TUGAS PANGGILAN
GEREJA[1]
Pdt. Bendrio P.
Sibarani, M. Teol
I.
Pengantar
Berbicara tentang Tugas Panggilan
Gereja, bukan lagi pembicaraan yang asing bagi kita sekalian, khususnya kita
sebagai para Pelayan, baik Majelis Jemaat maupun Pengurus-pengurus Pelka. Ketika
mendengar Tugas Panggilan Gereja, pastilah terbesit di ingatan dan pikiran
kita, tugas itu ialah dalam hal; Persekutuan (Koinonia), Kesaksian (Marturia)
dan Pelayanan (Diakonia) atau yang
biasa disebut “Tri Tugas Panggilan Gereja”. Meskipun tiga tugas Panggilan
Gereja ini sudah bukan kata atau istilah yang asing dalam kehidupan bergereja,
akan tetapi pemaknaan dan pemahaman serta dalam aksi, tugas panggilan gereja
tersebut masih merupakan proses yang diharapkan selalu dinamis sehingga dalam
melaksanakan dan mewujudkan tugas pelayanan tersebut para pelayan Tuhan selalu
menuju pada kesempurnaan melayani Tuhannya.
Dalam Tata
Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)[2], Tugas
panggilan Gereja ini diuraikan dengan jelas pada Peraturan-peraturan Dasar Bab
VI Pasal 10;
Tugas Panggilan:
1.
Mewujudkan
persekutuan atas dasar Yesus Kristus, baik untuk seluruh jemaat GPID Maupun
dengan Gereja-gereja di Indonesia dan seluruh dunia (Koinonia)
2.
Memberitakan
Injil Kerajaan Allah Kepada semua bangsa dan segala mahluk (Marturia)
3.
Melaksanakan
pelayanan kasih kepada semua orang dan segala Mahluk (Diakonia)
Demikian
juga halnya dalam tugas panggilan Pelayanan Kategorial[3].
Dengan demikian, jelas bahwa mengenai
Tugas Panggilan Gereja telah dimuat dengan jelas dalam Tata Gereja GPID. Untuk
menyegarkan pemahaman kita kembali tentang Tugas Panggilan Gereja, baiklah kita
menyimak Makalah sederhana ini.
II. Tugas Panggilan Gereja
a.
Apa itu Tugas?
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, “ Tugas” diartikan sebagai: Kewajiban yang harus dikerjakan,
pekerjaan yang merupakan tanggungjawab; pekerjaan yang dibebankan; perintah
untuk berbuat atau melakukan sesuatu”.[4]
Dalam hubungannya dengan Gereja, maka dapat dipahami bahwa Tugas merupakan;
kewajiban atau tanggungjawab yang harus dilakukan oleh setiap Orang percaya
sesuai dengan maksud dan tujuan yang memberikan tugas tersebut, yaitu Tuhan
Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja.
b.
Panggilan
Kata “
Panggilan” berasal dari kata “Panggil”. Dalam hal ini, Tuhan Yesus Kristus Sang
Kepala Gerejalah yang memanggil kita Gereja-Nya untuk Datang kepada-Nya,
kemudian pergi bagi Dia. Jadi, “Panggilan”
dapat dipahami sebagai tindakan memberi diri secara total kepada Tuhan
Yesus bukan hanya untuk datang kepada-Nya, tetapi juga untuk pergi bagi Dia
(Pemanggilan dan pengutusan). Panggilan juga harus dipahami sebagai ajakan,
undangan untuk melakukan sesuatu pekerjaan sesuai dengan kehendak yang
memanggil, yakni Tuhan Yesus Kristus.
c.
Gereja
Gereja (ekklesia) yang berarti sidang, perkumpulan,
perhimpunan, paguyuban pada umumnya (seperti di kampung,
di kota atau negara). Kata ini juga yang kemudian dipakai gereja untuk menamai
kelompok orang yang percaya kepada Kristus setelah peristiwa salib dan
kebangkitan Yesus Kristus[5].
Menurut Robertus
Belarminos, Gereja adalah suatu bentuk manusia yang khusus.[6] Kata “Gereja” yang dipakai sekarang dan
digunakan secara luas dalam masyarakat Indonesia sesungguhnya berasal dari
bahasa Portugis[7]
yakni “Igreja” yang berarti
“persekutuan”. Gereja juga diyakini oleh orang-orang Kristen sebagai wahyu dari
Tuhan dalam arti yang sesungguhnya[8],
artinya Gereja adalah sesuatu yang benar-benar difirmankan oleh Allah untuk
dijadikan sebagai alat pemersatu dan sekaligus perekat semua orang Kristen
(pengikut Yesus Kristus).
Menurut John
Titaley, Gereja adalah organisasi keagamaan “universal” yang baru bermakna
dalam konteks sosial tertentu, walaupun secara teologis bisa dirumuskan sebagai
mitra kerja Allah yang ditempatkan dalam suatu konteks sosial tertentu.[9]
Gereja juga adalah praeformasi atau bentuk pendahuluan dari pada umat manusia
yang baru, gereja menuju kepada penyataan yang sepenuhnya dari kerajaan Allah
yang hidup dari dan dalam abad kebangkitan.[10] Gereja harus
dipahami sebagai sebuah terminologi yang mengikat pada masa dahulu, kini dan
pada masa yang akan datang.
1.
Gereja Sebagai
Persekutuan Orang Percaya
Gereja sebagai
persekutuan orang percaya merupakan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat
yang berbasis dan bertumpu pada ajaran-ajaran Injil yang mengikat erat
anggotanya dalam iman seorang dengan yang lain. Persekutuan Kristen pertama
kali dikenal dengan sebutan “Kristen” adalah di Antiokhia yakni di daerah Siria
(Kisah Para Rasul 11: 26). Orientasi kehidupan bergereja adalah Yesus Kristus,
yang melakukan kehendak Allah di dalam kebenaran dan kebangkitan Yesus, di mana
orang percaya dibangkitkan pada kehidupan baru ( Roma 6 : 4).
Gereja sebagai
persekutuan orang percaya juga harus dipahami sebagai persekutuan dengan
Kristus. Jikalau dalam suatu gereja Kristen persekutuan itu tidak ada, maka
Gereja tersebut tidak berhak disebut gereja.[11]
Akan tetapi persekutuan dengan Kristus itu tidak dapat dipisahkan pula dengan
persekutuan dengan sesama. Menurut Emill Bruner, “Secara vertikal hubungan itu
diwujudkan di dalam persekutuan dengan Allah, secara horizontal diwujudkan di
dalam persekutuan dengan sesama orang beriman (persaudaraan)”.[12]
Tuhan Allah sesungguhnya tidak hanya memanggil gereja sebagai gereja bagi diri
sendiri dan tersendiri, tetapi sebagai gereja yang hidup dan berjuang melayani,
dalam dan dengan sekitarnya. Gereja tidak akan mungkin dapat hidup menikmati
kesejahteraan total di atas kehancuran dunia sendirian, kalau dunia sekitar
hancur lebur, luluh lantak, gerejapun pada akhirnya akan luluh berguguran dan
akan lebur juga.[13]
Karena itu gereja berada di dalam dunia tetapi bukan dari dunia, diutus untuk
menjadi alat menghadirkan syalom di tengah-tengah dunia.
2.
Gereja Sebagai
Tubuh Kristus
Perjanjian Baru
menggunakan beberapa metafora yang berbeda-beda yang menjelaskan arti dan
fungsi gereja. Gereja disebut “Tubuh Kristus” (1 Kor. 10: 27; 12: 27; Ef. 1:
23; 4: 15; Kol. 1: 24), di mana orang dimasukkan ke dalamnya melalui babtisan
dan perjamuan kudus. Menurut H. Hadjiwijono, Gereja tidak
memiliki tujuan pada dirinya sendiri, melainkan dipanggil untuk menjadi sarana
berkembangnya kerajaan Allah.[14] Sering terlihat bahwa di dalam hidup
sehari-hari gereja sebagi lembaga belaka, sebagai organisasi dengan segala
kesibukannya, kebaktian hari Minggu, katekisasi, penyelidikan Alkitab,
komisi-komisi umur dan kesibukan lainnya. Dalam konteks seperti ini, banyak
orang memahami bahwa hubungan dengan Yesus Kristus sang kepala Gereja hanyalah
hubungan individual semata, seperti yang sering dipahami kalangan kharismatik.
Menurut E. G. Singgih, perkembangan pemahaman seperti ini di dalam jemaat, akan
berakibat kurang baik dan akan mengakibatkan makin mengaburnya nilai-nilai
hakiki dari pengertian Gereja sebagai “Persekutuan orang percaya dari segala
abad dan sepanjang zaman yang bergerak menuju kerajaan sorga seperti yang
terdapat dalam pengakuan iman Kristen”.[15] Dengan kata lain, kata Panenberg, karya
Kristus Tuhan pada manusia adalah untuk mengarahkan gereja kepada kerajaan
Allah yang mengatasi gereja.[16]
Karena itu gereja haruslah dipahami sebagai persekutuan orang percaya kepada
Yesus Kristus yang berada di dalam dunia sedang bergerak ke depan secara
bersama-sama menuju kepada satu tujuan.
1.
Koinonia
(bersekutu)
Koinonia berasal dari bahasa Yunani “Koinon” yaitu: Koinonein
artinya bersekutu, Koinonos artinya
teman, sekutu, Koinonia artinya
persekutuan. Kata: ”Koinonia” baik
dalam Alkitab, maupun dalam masyarakat Yunani pada waktu itu tidak terbatas pada
salah satu pengertian saja, melainkan mempunyai arti yang luas sesuai dengan konteksnya.
Di Kalangan masyarakat Yunani kata “koinonia”
seringkali dipakai untuk mengambarkan hubungan manusia dengan ilah-ilah.
Hubungan itu dibayangkan sebagai hubungan antar teman (koinonos). “Koinonein”
berarti bergaul secara akrab dengan ilah-ilah, supaya mencapai hubungan mistik
yang membawa kepada kebahagiaan yang hebat. Itulah sebabnya dalam Septuaginta, kata “koinonia” tidak pernah mengambarkan hubungan antara Allah dengan
manusia. Di dalam PL kata “hamba” (Ibr: ebed) dipakai, bukan teman untuk
menggambarkan hubungan Allah dengan manusia. Manusia adalah hamba Allah. Allah
sebagai khalik dan manusia sebagai mahluk. Namun dalam Perjanjian Baru ada
perubahan: karena melalui Yesus Kristus manusia dapat dipersatukan kembali
dengan Allah. Dalam Kristus, Allah datang dan menemui manusia.
Dalam PB kata “Koinonia”
mempunyai beberapa pengertian :
Ø Mengambil bagian bersama-sama
dengan orang lain dalam sesuatu.
Lukas 5: 10; waktu Tuhan Yesus menyuruh murid-murid menjala
ikan, maka mereka melaksanakan perintah Tuhan. Mereka mendapat banyak ikan.
Karena banyaknya, mereka semua harus mengambil bagian dalam hal menarik jala.
Di sini koinonia sebagai persekutuan para pekerja. Dalam I Kor 10: 16…, arti
persekutuan (koinonia) adalah
mengambil bagian dalam penderitaan dan kematian Yesus Kristus di dalam
persekutuan Perjamuan Kudus.
Ø Memberi bagian kepada seseorang
Sebagai contoh untuk memahami kononia dalam lingkup ini,
Filipi 4: 15 kata “mengadakan perhitungan” adalah terjemahan dari kata koinonein dalam arti memberi bagian.
Paulus memberi jemaat Filipi bagian dalam mengabarkan Injil, sedangkan jemaat
Filipi tanpa diminta memberi Paulus bagian untuk penghidupannya. Itulah salah
satu segi dari persekutuan yaitu saling memberi bagian kepada orang lain.
Ø Koinonia sebagai Persekutuan penuh (absolut)
Dalam Galatia 2: 9, digambarkan bahwa Paulus dan Bernabas
dengan berjabatan tangan sebagai tanda persekutuan diterima secara penuh dalam
persekutuan yang dijadikan oleh iman bersama kepada Kristus. Tanda hubungan
erat antara kedua belah pihak, bahwa mereka bersekutu dalam Kristus. Jadi koinonia (persekutuan) mempunyai dasar
dan tujuan yang berasal dari Yesus Kristus. Dasar dan tujuan ini tidak dapat
diganti dengan dasar dan tujuan yang lain. Jikalau persekutuan ini menganti
dasar, yang sudah diletakkan oleh dan di dalam Yesus Kristus maka persekutuan
ini kehilangan hakekatnya dan secara azasi bukan persekutuan (koinonia) lagi. Koinonia adalah persekutuan jemaat di dalam Kristus, walaupun
banyak anggota namun membentuk satu tubuh Kristus. Di dalam Koinonia ini kita
tidak hanya sekedar bersekutu, tetapi kita mengambarkan Injil Kerajaan Allah
melalui perkataan/kesaksian (Marturia) maupun perbuatan /pelayanan (Diakonia)
di mana dan kapan saja.
2.
Marturia
Berasal dari bahasa Yunani: “Marturia” : Kesaksian. “Marturein”:
Bersaksi. Marturein dalam Perjanjian
Baru memberi arti antara lain:
Ø Memberi kesaksian tentang fakta atau kebenaran (Lukas 24:
48; Matius 23: 31)
Ø Memberi kesaksian baik tentang seseorang (Lukas 4: 22; Ibr
2: 4)
Ø Membawakan khotbah untuk Pekabaran Injil (Kis 23:11) di sini
bersaksi sebagai istilah pengutusan/Pekabaran Injil.
Meskipun Kita bukanlah saksi mata dari karya penyelamatan
Yesus Kristus, tetapi kitalah saksi keyakinan (iman), dengan demikian hidup
kita harus berdasarkan iman tersebut. Allah mengutus anak-Nya Yesus Kristus,
Kristus pun mengutus murid-murid-Nya ke dalam dunia (Yoh 20: 21), supaya kabar
keselamatan (Injil) diproklamirkan. Tugas ini diberikan Allah kepada setiap
orang yang percaya dengan karunia masing-masing, agar dapat diwujudkan dalam
perkataan dan perbuatan.
3.
Diakonia
(Pelayanan)
Secara harafiah,
kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Dalam bahasa Ibrani
pertolongan, penolong, ezer dalam Kej. 2: 18, 20; Mzm. 121: 1. Diakonia
dalam bahasa Ibrani disebut syeret yang artinya melayani. Dalam
terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia disebutkan diakonia (pelayanan),
diakonein (melayani), dan diakonos/diaken (pelayan)[17].
Istilah
diakonia sebenarnya, sudah terlihat sejak dari Perjanjian lama.
Dalam Kitab Kejadian jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu
dari yang tidak ada menjadi ada (Ex
Nihilo) dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31)[18]
Dalam Perjanjian
Baru, di samping kata-kata ini terdapat 5 kata lain untuk melayani,
masing-masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam
terjemahan-terjemahan Alkitab kita pada umumnya diterjemahkan dengan kata
melayani yaitu:[19]
- Douleuein, yaitu melayani sebagai budak. Kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan dari orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi manusia jika ia dalam keadaan bebas. Perjanjian Baru, mula-mula memakai kata ini dalam arti biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada masa itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat arti religius. Orang Kristen adalah budak Tuhan Allah atau hamba Kristus Yesus (Rom. 1:1). Itu sesungguhnya merupakan suatu gelar kehormatan. Seorang Kristen tidak melakukan keinginan dan rencananya sendiri, tetapi keinginan dan rencana Tuhan Yesus yang telah melepaskannya dari belenggu dosa dan dengan demikian sudah membebaskannya.
- Leitreuein, yaitu melayani untuk uang. Kata bendanya latreia (pelayanan yang diupah) juga dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dalam PL, yaitu Septuaginta (LXX), kata ini terdapat kurang lebih 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan pada khususnya untuk pelayanan persembahan . Juga dalam Perjanjian Baru, kata ini menunjukkan pelayanan untuk Tuhan Allah atau dewa-dewa, tidak pernah untuk saling melayani manusia. Roma 12:1 menyebutkan logike latreia (ibadah yang sejati). Melayani Tuhan dengan tubuh, yaitu dengan diri sendiri dalam keberadaan yang sebenarnya adalah ibadah yang sesungguhnya dalam hubungan baru antar Kristus dan manusia.
- Leitourgein yaitu dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayanan umum bagi kesejahteraan rakyat dan negara. Dalam LXX arti sosial politik ini terutama dipakai di lingkungan pelayanan di kuil-kuil. Dalam Perjanjian Baru (khususnya surat Ibrani), kata ini menunjukkan kepada pekerjaan Imam besar Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Kor. 9:12, kata ini dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang miskin di Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata liturgi, yaitu suatu kata ibadah dalam peretemuan jemaat.
- Therapeuein yaitu menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik mungkin. Kata ini juga di tempat lain, dipakai sebagai sinonim dari menyembuhkan.
- Huperetein yaitu menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa pekerjaan itu dilakukan. Kata ini berarti si pelaksana memperhatikan instruksi si pemberi kerja.
Dari semua kata di atas yang artinya saling
berkaitan, kelompok kata diakonein mempunyai nuansa khusus, mengenai
pelayanan antarsesama yang sangat pribadi sifatnya. Kata-kata tersebut di atas
di sana-sini menunjukkan arti diakonal. Ada hubungan antara liturgi dan
diakonia, sementara therapeuo dalam arti perawatan orang sakit erat kaitannya
dengan apa yang dimaksudkan dengan diakonia.[20]
Secara umum, adapun model-model/
bentuk-bentuk diakonia dalam gereja terbagi atas tiga jenis, antara lain:
- Diakonia Karitatif. Diakonia karitatif mengandung pengertian perbuatan dorongan belas kasihan yang bersifat kedermawanan atau pemberian secara sukarela. Motivasi perbuatan karitatif pada dasarnya adalah dorongan prikemanusiaan yang bersifat naluriah semata-mata. Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan karitatif atau amal berdasar pada Mat. 25:31-36. Model ini merupakan model yang dilakukan secara langsung, misalnya orang lapar diberikan makanan (roti).[21]Diakonia ini didukung dan dipraktikkan oleh instansi gereja karena dianggap dapat memberikan manfaat langsung yang segera dapat dilihat dan tidak ada risiko sebab didukung oleh penguasa. Diakonia jenis ini merupakan produk dan perkembangan dari industrialisaasi di Eropa dan Amaerika Utara pada abad ke-19.
- Diakonia Reformatif atau Pembangunan. Model diakonia ini lebih menekankan pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah Community Development seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam, dan lain-lain. Analogi model ini adalah bila ada orang lapar berikan makanan (roti, ikan) dan pacul atau kail supaya ia tidak sekedar meminta tetapi juga mengusahakan sendiri.[22] Pada jenis ini, diakonia tidak lagi sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian, tetapi mulai memberikan perhatian pada penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman modal pada kelompok masyarakat.
- Diakonia Transformatif. Dalam perspektif ini, diakonia dimengerti sebagai tindakan Gereja melayani umat manusia secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi-sektoral (ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama). Diakonia bukan lagi sekedar tindakan-tindakan amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan) yang dilakukan oleh Gereja melainkan tindakan-tindakan transformatif yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya yang menandakan datangnya Kerajaan Allah. Diakonia ini bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian dan lain-lain, tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup.[23] Diakonia transformatif atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata terbuka. Artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.
Demikianlah
secara umum uraian tentang Tugas Panggilan Gereja. Walaupun tugas panggilan
tersebut dapat diuraikan menjadi tiga pokok, namun harus diketahui dan dipahami
bahwa ketiga tugas Panggilan Gereja tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, di mana
orang percaya bersaksi dan melayani, di sana pula ia mesti bersekutu, juga
sebaliknya. Di beberapa Gereja ada lagi satu tugas yang biasa disebut, yakni; Didaskhein
(Pengajaran), dalam hal ini adalah Pengajaran Agama Kristen. Tugas yang
satu ini tidak kalah penting dengan tiga tugas panggilan yang disebut di atas.
Pengajaran Agama Kristen adalah juga bagian yang tidak terpisahkan dari ketiga
Tugas Panggilan Gereja (Bersekutu, Bersaksi dan Melayani)[24].
III.
Penutup
Demikianlah
secara umum mengenai Tugas Panggilan Gereja. Semoga Paper sederhana ini berguna
memotivasi kita untuk lebih mendalami hakekat tugas Panggilan kita dalam
melayaniNya melalui Pelayanan Kategorial di jemaat-jemaat-Nya. Tuhan Memberkati.
Abo, Februari 2014
[1] . Disampaikan Pada Kegiatan
Pembinaan KOMPELKA BIPRA GPID, Rayon Pantai Barat, Jumat, 21
February 2014
[2] . Majelis Sinode GPID, Tata
Gereja GPID, (Palu: Sinode GPID, 2012)
[3] . Lihat Tata Gereja GPID,
Peraturan Tentang Pelayanan Kategorial Bab I Pasal 2
[4]
. Tim Prima Pena, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gitamedia Press,tt), pada kata “Tugas”
[5]. B. S. Mardiatmadja, Ekklesiologi Makna dan
Sejarahnya, (Jogjakarta: Kanisius, 1991), hal. 56-57
[6] . Lihat Abery Dulles, Model-model Gereja, (Ende: Nusa indah,
1990), hal. 16.
[7] . JS. Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1996), di
bawah kata “Gereja”
[8] . W. L. Welhig, Sejarah Gereja Kristus 1, (Yogjakarta:
Kanisisus, 1972), hal. 8
[9] . Weinata Sairin- J. M.
Pattiasina (peny), Op. cit. , hal. 36
[10] .J. Verkuyl, Ras, Bangsa, Gereja Negara, (Jakarta: Badan
Penerbit Kristen, 1958), hal. 263
[11] . H. Berkhof-I. H. Enklar, Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK. Gunung
mulia, 2000), hal. vii
[12] . Harun Hadjiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke- 20,
(Jakarta: BPK. Gunung mulia, 2000), hal. 46
[13] . Soegeng Hardianto dalam, Agama
dan Dialog, Balitbang PGI (Peny), (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
2001), hal. 233-235.
[14]. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika; Suatu kompendium singkat,
(Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
1993), hal. 182
[15] . Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi, (Yogjakarta:
Taman Pustaka Kristen, 1997), hal. 5
[16] . Abery Dules, Op. cit. , hal.
97
[17]. Noordegraaf, Orientasi
Diakonia Gereja, (Jakarta:
BPK. Gunung Mulia, 2004), hal. 2
[18].
W.S. Lassor, Pengantar Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 2001), hal. 122
[19].
Noordegraaf, Op. Cit., hal. 2
[20]. Ibid., hal. 3
[21]. Novembri Choeldahono, “Gereja,
Lembaga Pelayanan Kristen dan Diakonia Transformatif” dalam
Agama Dalam Praksis, Th. Kobong (Ed.), (Jakarta: BPK.
Gunung Mulia, 2003), hal. 48-49
[22]. Ibid.,
hal. 50-51
[23]. Ibid. , hal. 53
[24]. Di GPID, Tugas Yang satu ini
tidak diuraikan terpisah dengan Tri Tugas Panggilan Gereja lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar