GEREJA
PROTESTAN INDONESIA DONGGALA
DAN
PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN
A. Pendahuluan
Berbicara
tentang perempuan di dalam kehidupan bergereja, untuk sekarang ini, telah
mengalami perkembangan dan kemajuan yang signifikan. Ini terlihat bahwa secara
umum gereja-gereja yang ada di Indonesia telah melibatkan secara aktif
perempuan dalam pelayanannya termasuk menjadi pelayan khusus (pendeta, penatua
dan diaken). Malah yang lebih menggembirakan ialah bahwa tidak sedikit
teolog-teolog perempuan yang berbakat dan menjadi pemimpin di dalam gereja. Ketika
perempuan mulai terlibat langsung dan aktif dalam pelayanan gereja. Nyata bahwa
paling tidak telah terjadi pergeseran paradigma gereja dalam
menginterpretasikan tempat perempuan dan siapa perempuan menurut Alkitab.
Secara khusus di dalam gereja-gereja Protestan di Indonesia, pergeseran
paradigma berteologi tentang perempuan tersebut semakin nyata apabila
dibandingkan dengan sejarahnya pada masa silam ketika memulai kehadirannya di
Indonesia. Sejarah pekabaran Injil yang diprakarsai secara khusus oleh gereja
protestan dari Belanda hampir tidak menyinggung keterlibatan
perempuan-perempuan baik sebagai pendeta maupun zendeling.
Ketika
perempuan mulai memasuki ranah publik dalam hal ini dalam struktur kepemimpinan
gereja, persoalan mengenai peran perempuan di dalam gereja belumlah selesai, sebab
ternyata kehadiran Pendeta, Penatua dan Diaken perempuan tidak serta merta
membuat peranan perempuan-perempuan lain (yang bukan pendeta, penatua atau
diaken) nampak dengan jelas. Gereja
masih mempunyai pekerjaan rumah mengenai hal ini. Kendatipun harus diakui bahwa
pada dasarnya untuk saat ini gereja-gereja telah memberi ruang yang lebar bagi
perempuan-perempuan untuk mengekspresikan imannya bersama kaum laki-laki yang
dahulu sering menomorduakannya termasuk di dalam gereja.
Untuk
membahas pokok kajian seperti yang tertera di atas, maka penulis memfokuskan
penulisan ini pada Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)[1] yakni dalam pogram kerjanya untuk
meningkatkan peranan perempuan baik di dalam gereja itu sendiri maupun peranan
perempuan di ranah domestik dan juga di ranah publik yang lain. Mengapa Gereja
ini yang dipilih, alasannya adalah untuk memudahkan penulis mengkajinya sebab
penulis adalah seorang pendeta yang melayani di gereja ini dan ikut terlibat
langsung dalam program pelayanan gereja, termasuk dalam hal meningkatkan
peranan perempuan. Perempuan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka
(perempuan) yang adalah warga jemaat Gereja Protestan Indonesia Donggala
terutama mereka yang berusia dewasa (pemudi sampai dengan ibu-ibu).
B. Peranan Perempuan Di Dalam Alkitab
1. Perjanjian Lama
Sejak dari awalnya manusia sudah
diciptakan Allah sebagai laki-laki dan perempuan yang adalah sama-sama ahli
waris baik atas citra Illahi maupun bagi kekuasaan atas bumi. Keduanya
(laki-laki dan perempuan) adalah sama-sama memperoleh predikat istimewa yakni
segambar dengan Allah (imago Dei). Sejak semula yakni dalam kisah
penciptaan, Alkitab telah memberi kesaksian tentang perempuan dan kedudukannya
dengan laki-laki dalam memainkan peranannya sebagai partner Allah dalam
melakukan misi- Nya di tengah-tengah dunia ini. Perempuan dalam konteks
penciptaan diciptakan oleh Tuhan dengan maksud agar laki-laki (Adam) yang
diciptakan- Nya itu tidak seorang diri. Konsep penciptaan perempuan yakni:
”...tidaklah baik laki-laki sendirian saja” hendak menunjukkan bahwa perempuan
dibutuhkan untuk kebersamaan, keakraban untuk segala bidang, demikian juga
halnya bahwa perempuan juga membutuhkan laki-laki untuk hal yang sama.[2] Dengan kata lain perempuan diciptakan agar
bersama-sama dengan laki-laki melaksanakan amanat Tuhan di dalam dunia ciptaan-
Nya (Band. Kej 1: 26-2: 25). Perempuan juga berperan sebagai bidan, Seperti
halnya Sifra dan Pua yang membantu proses bersalin bagi ibu-ibu ibrani (Kel.
1:15-21). Pada perkembangan selanjutnya termasuk dalam keberagamaan umat Israel,
perempuan juga kemudian berperan sebagai nabiah yakni; Miryam (Kel 15: 20),
Debora (Hak 4), Hulda (2 Raja-raja 22:14; 2 Taw 4: 22), dan juga istri nabi
Yesaya (Yes. 8:3). Selain sebagai Nabi, ternyata perempuan-perempuan juga telah
terlibat dalam jabatan hakim kala itu sepert Miryam dan Debora. Peranan
perempuan yang lainnya dapat dikatakan sebagai peranan yang sangat penting,
seperti dalam pengambilan keputusan yang dilakukan Rut (Rut 1:16) dan juga
seorang pahlawan pembebasan yang dilatarbelakangi semangat nasionalisme seperti
halnya Ester (Est. 1-10). Peran yang dimainkan perempuan-perempuan ini
merupakan bukti Alkitabiah yang menegaskan bahwa ternyata perempuan tidak pernah
luput dari dan untuk karya Tuhan.
2. Perjanjian Baru
Perjanjian
Baru yang diawali dengan kelahiran Yesus Kristus merupakan suatu zaman baru, di
mana konsep perjanjian Allah diperbaharui kembali di dalam Yesus Kristus,
manusia dibebaskan dari kuk dosa yang membelenggunya sejak kejatuhan manusia ke
dalam dosa. Memulai karya penyelamatan- Nya tersebut, Allah telah melibatkan
perempuan dari sejak semula. Peranan perempuan dapat dilihat pada dua orang
perempuan yakni Maria (ibu Yesus) dan Elisabeth (ibu Yohanes). Maria dipakai
sebagai sarana kedatangan juruselamat dan Elisabeth dipakai juga sebagai sarana
bagi kehadiran Yohanes perintis jalan Tuhan. Peranan lainnya adalah sebagai
pelayan (Maria, Yohana, Susan dan Marta, Luk. 8:1-3; 10: 40) dan sebagai murid
yang mendengarkan pengajaran Yesus (Maria, Luk. 10: 39, 42). Peranan perempuan
selama zaman Yesus (Perjanjian Baru) terus berlangsung hingga babak akhir
kehadiran Yesus di dalam dunia. Pada peristiwa kebangkitan misalnya,
perempuan-perempuanlah (Maria magdalena, Yohana dan Maria ibu Yakobus) saksi
pertama dari kebangkitan Kristus.
Pada
jemaat mula-mula perempuan juga telah memainkan perannya di dalam kehidupan
gereja, Febe berperan sebagai pemimpin jemaat (band. Roma 16: 1), Priskila
sebagai pemimpin jemaat rumah (1 Kor. 16:19), Lidia sebagai donatur dan
penyokong tugas-tugas pelayanan Paulus (Kis. 16: 14-25), bersaksi, mengajar dan
menolong adalah juga peran yang dimainkan perempuan, dalam hal ini Trifena dan
Trifosa (Rm. 16: 12), perempuan sebagai pengusaha, yakni Lidia (Kis. 16: 14).
Dorkas dan Tabita juga dicatat sebagai perempuan yang berperan dalam pelayanan
gereja pada waktu itu secara khusus dalam berdiakonia. Peranan perempuan di
dalam Perjanjian Baru ternyata sungguh beragam dan malah tidak kalah penting
dengan peranan laki-laki. Sebagian malah tercatat sebagai pemimpin jemaat, itu
membuktikan bahwa perempuan di mata gereja adalah orang yang sama kedudukannya
dengan laki-laki, bukan warga kelas dua atau kelas berikut. J. Darminta, Sj,
menyimpulkan bahwa secara singkat hakekat perempuan dalam terang Illahi ialah diciptakan untuk memberikan hidup dan untuk hidup
memberikan diri.[3]
Artinya bahwa perempuan dituntut untuk memainkan peranannya sesuai dengan yang
apa yang dimilikinya seperti halnya perempuan-perempuan di dalam Alkitab. Di
samping untuk memberikan hidup, misalnya melahirkan, menyusui dan merawat serta
membesarkan anak-anaknya, perempuan juga harus memberikan diri bagi kehidupan
di sekitarnya.
C. Pelayanan Perempuan Dalam Gereja
Tradisi patriarkh yang berlaku dalam
kehidupan orang Yahudi telah menggeser isi dan hakekat Kitab Suci yang
berbicara tentang perempuan. Fanatisme kelaki-lakian ternyata bukan hanya
berlaku di dalam pemikiran orang-orang ateis seperti halnya Plato yang mengatakan
bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja
dilahirkan demikian akibat kekurangan si ayah atau akibat pengaruh jahat angin
selatan yang lembab[4], tetapi juga dalam kehidupan orang-orang
Yahudi yang adalah umat percaya. Bagi orang Yahudi menjadi atau dilahirkan
sebagai perempuan adalah nasib yang malang, sebaliknya dilahirkan sebagai
laki-laki adalah kesukaan yang istimewa, seperti terungkap dalam doa pagi yang
diucapkan oleh anak lelaki Yahudi yang bersyukur karena dirinya tidak
diciptakan sebagai perempuan. Hal ini tercantum dalam talmud orang Yahudi.
Selanjutnya, yang memprihatinkan lagi
adalah keterlibatan bapak-bapak gereja yang karena dipengaruhi budaya Yunani
dan Talmud tersebut mengakibatkan wibawa Alkitab terpinggirkan. Di antara
mereka malah ada yang merendahkan perempuan sebagaimana halnya dengan
Tertullianus yang menulis bahwa perempuan
adalah pintu masuk iblis, perusak meterai pohon (terlarang), pelanggar pertama
hukum Illahi, perempuan yang membujuk laki-laki sehingga jatuh ke dalam dosa,
bahkan gara-gara perempuanlah, sehingga kematian menjadi ganjaran manusia dan
juga Yesus anak Allah.[5] Menurut Muhadjir M Darwin; nilai-nilai
sosial, baik yang bersumber dari agama maupun tradisi dapat menjadi faktor yang
meminggirkan[6].
Pendapat ini memang benar, tetapi sepertinya kurang berani mengatakan bahwa
memang tradisi dan agamalah faktor yang selama ini cenderung meminggirkan
perempuan termasuk gereja di dalamnya sebelum abad 20- an. Pada perkembangan
selanjutnya, gereja mulai mengalami pergeseran paradigma tentang perempuan
secara khusus di dunia barat. Perempuan mulai memperoleh tempat di dalam
pelayanan gereja sekitar tahun 1960- an yakni sebagai pemimpin gereja.
Peranan perempuan di dalam gereja selama
ini memang cenderung sebatas jemaat biasa yang tidak mempunyai tempat dalam
pelayanan kepemimpinan gereja, kalaupun itu ada, paling-paling mereka di
tempatkan di bidang yang mengurusi konsumsi maupun pelayanan khusus perempuan.
Sebenarnya perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk
menjadi pelayan Tuhan di dalam gereja. Semua jabatan dan golongan dalam gereja
terbuka bagi perempuan dan laki-laki meskipun kenyataannya tidak berarti
perempuan diwakili dengan jumlah yang sama, atau secara proporsional dengan
jumlah perempuan dalam gereja. Pada umumnya perempuan dan laki-laki
berpartisipasi sama di tingkat lebih rendah, sedangkan di tingkat-tingkat
otoritas dan pembuatan keputusan maupun kebijakan yang lebih tinggi, laki-laki
masih mendominasi. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri sebab pada salah satu
pihak, perempuan juga terkadang sudah terpola dengan warisan tradisi patriark
dan merasa puas dengan posisinya di ranah domestik. Kasus yang menggembirakan
mengenai perempuan di dalam gereja diuraikan oleh Janet Crawfort yakni
penahbisan pendeta perempuan di gereja Anglikan. Peristiwa ini sangat menarik
dan mendapat perhatian banyak kalangan sebab di sana sini ada pro dan kontra[7].
Khusus di gereja-gereja protestan di Indonesia, peranan perempuan sebagai
pendeta ataupun menjadi pemimpin gereja di tingkat sinodal bukan lagi sesuatu
yang jarang. Dalam pengambilan keputusanpun perempuan telah banyak terlibat
aktif. Kendatipun memang sebelum abad 20 pemandangan seperti itu jarang bahkan
tidak terlihat.
Perempuan di dalam pelayanan gereja boleh
dikata telah menerima hak yang sama dengan laki-laki, walaupun memang masih
banyak ditemukan bahwa acapkali laki-laki masih terus berupaya mendominasi. Hal ini tidak terlepas dari tradisi lokal
setiap gereja yang mana sistem patriarh masih dipegang kuat.
D. Peranan Perempuan Di Dalam Gereja
Protestan
Indonesia Donggala
Gereja Protestan Indonesia Donggala yang hadir
dan melayani di tengah masyarakat Sulawesi Tengah yang sedang membangun perlu
terus memotivasi para perempuan gereja agar mereka sebagai bagian dari
perempuan Indonesia mengambil bagian secara aktif dalam kegiatan pembangunan,
dari format yang paling kecil hingga format yang lebih besar. Upaya seperti itu
sebenarnya telah dimulai sejak lama oleh gereja protestan Indonesia donggala
(GPID) dengan memberikan visi
Teologis bahwa perempuan dan laki-laki
adalah sama di hadapan Allah, sama-sama diciptakan oleh Allah, sama-sama dipanggil
oleh Allah untuk melaksanakan tugas dan panggilannya di tengah dunia ini seperti
yang dikehendaki Allah.
Secara Teologis, sebenarnya tidak ada lagi
persoalan mengenai perempuan dalam hal peranannya baik di dalam gereja maupun
di ranah publik lainnya. Hambatan atau tantangan yang masih terasa dan dihadapi
perempuan dalam rangka memainkan peranannya di luar ranah domestik datang dari
dimensi kultural atau tradisi, jadi bukan lagi dari yang bersifat Teologis.[8] Demikian juga sebenarnya yang terjadi
pada gereja protestan Indonesia Donggala yang tak bisa tidak harus berjumpa dan
beriteraksi dengan tradisi dan budaya mengakibatkan persoalan mengenai peran
perempuan tak kunjung tuntas untuk dibicarakan. Keadaan ini diperumit lagi
dengan situasi dan koteks GPID yang sangat majemuk (latar belakang gereja,
suku, budaya, adat-istiadat, bahasa, dan pola hidup lainnya yang sangat
majemuk). Sebagai gereja yang menjung-jung tinggi imamat Am orang percaya, GPID
tidak membedakan laki-laki maupun perempuan di dalam pelayanan gereja Tuhan.
Memang harus diakui bahwa hingga saat ini belum ada perhatian khusus yang
diberikan oleh gereja terhadap persoalan pemosisian perempuan baik di dalam
gereja maupun di ranah publik lainnya. Kemajuan yang dicapai oleh GPID
sepertinya hanya mengikuti perkembangan zaman dan pergeseran paradigma di
masyarakat, pemerintahan dan gereja-gereja secara umum tentang pemosisian
perempuan di dalam pelayanan gereja Tuhan. Dalam tata gereja GPID tidak ada
point khusus yang berbicara mengenai gender
ataupun point khusus yang mengatur pendeta laki-laki atau pendeta perempuan
secara tersendiri. Pada salah satu pihak ini bisa dikatakan bahwa GPID tidak
lagi mempersoalkan jabatan pendeta bagi perempuan, dan di pihak yang lain GPID
juga bisa dikatakan tidak memperhatikan hal ini sebagai persoalan yang perlu
dibahas karena kurangnya perhatian akan persoalan ini.[9]
Selain menjadi pendeta, perempuan di GPID
juga mempunyai ruang khusus dalam bentuk komisi pelayanan kategorial (KOMPELKA)
yakni komisi pelayanan untuk perempuan atau kaum ibu. Komisi tersebut
sepenuhnya dipimpin oleh perempuan mulai dari unsur ketua hingga
anggota-anggotanya dan ketuanya otomatis masuk dalam jajaran pimpinan di
tingkat sinode[10].
Pemosisian perempuan dalam hal ini sudah menggembirakan. Pelayanan kategorial
khusus perempuan dan kaum ibu ini bukan hanya pelengkap struktur organisasi
gereja, melainkan mereka juga di beri ruang untuk mengekspresikan imannya
sebagai perempuan melalui program pelayanan di tingkat KOMPELKA tadi. Jika
dilihat dari program tahunan yang disusun oleh kompelka perempuan, nyata bahwa
kesadaran perempuan di GPID sudah mulai maju. Program kompelka perempuan
ternyata bukan lagi melulu pada bidang kultis ataupun diakonis, tetapi juga
sudah mulai memikirkan perjuangan gender, misalnya dalam keputusan sidang
kompelka perempuan/kaum ibu di tingkat sinode tahun 2008, mereka sepakat
merobah penggunaan kata ”wanita” menjadi ”perempuan” dalam lagu mars perempuan
GPID dengan alasan bahwa pengertian wanita cenderung dipahami lebih rendah
derajatnya dengan istilah perempuan.[11]
Dalam penggunaan ”tuan rumah” misalnya, perempuan GPID merobahnya menjadi
”Nyonya rumah”. Selain pergeseran pemahaman ke arah yang lebih baik, perempuan
GPID juga berjuang untuk memikirkan hari yang bersejarah bagi mereka, yakni
dengan menetapkan hari ulang tahun kompelka perempuan. Peranan perempuan di
dalam GPID sudah dapat dikatakan sejajar dengan peranan laki-laki, kendatipun
memang hingga saat ini jumlah perempuan yang menjadi majelis sinode Cuma satu
orang dan belum pernah menduduki jabatan yang lebih tinggi di tingkat sinode.
Mengenai jumlah perempuan yang menjadi pelayan-pelayan khusus (penatua dan
diaken) di tiap-tiap jemaat sangat bervariasi selalu dipengaruhi tingkat
rendahnya semangat tradisi patriarkh di tengah masyarakat di mana gereja itu
hadir. Biasanya di jemaat perkotaan peranan perempuan lebih nampak apabila
dibandingkan di jemaat pedesaan yang masih kuat pengaruh tradisi
patriarkhalnya. Di samping keengganan perempuan itu sendiri menjadi pemimpin di
dalam gereja yang sekaligus pemimpin atas laki-laki, perempuan juga menghadapi
tantangan dari pihak laki-laki yang dituakan di dalam jemaat (tua-tua jemaat).
E. Gereja Protestan Indonesia Donggala dan
Peningkatan
Peranan Perempuan
Setelah
menguraikan seperti apa peranan peranan perempuan di dalam Gereja Protestan
Indonesia Donggala, maka kini yang perlu dikaji ialah sejauh mana dan apa yang
dilakukan oleh gereja protestan Indonesia Donggala (GPID) dalam rangka
meningkatkan peranan perempuan bukan hanya di dalam gereja, di ranah domestik
tetapi juga di ranah publik lainnya. Untuk itu ada baiknya mengkajinya dalam
beberapa point menurut ranah-ranah tersebut.
1. Di dalam Gereja
Sepintas lalu telah disinggung di atas bahwa
GPID tidak lagi mempermasalahkan posisi perempuan menjadi pendeta maupun
menjadi penatua/diaken baik di tingkat jemaat maupun di tingkat Sinode. Peranan
perempuan di dalam gereja dianggap penting sehingga tidaklah mengherankan
apabila belakangan ini pendeta GPID lebih banyak perempuan daripada laki-laki.
Dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di dalam gereja, GPID pada dasarnya
telah melakukan berbagai upaya di antaranya, melakukan pelatihan secara khusus
bagi ibu-ibu/perempuan dalam bidang pelayanan gerejawi, seperti misalnya
menagemen/administrasi gerejawi, kepemimpinan kristen dan pelatihan lainnya
yang bertujuan memperlengkapi perempuan untuk pelayanan gereja. Program
pelathan seperti ini biasanya difasilitasi oleh majelis sinode melalui kompelka
perempuan kaum ibu tingkat sinode. Program pelatihan ini boleh dikata berhasil,
di mana perempuan-perempuan sudah mulai berani menunjukkan diri mampu menjadi
pelayan-pelayan gereja Tuhan.
Selain pembinaan atau pelatihan,
perempuan-perempuan GPID juga dibekali dengan pengetahuan teologi praktis
terutama mereka yang menjadi pengurus di kompelka perempuan/kaum ibu di
jemaat-jemaat dengan harapan peranan mereka akan lebih dirasakan oleh jemaat.
Program ini sepenuhnya ada dalam kendali majelis sinode melalui bidang
Pembinaan Warga Gereja.
2.Di ranah Domestik
Peranan perempuan di ranah domestik
sebenarnya tidak lagi diragukan sebab pada umumnya orang yang dipengaruhi
tradisi patriarkhal memahami bahwa ranah domestik adalah istana perempuan.
Namun, kendatipun demikian, GPID tetap merasa bahwa perempuan tidak boleh
berpuas diri di ranah domestik dengan di tiga medan pelayanannya kasur, dapur
dan sumur. Artinya bahwa perempuan juga mempunyai peluang untuk mengembangkan
dirinya menjadi manusia yang produktif (bukan hanya melahirkan anak). Untuk
itu, GPID membuat program pelatihan khusus bagi perempuan/ibu-ibu, diantaranya
pelatihan menjahit, memasak kue dan pengembangan industri rumah tangga yang
setiap tahunnya dilaksanakan di pusat ppendidikan dan pelatihan GPID. Program ini dirasa sungguh berhasil
terlebih dikarenakan persaingan hidup yang semakin ketat seperti sekarang ini. Untuk
mendukung program tersebut biasanya Sinode menyediakan anggaran untuk menopang
anggaran yang memang selalu diusahakan oleh perempuan/kaum ibu itu sendiri.
Demikian juga dalam hal peningkatan gizi dan kesehatan keluarga,
perempuan-perempuan/kaum ibu- lah yang sepenuhnya terlibat. Program ini semua
bertujuan untuk meningkatkan peranan perempuan khususnya di ranah domestik.
3. Di Ranah Publik
Mengenai
program gereja dalam peningkatan peran perempuan di ranah publik boleh dikata
belum terlihat sama sekali. Hingga saat ini belum ada program khusus yang
diselenggarakan gereja yang bertujuan untuk meningkatkan peranan perempuan di
ranah publik. Biasanya perempuan-perempuan memperoleh pembinaan maupun
pelatihan mengenai politik misalnya, belum pernah secara khusus bagi perempuan.
Demikian juga dengan kepemimpinan di ranah publik lainnya, perempuan sangat
sedikit mendapatkan pembekalan dari pihak gereja, seperti perempuan yang
menjadi tenaga kesehatan (suster atau dokter) misalnya, belum pernah terdengar
memperoleh pembinaan dari gereja bersangkut paut dengan profesinya tersebut.
Kalaupun itu ada, paling-paling terjadi pada waktu pastoral pendeta. Ini
menunjukkan bahwa persoalan pemosisian perempuan di ranah publik diaggap
bukanlah masalah yang serius bagi gereja. Akibatnya adalah perempuan-perempuan
yang beraktivitas di ranah publik seringkali tidak mampu memposisikan dirinya
sebagai perempuan kristen yang sesungguhnya di tengah interaksi sosialnya
sehari-hari.
Usaha
peningkatan peranan perempuan di ranah publik oleh GPID pada dasarnya masih
jauh dari yang diharapkan. Seharusnya masalah peningkatan peranan perempuan di
ranah publik adalah juga tanggung jawab gereja. Dalam program sinode baik
jangka pendek maupun jangka panjang belum terlihat sejauh mana langkah-langkah
yang diambil gereja guna memperjuangkan warga jemaatnya (secara khusus
perempuan) mampu mengikuti kompetisi persaingan di ranah publik. Hal ini adalah
suatu kelemahan gereja-gereja secara umum. Gereja memang masih dikuasai tradisi
historis gereja dari zaman zending, yang menganggap tabu hal-hal yang duniawi
dibicarakan di dalam gereja. Misalnya saja, hingga saat ini gereja belum
mencapai kata sepakat atas persoalan politik dan gereja dan pelayan gereja.
Pemimpin-pemimpin gereja sepertinya dipaksa oleh tradisi untuk tidak
membawa-bawa masalah politik untuk dibicarakan di dalam gereja termasuk di
dalam kompelka perempuan/kaum ibu. Melalui perjumpaannya dengan tradisi
patriarkhal yang mulai tergeser dalam kehidupan masyarakat, gereja juga kiranya
semakin membuka diri mengkaji dan terus berupaya meningkatkan peranan perempuan
di ranah publik.
F. Penutup
Menutup uraian ini maka berdasarkan
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan sebenarnya telah memainkan
perannya di ranah yang strategis dalam rangka karya Allah bagi dunia ini. Sejak
dalam zaman perjanjian Lama hingga pada zaman Perjanjian Baru bahkan hingga
pada zaman jemaat kristen mula-mula, perempuan telah berperan aktif dan
memperoleh tempat-tempat yang special oleh Allah. Tapi patut disayangkan bahwa
kemudian, intepretasi atas kisah-kisah perempuan tersebut diselewengkan oleh
penganut agama perjanjian lama dan juga oleh bapak-bapak gereja. Ternyata bukan
hanya tradisi dan kultur yang melakukan diskriminasi kepada perempuan, tetapi
agama juga turut di dalamnya. Jika ditelusuri dalam sejarah gereja, perempuan
demikian juga peranan mereka sepertinya hilang lenyap. Kita tidak mendengar
istilah ibu-ibu gereja, yang ada adalah bapak-bapak gereja. Pembahasahan di
tiap-tiap konsilipun kita tidak mendengar perjuangan terhadap pemosisian
perempuan di dalam gereja yang ada adalah persoalan hakekat Maria. Ini
merupakan sejarah hitam bagi gereja yang melupakan jasa perempuan dalam karya
Allah bagi penyelamatan dunia ini.
Bersyukurlah
bahwa di abad-abad ke- 20 ini, gereja-gereja sudah mulai sadar dan merasa bahwa
sudah saatnya merekontruksi kembali pemahamannya tentang perempuan dan
perannya. Namun ketika kesadaran itu bangkit, gereja masih juga gagal
meningkatkan peranan perempuan terutama di ranah publik. Gereja-gereja
cenderung hanya memfokuskan perhatiannya bagaimana peranan perempuan di gereja
dan di ranah domestik dapat ditingkatkan, tanpa menganggap penting peningkatan
peranan perempuan di ranah publik. Hal ini juga terjadi dan dialami oleh Gereja
Protestan Indonesia Donggala. Padahal ranah publik juga adalah tempat di mana
perempuan dapat dengan leluasa mengekspresikan diri dan imannya, sebab
kesaksian dan pelayanan perempuan juga sangat dibutuhkan di ranah publik.
[1].
Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) adalah gereja yang bernaung dalam
Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang melayani di wilayah Sulawesi Tengah. GPID berdiri sejak 4 April 1964 dengan
sinode sendiri, tepatnya di Jl. Kijang Raya no. 14 Palu, Sulawesi Tengah.
[2]. Lihat, Ruth Tiffani Barnhouse,
Identitas Wanita, (Yogjakarta: Kanisius, 1998), hal. 15.
[3]. J. Derminta Sj, Perempuan Di Hadapan
Hidup Dan Allah, (Yogjakarta: Kanisius, tt), hal. 31.
[4]. John Stott mengutipnya dalam buku, Isu-isu
Global, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005), hal. 334
[5]. Ibid, hal. 335
[6]. Muhadjir M. Darwin, Negara dan
Perempuan, (Jakarta:Media Wacana, 2005), hal. 19.
[7]. Lebih lengkapnya, lihat, Jeanne Becher, Perempuan,
Agama dan Seksualitas, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001), hal.310-312
[8]. Lihat, Pdt. Weinata Sairin, Iman
Kristen dan Pergumulan Kekinian, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1994), hal.49
[9]. Lihat Majelis Sinode GPID, Tata
Gereja Protestan Indonesia Donggala, khususnya pada bab III, (Palu: GPID, 2008), hal. 5.
[10]. Ibid, hal. 44-49
[11]. Materi hasil keputusan sidang kompelka
perempuan/kaum ibu tingkat sinode GPID 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar