NEKSUS NEGARA DAN PEREMPUAN
Oleh Pdt. Bendrio P. Sibarani, M. Teol
Persoalan bagaimana
perempuan menempatkan diri tercermin dari penerimaan atau penolakan perempuan
terhadap citra yang dilekatkan oleh pihak eksternal terhadap dirinya atau
posisi yang diberikan terhadap dirinya, baik di ranah domestik maupun di ranah publik.
Dalam hal ini ada dua macam sikap perempuan, yakni :
1. Perempuan yang pasrah dan bahkan menikmati
pembatasan-pembatasan
struktural atau
kultural terhadap mereka.
2. Perempuan menolak dan
memberontak kemudian berjuang untuk
memperoleh hak-haknya
sebagai manusia yang utuh.
Penempatan atau pemosisian perempuan oleh Negara tercermin dari pikiran dan
perilaku para negarawan dan birokrat politik dan juga kebijakan - kebijakan negara
atau dengan kata lain politisi, birokrat dalam negara menentukan dan sangat
mempengaruhi posisi perempuan dalam Negara.
Agama dan Tradisi
Agama ( karena di dalam kitab – kitab suci
klasik perempuan dituntut untuk tunduk kepada laki – laki ) dan tradisi sangat
mempengaruhi pemosisian perempuan, Perempuan bisa terkontruksi menjadi makhluk
yang tunduk yang pada akhirnya posisinya hanya di ranah domestik. Tetapi agama
dan tradisi juga dapat merekontruksi posisi tersebut dengan cara rekontruksi pemikiran
keagamaan atau redefinisi nilai – nilai sosial di masyarakat sehingga terbangun
sistem nilai yang adil antara perempuan dan laki – laki.
Simbolisasi Perempuan
Simbol-simbol yang terbangun di dalam
masyarakat juga mempengaruhi pemosisian perempuan. Namun simbolisasi tersebut
seringkali dimanfaatkan oleh laki-laki hanya sekedar pemanis untuk menenangkan
perempuan atau sebagai pembungkus nilai-nilai patriarki. Secara simbolik
sebenarnya perempuan mendapat posisi yang terhormat dalam imajinasi orang
Indonesia, yakni sebutan persada nusantara dengan “ ibu pertiwi “ demikian juga di jawa yang meyakini Dewi Sri
sebagai lambang kesuburan tanah pertanian. Dalam hal ini tanah dimaknai sebagai
entitas yang bersifat feminis. Pengakuan dan penghargaan yang tercermin di dalam
simbolisasi perempuan seringkali dibelokkan untuk memberi penegasan bahwa
tempat yang cocok bagi perempuan adalah rumah. Konsekuensi ekstrim dari
pembelokan seperti ini adalah perempuan tidak layak masuk ke ranah publik sebab
itu adalah dunianya laki – laki. Kalaupun perempuan mau masuk ke ranah publik,
ranah domestik haruslah tetap menjadi peran primernya. Di situlah perempuan
menerima beban ganda selain pencari nafkah rumah tangga ia juga tetap ibu rumah
tangga. Pengotakan perempuan di ranah domestik ini diperkuat dengan munculnya
idiom tentang perempuan yang bersifat denotative (merendahkan derajat). Perempuan
juga kadangkala dijadikan property dan simbol kekayaan laki-laki seperti halnya
yang terjadi di dalam kebudayaan jawa. Demikian juga halnya ketika perempuan
dijadikan objek pemuasan hedonisme seks laki-laki (contohnya yang terjadi di
dalam kerajaan jawa tempo dulu).
Kartini: Simbol Emansipasi Perempuan
Sosok Kartini pantas dibicarakan dalam rangka
berbicara tentang gerakan perempuan di negeri ini. Walaupun sebenarnya Kartini
tidak membuat gerakan emansipasi secara langsung, tetapi dari surat menyurat
yang dilakukannya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda telah melahirkan
inspirasi yang sangat berharga bagi gerakan emansipasi perempuan dikemudian
hari. Di dalam surat-suratnya tersebut tersirat gagasan progresif dan
revolusioner tentang emansipasi. Kartini terobsesi mengeluarkan perempuan dari penjara domestik dan
menjadikan perempuan sebagai manusia utuh sama dengan laki-laki. Untuk itu
perempuan harus belajar menjadi manusia produktif, menjadi subjek bukan objek.
Lahirnya gerakan perempuan-perempuan (poetri mardiko, wanita oetomo, aisyia,
dll, terutama dengan kongres perempuan I 1928 di Yogyakarta) merupakan
pengejawantahan dari perjuangan Kartini sebelumnya.
Strategi Perjuangan Perempuan
Perjuangan perempuan
dimulai dengan apa yang dinamakan sebagai gerakan perempuan dalam pembangunan (
women in development ) yang dominan pada akhir dekade 1960-an
dan sepanjang dekade 1970-an. Gerakan ini menawarkan strategi
pembangunan yang meletakkan perempuan sebagai aset dan sasaran, bukan beban
pembangunan. Dengan meningkatkan produktivitas, pendapatan perempuan dan
kemampuannya dalam mengatur rumah tangga serta mengintegrasikan perempuan dalam
proyek dan hal lainnya telah meningkatkan angka partisipasi perempuan dalam
proses pembangunan, akan tetapi tidak dalam tingkat keberdayaan mereka. Dengan kata lain konsep kesetaraan gender
belum ditonjolkan dan gerakan ini belum diarahkan terhadap struktur dan kultur sosial
yang bias gender.
Perjuangan selanjutnya
diwujudkan dalam strategi Gender dan pembangunan (Gender and development).
Gerakan ini populer pada dekade 1980-an yang didasarkan pada anggapan bahwa
persoalan dalam pembangunan adalah adanya hubungan gender yang tidak adil.
Untuk itu isu-isu gender sangat perlu untuk di kedepankan dalam memerangi
ketidakadilan. Gerakan ini menghasilkan hal penting yakni diterimanya konvensi
global anti segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pengesahan undang-undang
no. 8 tahun 1978 oleh pemerintah merupakan langkah maju yang menunjukkan diterimanya konvensi
tersebut. Lahirnya platform for action tahun 1985 dalam konferensi PBB di Beijing
memperkuat strategi ini. Sehingga gender diharapkan menjadi arus utama dalam
pembangunan.
Kepedulian Negara Terhadap Perempuan
Kepedulian negara terhadap perempuan sudah
nampak sejak dari pemerintahan Sukarno yakni diberinya hak-hak termasuk dalam
politik bukan hanya memilih tetapi juga untuk duduk di parlemen. Demikian juga
dalam masa pemerintahan Suharto, perempuan mengalami kemajuan yang berarti
dengan dibentuknya satu lembaga dalam pemerintahan
dengan nama kementerian muda urusan wanita yang kemudian beberapa kali
mengalami perubahan nama dan peningkatan perannya. Perubahan ini lebih nyata ketika dibentuknya
menteri negara pemberdayaan perempuan pada tahun 2000. Selanjutnya atas kinerja
kementerian ini lahirlah inpres no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender
yang tercermin melalui kebijakan-kebijakan negara (salah satunya dalam strategi
nasional penanggulangan kemiskinan).
Peran Masyarakat Sipil
Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang mewakili masyarakat sipil juga turut memperjuangkan kesetaraan dan
mengatasi persoalan tentang perempuan. Banyaknya LSM yang berkecimpung dalam perjuangan
perempuan membuktikan bahwa masyrakat sipil pada dasarnya telah memainkan peran
penting dalam memperjuangkan perempuan.
Kemajuan Perempuan
Harus diakui bahwa
perempuan Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan, akan tetapi pada tingkat
tertentu masih terdapat banyak ketimpangan gender. Dalam bidang pendidikan
misalnya, partisipasi perempuan dan laki – laki telah sama dalam pendidikan dasar, tetapi pada
pendidikan yang lebih tinggi gap laki-laki dengan perempuan semakin
nampak. Demikian juga dalam kesehatan. Perempuan telah memperoleh pelayanan
kesehatan yang lebih baik, tetapi dalam keselamatan ibu melahirkan masih nampak jumlah kematian yang cukup tinggi
demikian juga aborsi yang dilakukan masih banyak menghilangkan nyawa perempuan.
Di ranah publik kelihatan bahwa perempuan telah banyak berkarya, namun jika
dibandingkan dengan laki-laki tetap saja masih ada ketimpangan yang menyolok.
Demikian juga menyangkut upah kerja, perempuan masih menerima diskriminasi
dimana upah kerja laki-laki tetap lebih tinggi dari upah kerja perempuan.
Tanggapan
A. Mengenai ajaran agama yang bisa menjadi faktor yang meminggirkan
perempuan berdasarkan ajaran agama menurut isi kitab-kitab klasik pada dasarnya
adalah hal yang perlu diluruskan. Pertanyaannya adalah benarkah ajaran agama
bermaksud demikian ataukah penganut-penganut agama tersebut yang menafsirkannya
demikian ataukah pula penganut-penganut (laki-laki) agama yang menjadikan
ayat-ayat kitab sucinya melegalkan tindakannya untuk mendiskriminasikan
perempuan demi kepentingannya? Sebab ajaran agama perlu ditafsirkan sedemikian
rupa baik berdasarkan teks kitab suci maupun konteksnya. Demikian juga halnya
dengan tradisi. Tradisi terbangun dalam budaya (patriarkhi) yang
dipengaruhi oleh berbagai sistem nilai yang di dalamnya juga agama berada. Jadi
ketika ajaran agama diyakini melegalkan pendiskriminasian perempuan, maka pada
tradisipun demikian.
B. Pemosisian perempuan yang nampak di dalam masyarakat berdasarkan
simbolisasi yang makna sebenarnya hendak menjelaskan posisi perempuan yang yang
terhormat, memang sangat dipengaruhi oleh pemaknaan simbol. Kenapa hal ini
terjadi, menurut kami adalah bahwa simbolisasi perempuan seperti yang diuraikan
malah dianggap kalimat perumpamaan yang mengandung makna yang lain dan
ditafsirkan menurut kepentingan masig-masing orang. Di sini lagi-lagi terjadi
interpretasi yang keliru atau mungkin disengaja. Kalaupun simbolisasi tersebut
diakui, tetapi kerapkali itu di lakukan hanya sekedar lips service untuk
menenangkan perempuan.
C. Mengenai strategi perjuangan perempuan pada dasarnya terletak pada
bagaimana kesungguhan perempuan melakukannya. Perempuan sebenarnya berjuang
untuk merobah sistem dan menghancuran interpretasi yang keliru dari laki-laki
terhadap posisi mereka. Gerakan perempuan dalam pembangunan pada akhir dekade
1960-an dan di sepanjang 1970-an yang merupakan strategi mereka dianggap kurang
berhasil, terutama dalam keberdayaan. Kenapa ini terjadi, sebab perempuan
kelihatannya dalam perjuangannya melupakan konsep kesetaraan atau dengan
kalimat lain bisa dikatakan bahwa perempuan kurang memikirkan posisi mereka dengan
laki-laki dalam strategi pembangunan tersebut. Selanjutnya, gerakan gender dan
pembangunan yang dilakukan perempuan patut diacungkan jempol tetapi harus
diakui bahwa gerakan ini perlu dipahami dengan seksama baik oleh perempuan
sendiri terlebih oleh laki-laki sehingga gender tidak diartikan sebagai sebuah
gerakan yang hendak memposisikan diri di atas laki-laki melainkan untuk mensejajarkan
diri dengan laki-laki tanpa merubah hakikat sebagai perempuan.
D. Kepedulian negara terhadap perempuan sejak masa pemerintahan Sukarno
hingga pada masa kini walaupun ada peningkatan yang menggembirakan, namun terus
terang harus diakui bahwa negara masih memperlakukan perempuan warga kelas dua
sesudah laki-laki baik dalam pemerintahan, legislatif, politik, dan lain
sebagainya. Perempuan masih seringkali dijadikan objek baik dalam pembangunan
maupun dalam hukum. Misalnya : Perempuan dianggap masih belum mampu melindungi
diri mereka sendiri, sehingga perlu membuat UU perlindungan terhadap mereka
oleh negara, demikian juga dengan kuota bagi perempuan dalam legislatif masih
ditentukan oleh kebijakan partai politik maupun pemerintah. Jadi perempuan
masih harus melanjutkan perjuangan mereka untuk menggapai apa yang diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar