Jumat, 26 Agustus 2011

gereja harus tingkatkan ibadah diakonis



BERIBADAH DIAKONIS DI TENGAH MASYARAKAT YANG PESIMISTIS
Pdt. Bendrio P Sibarani, M. Teol
Pendahuluan
            Ibadah tentu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keberagamaan, malah ibadah itulah roh dari agama. Sebagai roh dari agama maka ibadah menjadi pusat dari seluruh kehidupan beragama. Pengertian ibadah harus dipahami sesuai dengan essensi yang sebenar-benarnya agar tidak terjadi kesalahpamahan yang berakibat kekeliruan untuk melaksanakannya. Dalam kehidupan bergereja, ibadah dapat dibagi dalam dua bagian, yakni ibadah yang bersifat kultis dan ibadah diakonis. Kedua ibadah ini merupakan dua kesatuan yang tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lain. Masalahnya adalah penekanan pada ibadah kultis yang begitu tinggi seakan telah mengaburkan hakikat ibadah dari sebuah agama. Ibadah kultis, yang rutin dilaksanakan setiap hari Minggu, maupun dalam ibadah-ibadah kategorial serta ibadah perayaan hari-hari besar oleh gereja misalnya seakan menjadi muara dari semua ibadah orang Kristen, padahal di sekitar mereka terdapat begitu banyak problema kemanusiaan yang sangat kompleks, seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, degradasi moral dan pendidikan yang terabaikan, dan lain-lain.
Ibadah Diakonis
            Secara sederhana, ibadah Diakonis dapat diartikan sebagai bentuk atau pola beribadah untuk memuji Tuhannya dengan cara melayani sesama mereka yang membutuhkan. Ibadah diakonis sebenarnya bukanlah model beribadah yang baru bagi kekristenan. Jika kita meneliti sejarah gereja maka akan nyata, bahwa sejak kelahiran gereja ibadah diakonis adalah pola ibadah yang mereka lakukan. Dalam hal ini bukan berarti ibadah kultis tidak mereka hiraukan. Akan tetapi dalam ibadah kultis jemaat mula-mula misalnya, diakonia menjadi pusat dari ibadah mereka. Tanpa mempermasalahkan bentuk atau model gedung, menara gereja, maupun system organisasi mereka. Kendatipun sempat diklaim bahwa pola hidup beriman jemaat Kristen mula-mula menganut pola hidup system komunis, namun satu hal yang harus diingat bahwa mereka hidup demikian bukan karena sebuah system melainkan karena mereka benar-benar mengaplikasikan kasih yang sesungguhnya. Walaupun konsep berteologi jemaat mula-mula itu sangat dipengaruhi konsep eskatologis yang kurang tepat, akan tetapi pola ibadah yang mereka laksanakan pantas untuk diteladani oleh gereja masa kini.
Masyarakat Pesismistis
            Tak dapat dipungkiri, bahwa era globalisasi saat ini telah mengakibatkan pergeseran pola hidup dalam berbagai bidang dan di dalamnya turut berpengaruh pada pola hidup keberimanan orang-orang percaya. Pesimistis menjadi salah satu pola hidup manusia pada era sekarang ini, yang mempengaruhi keyakinan dan kepercayaannya dan juga keprihatinannya pada lingkungan di sekitarnya. Sikap pesimistis ini juga membuat orang semakin skeptis dan tidak lagi mempercayai orang-orang lain di sekitarnya, sehingga pada akhirnya melahirkan pola hidup yang individualistik. Akibatnya persekutuan tidak lagi memiliki makna dan harga akhirnya tidak lagi peduli dengan keadaan hidup orang lain. Di lain pihak masyarakat yang pesimistis seakan langsung menghakimi sesama mereka yang menderita dengan berpikir bahwa kondisi yang dialami mereka yang hidup menderita, miskin dan terbelenggu adalah akibat salah, kemalasan mereka sendiri. Demikian juga halnya dengan orang-orang miskin, mereka juga menjadi mencurigai sesama mereka yang hidupnya berkecukupan dengan berpikir bahwa jangan-jangan kekayaan mereka diperoleh dari hasil korupsi misalnya atau dengan cara yang tidak benar. Keadaan hidup seperti ini mengakibatkan makin lebarnya ketimpangan dan terdegradasinya persekutuan sebagai orang-orang percaya. Memang harus jujur diakui, bahwa ketimpangan sosial ekonomi juga terjadi di dalam gereja. Dikala gereja-gereja di kota, gereja-gereja yang berpendapatan tinggi sibuk berdiskusi tentang arsitektur gedung gereja mewah dan masalah pengaturan staf tata usaha, mereka terkadang seakan kurang peduli dengan saudara-saudara mereka yang tinggal di pedalaman yang sulit mendapatkan akses pendidikan, pangan dan sandang. Hal ini memang sangat membuat kita prihatin. Padahal gereja adalah mitra kerja Allah yang diutus ke dalam dunia, bukan dari dunia dank arena juga diharapkan tidak menjadi serupa dengan dunia ini. Pesismistis, yang telah merasuki hidup orang-orang percaya masa kini menjadi tantangan bagi gereja untuk lebih proaktif memberi pemahaman melalui pelayanan nyata bagi semua warganya tanpa terkecuali.
Galakkan Ibadah Diakonis
            Jika ditelusuri di gereja-gereja yang tergolong mapan dalam hal perekonomiannya, mungkin akan ditemui bahwa tidak sedikit dari gereja-gereja tersebut yang hanya gereja bagi dirinya sendiri, yakni barangkali pelayanannya melulu hanya bagi anggota jemaatnya saja. Gereja seharusnya keluar dari benteng-benteng pemahaman yang demikian. Gereja akan menjadi gereja apabila ia menjadi gereja bagi orang lain dan bukan hanya bagi dirinya sendiri. Menyikapi apa yang menjadi pergumulan kita masa kini di negeri ini, maka sudah saatnya gereja Tuhan menggalakkan kembali ibadah diakonis. Menolong mereka yang miskin, yang menderita yang terpenjara oleh kebodohan dan yang tergilas oleh perkembangan zaman. Ini adalah sebuah ungkapan yang hendak mengkritik kita sebagai gereja:


Saya kelaparan,
Dan anda membentuk kelompok diskusi untuk membicarakan kelaparan saya.
Saya terpenjara,
Dan anda menyelinap ke kapel anda untuk berdoa bagi kebebasan saya.
Saya telanjang,
Dan anda mempertanyakan dalam hati kelayakan penampilan saya.
Saya sakit,
Dan anda berlutut dan menaikkan syukur kepada Allah atas kesehatan anda.
Saya tak mempunyai tempat berteduh,
Dan anda berkhotbah kepada saya tentang kasih Allah sebagai tempat berteduh spiritual.
Anda begitu suci, begitu dekat kepada Allah, tapi saya tetap amat lapar, kesepian, dan kedinginan.
Penutup
            Sudah saatnya gereja bertindak karena apa yang diderita oleh sesama mereka adalah tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai bukti bahwa mereka benar-benar adalah pengikut Yesus Kristus. Menggalakkan ibadah diakonis dalam kehidupan gereja-gereja masa kini mestinya menjadi program bersama semua anak-anak Tuhan, tanpa memandang denominasi gereja masing-masing. Beribadah diakonis, berarti gereja Tuhan telah mewujudnyatakan kasih yang adalah inti ajaran kristiani. Gereja harus mengingat bahwa tidak ada kasih tanpa memberi. Oleh karena itu gereja harus memberi diri dan perhatian penuh bagi semua makhluk yang tertindas, terbelenggu, terpenjara, yang telanjang, kedinginan dan penderitaan lain yang dialami oleh mereka di sekitar kita. Suara kenabian ini harus bergema dalam hidup semua gereja. Tuhan ada di sana, di tengah-tengah penderitaan, karena itu mari kita menemui Dia di sana dengan kasih…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar