklaar, Op. cit. , hlm. 161.
38 Band W. L. Helwig, Gereja Kristus 2  (Yogyakarta Kanisius, 1995) hlm. 157-158. 
39 Aritonang, Op. cit. , hlm. 58.

12 Band.  Jan  S  Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 66-67 
13 de Jonge, Op.cit., hlm. 99
14 McGrath, Op.cit., hlm. 253-254.
15 de Jonge, Op.cit., hlm. 163, juga F Sulaeman dan Ioanes Rakhmat, Masihkah benih Tersimpan? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 75
17 Robert R Boehlke,  Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 401
18 Ibid
19. G.P.H. Locher, Tata Gereja Gereja Protestan di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997)  hlm. 218-219
20  H. Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995)  hlm. 163   
21  Locher, Op.cit., hlm. 218-219
22 Yohanes Calvin (terj oleh NyWinarsi dkk), Institutio, Pengajaran Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 239-241
23 Band J. L. Ch. Abineno,  Johanis Calvin (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hlm. 46
24 Aritonang, Op.cit., hlm. 71-75
[12]. Demikian catatan kaki yang ditulis oleh F. Ukur, Pengkajian Kembali Sejarah Gereja Di Indonesia dalam, M. A. Ihromi - S. Wismoady Wahono (peny) Theo-Doran Pemberian AllahOp. Cit., hal. 54.
[13]. Di Ternate Portugis membangun benteng  sebagai tempat pertahanan dan tempat tinggal para saudagar-saudagar. Waktu itu mayoritas penduduk telah menganut Agama Islam. Ternate sendiri dipimpin oleh seorang Sultan. Lih. Th. Van den End, Ragi Carita 1, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001),  Hal. 52.
[14]. Mare Liberium adalah kitab karangan Hugo De Groot, yang mengatakan bahwa lautan adalah bebas untuk dilayari oleh siapa saja. Lihat F. Ukur, FL. Cooley, Op. Cit. Hal. 35.
[15]. Surat Izin Berdagang itu berbunyi: ”Kompeni diberi wewenang di wilayah di sebelah timur Tanjung Harapan sampai di Selat Magelhaens untuk menjalin dan membuat perjanjian dengan raja-raja serta penguasa-penguasa setempat atas nama pemerintah Belanda dan untuk membangun di sana benteng-benteng serta sarana keamanan, mengangkat gubernur-gubernur, tentara, pejabat-pejabat pengadilan dan pejabat-pejabat lain di bidang yang diperlukan, untuk mengatur pertahanan, memelihara ketertiban, pengawasan keamanan dan pelaksanaan peradilan, sekaligus memajukan usaha perdagangan”.
[16]. F. Ukur-F. L. Cooley, Op. Cit. Hal. 460-461. 
[17]. Menurut Th. Van den End tanggal 27 Februari 1605 adalah hari lahirnya Gereja Protestan Di  Indonesia, Bahkan untuk seluruh wilayah Asia, inilah pertama kalinya ibadah Gereja Protestan dilangsungkan. Lihat, Badan Pekerja Harian GPI (ed), Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, (Jakarta: BPH. GPI., 2005), Hal. 17. Band. BPH. GPI, Membelah Khazanah Pelayanan,(Jakarta: Gereja Protestan Di Indonesia, 1995), Hal. 2.  
[18]. Lihat, Pdt. DR. A. F. Parengkuan, Gereja Masehi Injili Di Minahasa Gereja Bagian Mandiri Gereja  Protestan Di Indonesia dalam, BPH. GPI (ed), Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, Op. Cit. Hal. 75.
[19]. Pdt. DR. A. F. Parengkuan mengutip pendapat Locher yang mengatakan bahwa pengutusan kedua tenaga pelayan ini adalah tindak lanjut dari perkunjungan Pdt. D. Lenting sebelumnya di Minahasa, ibid. 
[20]. Hellendoorn dipandang sebagai peletak dasar keKristenan di Minahasa. Sebab sejak kedatangannya di Minahasa, telah lahir perhatian untuk mendirikan sekolah di tempat ini.
[21]. Indische Kerk (IK) biasa disebut dengan nama Protestan Kerk  (PK) terutama pada masa kekuasaan VOC, Lihat, A. G. Hoekema, Berpikir Dalam Keseimbangan Yang Dinamis, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1997), hal. 25. 
[22]. Van den End-J. Weitjens, Op. Cit. hal. 145.
[23]. Pengambilalihan kekuasaan ini misalnya terjadi di Ambon sesudah Joseph Kam meninggal. Gereja tersebut diambil alih pemerintah Belanda, menjadi Gereja Protestan Di Hindia Belanda di mana Pendeta, Majelis gereja diangkat menjadi pegawai pemerintah (pegawai negeri).  
[24]. Zakaria Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme,Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia (1900-1950), (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1996), hal. 21.
[25]. Supri Na’a, Arkham M. Pibete, Sejarah Parigi, Hal. 11-13. Band. Hi. Hasim Marasobu, Sejarah Budaya Dan Hukum Adat Kerajaan Parigi, (Parigi: Perpustakaan Kabupaten Parigi Moutong), hal. 1.
[26]. Dalam suratnya kepada BPS GMIM tanggal 20 November 1939, G. A. Tenda menyatakan bahwa M. Larumpoa-lah guru djemaat pertama di wilayah Teluk Tomini. Lihat, Dr. M. C. Jongeling, Sejarah Singkat GPID, (Makassar, 1972), hal. 1.
[27]. Ongka terletak kira-kira 200 KM. ke sebelah utara kota Parigi, yakni jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi bagian utara.
[28]. Arsip Sinode GPID.
[29]. Kini komunitas Orang-orang Sangihe tersebut menempati daerah Sidoan, Bolong, Bondoyong dan Sipayo dan mereka sebagian besar adalah warga jemaat GPID. Dikemudian hari mereka ada yang menjadi warga GKST.
[30]. ”Donggala” di sini menunjuk pada kota Donggala sekarang yakni ibukota kabupaten Donggala sekarang.
[31]. Pada batu nisan orang Kristen tersebut tercatat tahun meninggal pada tahun 1910. Lokasi pekuburan Kristen di Donggala terletak di Gunung Bale yang diberikan oleh Raja Banawa.
[32]. Pdt. Waney telah diutus ke Donggala pada tahun 1934 kemudian pada tahun berikutnya dikirim lagi beberapa tenaga Pendeta dari GMIM. Lihat, F. K. Taga, 10 Tahun GPID, (Makassar: Skripsi Sarjana muda STT Intim, 1976),  hal. 26-27.
[33]. Sejarah Berdirinya Jemaat GPID Tiberias Walandano, (Palu: Arsip Sinode GPID). Persekutuan Kristen di tempat ini dimulai oleh 12 orang Minahasa yang memasuki tempat ini pada tahun 1910. Mereka kemudian memberitakan Injil kepada penduduk setempat setelah beradaptasi bahkan kawin mawin dengan mereka.
[34]. Arsip Sinode GPID.
[35]. Pendeta tersebut bernama Pdt. Paul. Lihat, M. C. Jongeling, hal. 2. 
[36]. Yang dimaksud dengan Lembah Palu adalah kota Palu sekarang dan sekitarnya, sebab kota ini berada dalam lembah yang di sekelilingnya adalah pegunungan. Pada zaman dahulu tempat ini bernama teluk Kaili.
[37]. Yang memberi nama Maesa adalah seorang dokter perempuan orang Minahasa yaitu dokter Gerungan. Cerita tentang nama “Maesa” ini ditemukan oleh penulis ketika penelitian lapangan. Sejak “Maesa” dijadikan sebagai sebuah Desa, kepala Desa selalu dijabat oleh orang Minahasa. Kepala Desa Maesa Pertama bernama No Londok. Kini karena pemekaran daerah, Maesa telah dimasukkan dalam Kelurahan Lolu.
[38]. Terutama mereka yang datang ke Palu dengan alasan merantau. Di antara tempat-tempat tersebut adalah Palolo dan ke arah Dolo. 
[39]. Banua Ntupu berarti Rumah Tuhan atau Rumah ber-Tuhan. Nam ini berasal dari bahasa Kaili yakni bahasa daerah Palu. Gereja inilah gereja pertama di kota Palu yang kemudian diberi nama Jemaat Pniel dan kemudian menjadi jemaat Getsmany setelah jemaat Pniel dipindahkan ke jalan Cik Di Tiro sekarang.
[40]. Berulangkali dalam sejarahnya, gereja maupun Negara dengan silih berganti ingin memisahkan diri antara gereja dan Negara, namun persoalan tersebut di Indonesia baru dapat diselesaikan pada tahun 1935.
[41]. G. P. H. Locher, Tata Gereja, Gereja Protestan Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,1997), hal. 70.
[42]. Lihat, Ch. De Jonge, Gereja Masehi Injili Di Minahasa 1934-1945 Berdiri Sendiri Di Bawah Perwalian, hal. 124-148, Dalam, Sularso Sopater (Peny), APOSTOLE PENGUTUSAN (Kumpulan Karangan Dalam Rangka Memperingati Hari Ulang Tahun Ke- 70 Prof. J. L. Abineno, 1987).
[43]. Ibid, hal. 131.
[44]. Lihat Pdt. DR. A. F. Parengkuan, Dalam, BPH GPI (ed), Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, (Jakarta: 2005), hal. 102.
[45]. Pada waktu itu GMIM memang telah menjadi Gereja Mandiri, namun masih dalam Perwalian di bawah naungan GPI.
[46]. Kini sekolah-sekolah tersebut telah menjadi sekolah negeri setelah pemerintah Jepang sempat berkuasa di Nusantara.
[47]. Seperti di Kulawi misalnya, orang-orang Rampi yang mengungsi dari Selatan pada awalnya menjadi warga jemaat pada jemaat-jemaat GMIM, di kemudian hari mereka membentuk jemaat-jemaat GKST, Lihat, Wajah GKST, Buku Kenangan 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso, (Tentena: Panitia Perayaan 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso, 1992), hal. 55. Demikian juga halnya di Palu, mereka mula-mula bergabung dalam jemaat Pniel Banua Ntupu (dilayani GMIM) yang ada di Maesa, kemudian memisahkan diri mendirikan jemaat-jemaat yang baru (GKST Dan Gereja Toraja). 
[48]. Pada masa tersebut, malah rumusan-rumusan dalam Tata gereja yang masih berbahasa Belanda diganti.
[49]. Baik di Parigi, Donggala dan di Palu jemaat-jemaat dapat beribadah seperti biasa karena hubungan mereka yang baik dengan raja-raja dan penduduk setempat yang beragama Islam yang diperlakukan istimewa oleh Jepang kendatipun memang tetap dituntut harus tetap waspada.
[50]. M. C. Jongeling, Op. Cit. Hal. 7.
[51]. Ibid.
[52]. Demikian keterangan Pdt. DR. Beatrix Lengkong, dalam, R. A. D. Siwu (Peny), Penugasan Agung, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 169.
[53]. Ibid.
[54]. Yan S Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 292 & 298.
[55]. M. Bahar Mattalioe, Pemberontakan Meniti Jalur Kanan, (Jakarta: Grasindo, 1994), hal. 183-186. Lihat pula Barbara Sillars Harvey, Pemberontakan Kahar Mudzakkar Dari Tradisi ke DI/TII, (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1989). Hal. 260.
[56]. Raja Kulawi (Raja Djiloy) menginstruksikan bawahannya yakni Kepala Kampung Toro yang saat itu dijabat oleh Kadera Lagimpu untuk memberikan lahan kepada pengungsi Rampi. Perintah itu disanggupi, dengan memberi lahan untuk didiami seperti di Bulukuku dan di Raupa dan juga di Lauwa sekarang. Sebenarnya orang-orang Rampi ini bukanlah yang pertama sekali memasuki daerah Kulawi, jauh sebelum pemberontakan DI/TII orang Rampi telah memasuki Kulawi dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan suku Kulawi.
[57]. Devia Tamma, Tongkonan Di Bumi Tadulako, Suatu Tinjauan Historis Tentang Persekutuan Gereja Toraja Di Kota Palu, (Palu: Skripsi STT. Marturia Palu, 2006), hal. 33.
[58]. Seperti di daerah Marawola dan Bora, mayoritas penduduknya dahulu adalah warga Bala Keselamatan, namun akibat pemberontakan DI/TII, kini hampir semua penduduk di daerah tersebut telah beragama Islam. Di wilayah Kecamatan Marawola misalnya, sampai sekarang masih dapat ditemukan sebuah kampung yang bernama “Kampung BK”, namun penduduknya sekarang hampir tidak ada lagi orang Kristen (warga Bala Keselamatan). 
[59]. Di daerah Palolo tepatnya di desa Rahmat sekarang masih terdapat warga Bala Keselamatan yang dulu melarikan diri dari pengislaman DI/TII di daerah Marawola. Mereka adalah penduduk asli daerah Donggala (suku Da’a).
[60]. Mereka yang secara paksa masuk Islam terdapat di Ongka dan di Ogotumubu.
[61]. Mereka ini adalah orang-orang Bali yang telah beragama Kristen.
[62]. Dahulu tempat ini disebut Pamelova yang terletak di antara Dolago dan Nambaru. Penduduk asli meyakini tempat ini angker sehingga dibiarkan begitu saja tanpa pernah diolah. Itulah sebabnya mereka tidak terlalu keberatan ketika orang-orang Bali mulai membuka tempat tersebut menjadi lahan pertanian. Namun, dikemudian hari setelah orang-orang Bali tersebut mulai berhasil, masyarakat setempat melalui LSM lokal menggugat lahan tersebut, untunglah persoalan tersebut dapat diatasi melalui campur tangan pemerintah setempat. Karena di tempat tersebut banyak kayu kuning, maka orang-orang Bali memberi nama Mas sari untuk tempat tersebut yang berarti kayu mas.
[63]. http://infokom-sulteng.go.id/transmigrasi, diakses tanggal 12 januari 2009.
[64]. Misalnya di Tolai, seorang Kepala Desa yakni Tumakaka malah sampai pergi ke Bali mencari orang-orang yang ingin transmigrasi ke daerah Parigi baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Hindu. Setelah tiba di Tolai, mereka ini ditempatkan berkelompok-kelompok menurut agama mereka masing-masing dengan tujuan untuk menghindari konflik yang berbau agama.
[65]. Alasan mereka pada umumnya adalah masalah tanah, sebab pada waktu itu ada opini yang berkembang di antara peserta transmigrasi bahwa lokasi yang disediakan/diperuntukkan untuk orang-orang (kelompok) kristen lebih subur dibandingkan dengan yang lain.
[66]. Lebih jelasnya, lihat R. Z. Leirissa, PRRI PERMESTA, (Jakarta: Grafiti, 1997).
[67]. R. Z. Leirissa, PRRI Permesta Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), Hal. 110-111.
[68]. Raja Lamarauna bersama beberapa penduduk Donggala sempat dipenjarakan di Manado, kemudian dibebaskan lagi.
[69]. Pasukan Permesta dan orang-orang Minahasa yang terlibat dengan Permesta yang berada di Kulawi terpaksa meninggalkan keluarga mereka dan melarikan diri melalui hutan. Gereja melayani keluarga yang ditinggalkan tersebut beberapa waktu lamanya.
[70]. F. K. Taga, Op. Cit. Hal. 28.
[71]. Arsip Sinode GPID.
[72]. Arsip Sinode GPID, Dokumen No. 06. C.
[73]. Lihat Tata Gereja GPID Bab II pasal 5.
[74]. Arsip Sinode GPID.
[75]. Laporan kerja Majelis Sinode Tahun 2003, hal. 29. Kini sekolah-sekolah tersebut bernaung di bawah Yayasan Pendidikan GPID.
[76]. Sistem organisasi Jemaat-Wilayah-Sinode berlaku di GPID hingga pada Tahun 2003, setelah itu terjadi perubahan yakni sesuai dengan keputusan Sidang Am Sinode GPID di Sumbersari pada tahun 2003 (arsip Sinode), menjadi Jemaat-Sinode. Dalam hal ini Wilayah dihapus. Lihat Tata Gereja GPID 2003 Bab V Pasal 9. Penghapusan Wilayah tersebut disebabkan keterbatasan dana di GPID, seringnya komunikasi antara Sinode dengan Jemaat hanya sampai di tingkat wilayah, seperti surat-surat dan demi merampingkan struktur organisasi di GPID.
[77].  M. C. Jongeling, Op. Cit. Hal. 10.
[78]. Pdt. Morens Lagimpu adalah Pendeta pertama penduduk asli daerah Donggala (Orang Kulawi). Kemudian menjadi Pendeta ABRI.
[79]. Alasan utama penghapusan kata “di” pada nama GPID adalah karena seringkali menimbulkan interpretasi yang keliru dengan memahami bahwa gereja ini hanya terdapat di Donggala saja. Padahal pada GPID sendiri melayani bukan hanya di Donggala saja melainkan di Kabupaten Donggala. Selanjutnya kata “Donggala” diartikan bukan lagi menunjukkan tempat tetapi adalah sebuah nama.
[80]. Lihat Peraturan Dasar GPID Bab I Pasal 1.
[81]. Pasal 3
[82]. “Wilayah” dimengerti sebagai suatu persekutuan dari beberapa Jemaat yang karena tempat dan lingkungannya merupakan satu wilayah pelayanan dalam lingkungan GPID. Wilayah, dalam hal ini dilayani oleh Majelis Wilayah. Lihat Tata Gereja GPID 1986 Bab IV Pasal 7 ayat 2.
[83]. Lihat Bahasan di atas.
[84]. Pada awalnya di GPID jabatan Diaken seperti yang digunakan saat ini masih menggunakan istilah “Syamas”. Penggantian Syamas menjadi Diaken mempunyai alasan yang menarik yakni bahwa pada sebuah kesempatan di salah satu Jemaat di wilayah Parigi Selatan yakni pada tahun 1987 Pdt. Tomy Malonda (Sekretaris Sinode 1984-1988) ditertawakan oleh seorang ibu warga jemaat (Suku Bali) karena memanggil seorang Syamas. Setelah ditelusuri, ternyata ibu tersebut tertawa karena “Samas” yang dalam pengucapannya hampir sama dengan “Syamas”, dalam bahasa daerah Bali berarti Empat ratus. Untuk lebih menghormati jabatan pelayanan ini terutama di kalangan jemaat Bali, maka kata “Syamas” kemudian diganti dengan “Diaken” dan mulai digunakan pada tahun 1988. Penggantian ini juga didasarkan bahwa kata Diaken lebih Alkitabiah dan lebih sering ditemukan dalam Alkitab. Penatua dan Syamas dipilih oleh sidi-sidi jemaat dan diurapi oleh Pendeta, sedangkan Pendeta, karena jabatannya langsung menjadi Majelis jemaat.   
[85]. Mereka-mereka inilah yang disebut sebagai “Pendeta angkatan” seperti yang pernah dikenal di GPID.
[86]. Pada tahun 1988 jabatan wakil ketua Sinode diadakan lagi setelah tahun tersebut Ketua Sinode meninggal dunia sebelum masa kerjanya berakhir, maka terjadilah Pejabat sementara untuk menggantikan Ketua sinode tersebut. Untuk itu diadakanlah Sidang Am Istimewa untuk memilih Pejabat Ketua Sinode Sementara.
[87]. M. C. Jongeling, Hal. 12.
[88]. Arsip Sinode tahun 2003.
[89]. Seperti halnya di Onu dan di Sigega. Pekabaran Injil selanjutnya dimulai kepada suku Da’a pada tahun 1986.
[90]. Mereka antara lain: B. Rumangkang (seorang Penatua), Filipus dan Kambuan. 
[91]. Karena faktor geografis yang sangat jauh dan terbatasnya dana yang dimiliki GPID, maka jemaat GPID yang terdapat di Kalimantan tersebut dikemudian hari diserahkan kepada GPIB.
[92]. Seperti halnya di Oti.
[93]. Orang-orang Sangihe di Kopi semula adalah pengungsi akibat meletusnya gunung merapi Siau. Mereka pertama-tama mengungsi ke Londoun di mana saudara-saudara mereka telah lebi dulu menetap di sana, yakni sejak zaman kolonial Belanda tahun 1939. Mereka termasuk dalam proyek kolonisasi pemerintah Belanda.
[94]. Pdt. M. Lumolos sebagai Pembantu rektor I Akademi Theologia GPID dan menjalankan tugas penuh sebagai rektor adalah seorang tamatan dari Akademi Theologia GMIM Tomohon pada tahun 1966. Pdt. M. Lumolos diutus oleh GMIM sebagai tenaga bantu ke GPID.
[95]. Materi Sidang AM XVIII Sinode GPID tahun 2003, Arsip Sinode.
[96]. Arsip Sinode tahun 2003.
[97]. Dalam Tata Gereja GPID tahun 2003 telah diatur tentang Pendeta yang serendah-rendahnya lulusan pendidikan Theologia yang diakui oleh GPID. Lihat Tata gereja GPID 2003 Peraturan tentang Pelayan-pelayan Khusus Bab II pasal 3 dan pasal 11.
[98]. Kumpulan-kumpulan yang dimaksud adalah seperti Ibadah rumah tangga, Pelayanan kategorial. 
[99]. Seperti halnya Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
[100]. Lihat laporan kerja Majelis Sinode Harian GPID pada sidang Am Sinode XVI GPID, tanggal 24-31 Oktober 1993 di Palu.
[101]. Arsip Sinode GPID.
[102]. Yang dimaksud dengan “Bagian Mandiri” ialah bahwa gereja-gereja tersebut mengurus tata gereja masing-masing. Lihat, BPH GPI, Sejarah Gereja Protestan Di Indonesia, hal. vi.
[103]. Lihat Tata Gereja GPID Tahun 2003. 
[104]. Keanggotaan GPID di DGI mulai efektif sejak tanggal 1 Januari 1970. Lihat M. C. Jongeling, Hal. 41.