Minggu, 02 Oktober 2011

GEREJA PROTESTAN INDONESIA DONGGALA
DAN PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN
A. Pendahuluan
            Berbicara tentang perempuan di dalam kehidupan bergereja, untuk sekarang ini, telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang signifikan. Ini terlihat bahwa secara umum gereja-gereja yang ada di Indonesia telah melibatkan secara aktif perempuan dalam pelayanannya termasuk menjadi pelayan khusus (pendeta, penatua dan diaken). Malah yang lebih menggembirakan ialah bahwa tidak sedikit teolog-teolog perempuan yang berbakat dan menjadi pemimpin di dalam gereja. Ketika perempuan mulai terlibat langsung dan aktif dalam pelayanan gereja. Nyata bahwa paling tidak telah terjadi pergeseran paradigma gereja dalam menginterpretasikan tempat perempuan dan siapa perempuan menurut Alkitab. Secara khusus di dalam gereja-gereja Protestan di Indonesia, pergeseran paradigma berteologi tentang perempuan tersebut semakin nyata apabila dibandingkan dengan sejarahnya pada masa silam ketika memulai kehadirannya di Indonesia. Sejarah pekabaran Injil yang diprakarsai secara khusus oleh gereja protestan dari Belanda hampir tidak menyinggung keterlibatan perempuan-perempuan baik sebagai pendeta maupun zendeling.
            Ketika perempuan mulai memasuki ranah publik dalam hal ini dalam struktur kepemimpinan gereja, persoalan mengenai peran perempuan di dalam gereja belumlah selesai, sebab ternyata kehadiran Pendeta, Penatua dan Diaken perempuan tidak serta merta membuat peranan perempuan-perempuan lain (yang bukan pendeta, penatua atau diaken)  nampak dengan jelas. Gereja masih mempunyai pekerjaan rumah mengenai hal ini. Kendatipun harus diakui bahwa pada dasarnya untuk saat ini gereja-gereja telah memberi ruang yang lebar bagi perempuan-perempuan untuk mengekspresikan imannya bersama kaum laki-laki yang dahulu sering menomorduakannya termasuk di dalam gereja.
            Untuk membahas pokok kajian seperti yang tertera di atas, maka penulis memfokuskan penulisan ini pada Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID)[1] yakni dalam pogram kerjanya untuk meningkatkan peranan perempuan baik di dalam gereja itu sendiri maupun peranan perempuan di ranah domestik dan juga di ranah publik yang lain. Mengapa Gereja ini yang dipilih, alasannya adalah untuk memudahkan penulis mengkajinya sebab penulis adalah seorang pendeta yang melayani di gereja ini dan ikut terlibat langsung dalam program pelayanan gereja, termasuk dalam hal meningkatkan peranan perempuan. Perempuan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka (perempuan) yang adalah warga jemaat Gereja Protestan Indonesia Donggala terutama mereka yang berusia dewasa (pemudi sampai dengan ibu-ibu).

B. Peranan Perempuan Di Dalam Alkitab
1. Perjanjian Lama
Sejak dari awalnya manusia sudah diciptakan Allah sebagai laki-laki dan perempuan yang adalah sama-sama ahli waris baik atas citra Illahi maupun bagi kekuasaan atas bumi. Keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah sama-sama memperoleh predikat istimewa yakni segambar dengan Allah (imago Dei). Sejak semula yakni dalam kisah penciptaan, Alkitab telah memberi kesaksian tentang perempuan dan kedudukannya dengan laki-laki dalam memainkan peranannya sebagai partner Allah dalam melakukan misi- Nya di tengah-tengah dunia ini. Perempuan dalam konteks penciptaan diciptakan oleh Tuhan dengan maksud agar laki-laki (Adam) yang diciptakan- Nya itu tidak seorang diri. Konsep penciptaan perempuan yakni: ”...tidaklah baik laki-laki sendirian saja” hendak menunjukkan bahwa perempuan dibutuhkan untuk kebersamaan, keakraban untuk segala bidang, demikian juga halnya bahwa perempuan juga membutuhkan laki-laki untuk hal yang sama.[2]  Dengan kata lain perempuan diciptakan agar bersama-sama dengan laki-laki melaksanakan amanat Tuhan di dalam dunia ciptaan- Nya (Band. Kej 1: 26-2: 25). Perempuan juga berperan sebagai bidan, Seperti halnya Sifra dan Pua yang membantu proses bersalin bagi ibu-ibu ibrani (Kel. 1:15-21). Pada perkembangan selanjutnya termasuk dalam keberagamaan umat Israel, perempuan juga kemudian berperan sebagai nabiah yakni; Miryam (Kel 15: 20), Debora (Hak 4), Hulda (2 Raja-raja 22:14; 2 Taw 4: 22), dan juga istri nabi Yesaya (Yes. 8:3). Selain sebagai Nabi, ternyata perempuan-perempuan juga telah terlibat dalam jabatan hakim kala itu sepert Miryam dan Debora. Peranan perempuan yang lainnya dapat dikatakan sebagai peranan yang sangat penting, seperti dalam pengambilan keputusan yang dilakukan Rut (Rut 1:16) dan juga seorang pahlawan pembebasan yang dilatarbelakangi semangat nasionalisme seperti halnya Ester (Est. 1-10). Peran yang dimainkan perempuan-perempuan ini merupakan bukti Alkitabiah yang menegaskan bahwa ternyata perempuan tidak pernah luput dari dan untuk karya Tuhan.

2. Perjanjian Baru
            Perjanjian Baru yang diawali dengan kelahiran Yesus Kristus merupakan suatu zaman baru, di mana konsep perjanjian Allah diperbaharui kembali di dalam Yesus Kristus, manusia dibebaskan dari kuk dosa yang membelenggunya sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa. Memulai karya penyelamatan- Nya tersebut, Allah telah melibatkan perempuan dari sejak semula. Peranan perempuan dapat dilihat pada dua orang perempuan yakni Maria (ibu Yesus) dan Elisabeth (ibu Yohanes). Maria dipakai sebagai sarana kedatangan juruselamat dan Elisabeth dipakai juga sebagai sarana bagi kehadiran Yohanes perintis jalan Tuhan. Peranan lainnya adalah sebagai pelayan (Maria, Yohana, Susan dan Marta, Luk. 8:1-3; 10: 40) dan sebagai murid yang mendengarkan pengajaran Yesus (Maria, Luk. 10: 39, 42). Peranan perempuan selama zaman Yesus (Perjanjian Baru) terus berlangsung hingga babak akhir kehadiran Yesus di dalam dunia. Pada peristiwa kebangkitan misalnya, perempuan-perempuanlah (Maria magdalena, Yohana dan Maria ibu Yakobus) saksi pertama dari kebangkitan Kristus.
            Pada jemaat mula-mula perempuan juga telah memainkan perannya di dalam kehidupan gereja, Febe berperan sebagai pemimpin jemaat (band. Roma 16: 1), Priskila sebagai pemimpin jemaat rumah (1 Kor. 16:19), Lidia sebagai donatur dan penyokong tugas-tugas pelayanan Paulus (Kis. 16: 14-25), bersaksi, mengajar dan menolong adalah juga peran yang dimainkan perempuan, dalam hal ini Trifena dan Trifosa (Rm. 16: 12), perempuan sebagai pengusaha, yakni Lidia (Kis. 16: 14). Dorkas dan Tabita juga dicatat sebagai perempuan yang berperan dalam pelayanan gereja pada waktu itu secara khusus dalam berdiakonia. Peranan perempuan di dalam Perjanjian Baru ternyata sungguh beragam dan malah tidak kalah penting dengan peranan laki-laki. Sebagian malah tercatat sebagai pemimpin jemaat, itu membuktikan bahwa perempuan di mata gereja adalah orang yang sama kedudukannya dengan laki-laki, bukan warga kelas dua atau kelas berikut. J. Darminta, Sj, menyimpulkan bahwa secara singkat hakekat perempuan  dalam terang Illahi  ialah diciptakan  untuk memberikan hidup dan untuk hidup memberikan diri.[3] Artinya bahwa perempuan dituntut untuk memainkan peranannya sesuai dengan yang apa yang dimilikinya seperti halnya perempuan-perempuan di dalam Alkitab. Di samping untuk memberikan hidup, misalnya melahirkan, menyusui dan merawat serta membesarkan anak-anaknya, perempuan juga harus memberikan diri bagi kehidupan di sekitarnya.     

C. Pelayanan Perempuan Dalam Gereja
Tradisi patriarkh yang berlaku dalam kehidupan orang Yahudi telah menggeser isi dan hakekat Kitab Suci yang berbicara tentang perempuan. Fanatisme kelaki-lakian ternyata bukan hanya berlaku di dalam pemikiran orang-orang ateis seperti halnya Plato yang mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dilahirkan demikian akibat kekurangan si ayah atau akibat pengaruh jahat angin selatan yang lembab[4], tetapi juga dalam kehidupan orang-orang Yahudi yang adalah umat percaya. Bagi orang Yahudi menjadi atau dilahirkan sebagai perempuan adalah nasib yang malang, sebaliknya dilahirkan sebagai laki-laki adalah kesukaan yang istimewa, seperti terungkap dalam doa pagi yang diucapkan oleh anak lelaki Yahudi yang bersyukur karena dirinya tidak diciptakan sebagai perempuan. Hal ini tercantum dalam talmud orang Yahudi.
Selanjutnya, yang memprihatinkan lagi adalah keterlibatan bapak-bapak gereja yang karena dipengaruhi budaya Yunani dan Talmud tersebut mengakibatkan wibawa Alkitab terpinggirkan. Di antara mereka malah ada yang merendahkan perempuan sebagaimana halnya dengan Tertullianus yang menulis bahwa perempuan adalah pintu masuk iblis, perusak meterai pohon (terlarang), pelanggar pertama hukum Illahi, perempuan yang membujuk laki-laki sehingga jatuh ke dalam dosa, bahkan gara-gara perempuanlah, sehingga kematian menjadi ganjaran manusia dan juga Yesus anak Allah.[5] Menurut Muhadjir M Darwin; nilai-nilai sosial, baik yang bersumber dari agama maupun tradisi dapat menjadi faktor yang meminggirkan[6]. Pendapat ini memang benar, tetapi sepertinya kurang berani mengatakan bahwa memang tradisi dan agamalah faktor yang selama ini cenderung meminggirkan perempuan termasuk gereja di dalamnya sebelum abad 20- an. Pada perkembangan selanjutnya, gereja mulai mengalami pergeseran paradigma tentang perempuan secara khusus di dunia barat. Perempuan mulai memperoleh tempat di dalam pelayanan gereja sekitar tahun 1960- an yakni sebagai pemimpin gereja.
Peranan perempuan di dalam gereja selama ini memang cenderung sebatas jemaat biasa yang tidak mempunyai tempat dalam pelayanan kepemimpinan gereja, kalaupun itu ada, paling-paling mereka di tempatkan di bidang yang mengurusi konsumsi maupun pelayanan khusus perempuan. Sebenarnya perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk menjadi pelayan Tuhan di dalam gereja. Semua jabatan dan golongan dalam gereja terbuka bagi perempuan dan laki-laki meskipun kenyataannya tidak berarti perempuan diwakili dengan jumlah yang sama, atau secara proporsional dengan jumlah perempuan dalam gereja. Pada umumnya perempuan dan laki-laki berpartisipasi sama di tingkat lebih rendah, sedangkan di tingkat-tingkat otoritas dan pembuatan keputusan maupun kebijakan yang lebih tinggi, laki-laki masih mendominasi. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri sebab pada salah satu pihak, perempuan juga terkadang sudah terpola dengan warisan tradisi patriark dan merasa puas dengan posisinya di ranah domestik. Kasus yang menggembirakan mengenai perempuan di dalam gereja diuraikan oleh Janet Crawfort yakni penahbisan pendeta perempuan di gereja Anglikan. Peristiwa ini sangat menarik dan mendapat perhatian banyak kalangan sebab di sana sini ada pro dan kontra[7]. Khusus di gereja-gereja protestan di Indonesia, peranan perempuan sebagai pendeta ataupun menjadi pemimpin gereja di tingkat sinodal bukan lagi sesuatu yang jarang. Dalam pengambilan keputusanpun perempuan telah banyak terlibat aktif. Kendatipun memang sebelum abad 20 pemandangan seperti itu jarang bahkan tidak terlihat.
Perempuan di dalam pelayanan gereja boleh dikata telah menerima hak yang sama dengan laki-laki, walaupun memang masih banyak ditemukan bahwa acapkali laki-laki masih terus berupaya mendominasi. Hal ini tidak terlepas dari tradisi lokal setiap gereja yang mana sistem patriarh masih dipegang kuat. 
 
D. Peranan Perempuan Di Dalam Gereja Protestan    
      Indonesia Donggala
             Gereja Protestan Indonesia Donggala yang hadir dan melayani di tengah masyarakat Sulawesi Tengah yang sedang membangun perlu terus memotivasi para perempuan gereja agar mereka sebagai bagian dari perempuan Indonesia mengambil bagian secara aktif dalam kegiatan pembangunan, dari format yang paling kecil hingga format yang lebih besar. Upaya seperti itu sebenarnya telah dimulai sejak lama oleh gereja protestan Indonesia donggala (GPID)  dengan memberikan visi Teologis  bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama di hadapan Allah, sama-sama diciptakan oleh Allah, sama-sama dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan tugas dan panggilannya di tengah dunia ini seperti yang dikehendaki Allah.
Secara Teologis, sebenarnya tidak ada lagi persoalan mengenai perempuan dalam hal peranannya baik di dalam gereja maupun di ranah publik lainnya. Hambatan atau tantangan yang masih terasa dan dihadapi perempuan dalam rangka memainkan peranannya di luar ranah domestik datang dari dimensi kultural atau tradisi, jadi bukan lagi dari yang bersifat Teologis.[8] Demikian juga sebenarnya yang terjadi pada gereja protestan Indonesia Donggala yang tak bisa tidak harus berjumpa dan beriteraksi dengan tradisi dan budaya mengakibatkan persoalan mengenai peran perempuan tak kunjung tuntas untuk dibicarakan. Keadaan ini diperumit lagi dengan situasi dan koteks GPID yang sangat majemuk (latar belakang gereja, suku, budaya, adat-istiadat, bahasa, dan pola hidup lainnya yang sangat majemuk). Sebagai gereja yang menjung-jung tinggi imamat Am orang percaya, GPID tidak membedakan laki-laki maupun perempuan di dalam pelayanan gereja Tuhan. Memang harus diakui bahwa hingga saat ini belum ada perhatian khusus yang diberikan oleh gereja terhadap persoalan pemosisian perempuan baik di dalam gereja maupun di ranah publik lainnya. Kemajuan yang dicapai oleh GPID sepertinya hanya mengikuti perkembangan zaman dan pergeseran paradigma di masyarakat, pemerintahan dan gereja-gereja secara umum tentang pemosisian perempuan di dalam pelayanan gereja Tuhan. Dalam tata gereja GPID tidak ada point khusus yang berbicara mengenai  gender ataupun point khusus yang mengatur pendeta laki-laki atau pendeta perempuan secara tersendiri. Pada salah satu pihak ini bisa dikatakan bahwa GPID tidak lagi mempersoalkan jabatan pendeta bagi perempuan, dan di pihak yang lain GPID juga bisa dikatakan tidak memperhatikan hal ini sebagai persoalan yang perlu dibahas karena kurangnya perhatian akan persoalan ini.[9]
Selain menjadi pendeta, perempuan di GPID juga mempunyai ruang khusus dalam bentuk komisi pelayanan kategorial (KOMPELKA) yakni komisi pelayanan untuk perempuan atau kaum ibu. Komisi tersebut sepenuhnya dipimpin oleh perempuan mulai dari unsur ketua hingga anggota-anggotanya dan ketuanya otomatis masuk dalam jajaran pimpinan di tingkat sinode[10]. Pemosisian perempuan dalam hal ini sudah menggembirakan. Pelayanan kategorial khusus perempuan dan kaum ibu ini bukan hanya pelengkap struktur organisasi gereja, melainkan mereka juga di beri ruang untuk mengekspresikan imannya sebagai perempuan melalui program pelayanan di tingkat KOMPELKA tadi. Jika dilihat dari program tahunan yang disusun oleh kompelka perempuan, nyata bahwa kesadaran perempuan di GPID sudah mulai maju. Program kompelka perempuan ternyata bukan lagi melulu pada bidang kultis ataupun diakonis, tetapi juga sudah mulai memikirkan perjuangan gender, misalnya dalam keputusan sidang kompelka perempuan/kaum ibu di tingkat sinode tahun 2008, mereka sepakat merobah penggunaan kata ”wanita” menjadi ”perempuan” dalam lagu mars perempuan GPID dengan alasan bahwa pengertian wanita cenderung dipahami lebih rendah derajatnya dengan istilah perempuan.[11] Dalam penggunaan ”tuan rumah” misalnya, perempuan GPID merobahnya menjadi ”Nyonya rumah”. Selain pergeseran pemahaman ke arah yang lebih baik, perempuan GPID juga berjuang untuk memikirkan hari yang bersejarah bagi mereka, yakni dengan menetapkan hari ulang tahun kompelka perempuan. Peranan perempuan di dalam GPID sudah dapat dikatakan sejajar dengan peranan laki-laki, kendatipun memang hingga saat ini jumlah perempuan yang menjadi majelis sinode Cuma satu orang dan belum pernah menduduki jabatan yang lebih tinggi di tingkat sinode. Mengenai jumlah perempuan yang menjadi pelayan-pelayan khusus (penatua dan diaken) di tiap-tiap jemaat sangat bervariasi selalu dipengaruhi tingkat rendahnya semangat tradisi patriarkh di tengah masyarakat di mana gereja itu hadir. Biasanya di jemaat perkotaan peranan perempuan lebih nampak apabila dibandingkan di jemaat pedesaan yang masih kuat pengaruh tradisi patriarkhalnya. Di samping keengganan perempuan itu sendiri menjadi pemimpin di dalam gereja yang sekaligus pemimpin atas laki-laki, perempuan juga menghadapi tantangan dari pihak laki-laki yang dituakan di dalam jemaat (tua-tua jemaat).
E. Gereja Protestan Indonesia Donggala dan Peningkatan
      Peranan Perempuan
            Setelah menguraikan seperti apa peranan peranan perempuan di dalam Gereja Protestan Indonesia Donggala, maka kini yang perlu dikaji ialah sejauh mana dan apa yang dilakukan oleh gereja protestan Indonesia Donggala (GPID) dalam rangka meningkatkan peranan perempuan bukan hanya di dalam gereja, di ranah domestik tetapi juga di ranah publik lainnya. Untuk itu ada baiknya mengkajinya dalam beberapa point menurut ranah-ranah tersebut.

1. Di dalam Gereja   
 Sepintas lalu telah disinggung di atas bahwa GPID tidak lagi mempermasalahkan posisi perempuan menjadi pendeta maupun menjadi penatua/diaken baik di tingkat jemaat maupun di tingkat Sinode. Peranan perempuan di dalam gereja dianggap penting sehingga tidaklah mengherankan apabila belakangan ini pendeta GPID lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Dalam rangka meningkatkan peranan perempuan di dalam gereja, GPID pada dasarnya telah melakukan berbagai upaya di antaranya, melakukan pelatihan secara khusus bagi ibu-ibu/perempuan dalam bidang pelayanan gerejawi, seperti misalnya menagemen/administrasi gerejawi, kepemimpinan kristen dan pelatihan lainnya yang bertujuan memperlengkapi perempuan untuk pelayanan gereja. Program pelathan seperti ini biasanya difasilitasi oleh majelis sinode melalui kompelka perempuan kaum ibu tingkat sinode. Program pelatihan ini boleh dikata berhasil, di mana perempuan-perempuan sudah mulai berani menunjukkan diri mampu menjadi pelayan-pelayan gereja Tuhan.
Selain pembinaan atau pelatihan, perempuan-perempuan GPID juga dibekali dengan pengetahuan teologi praktis terutama mereka yang menjadi pengurus di kompelka perempuan/kaum ibu di jemaat-jemaat dengan harapan peranan mereka akan lebih dirasakan oleh jemaat. Program ini sepenuhnya ada dalam kendali majelis sinode melalui bidang Pembinaan Warga Gereja.

2.Di ranah Domestik
Peranan perempuan di ranah domestik sebenarnya tidak lagi diragukan sebab pada umumnya orang yang dipengaruhi tradisi patriarkhal memahami bahwa ranah domestik adalah istana perempuan. Namun, kendatipun demikian, GPID tetap merasa bahwa perempuan tidak boleh berpuas diri di ranah domestik dengan di tiga medan pelayanannya kasur, dapur dan sumur. Artinya bahwa perempuan juga mempunyai peluang untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia yang produktif (bukan hanya melahirkan anak). Untuk itu, GPID membuat program pelatihan khusus bagi perempuan/ibu-ibu, diantaranya pelatihan menjahit, memasak kue dan pengembangan industri rumah tangga yang setiap tahunnya dilaksanakan di pusat ppendidikan dan pelatihan GPID. Program ini dirasa sungguh berhasil terlebih dikarenakan persaingan hidup yang semakin ketat seperti sekarang ini. Untuk mendukung program tersebut biasanya Sinode menyediakan anggaran untuk menopang anggaran yang memang selalu diusahakan oleh perempuan/kaum ibu itu sendiri. Demikian juga dalam hal peningkatan gizi dan kesehatan keluarga, perempuan-perempuan/kaum ibu- lah yang sepenuhnya terlibat. Program ini semua bertujuan untuk meningkatkan peranan perempuan khususnya di ranah domestik.

3. Di Ranah Publik
            Mengenai program gereja dalam peningkatan peran perempuan di ranah publik boleh dikata belum terlihat sama sekali. Hingga saat ini belum ada program khusus yang diselenggarakan gereja yang bertujuan untuk meningkatkan peranan perempuan di ranah publik. Biasanya perempuan-perempuan memperoleh pembinaan maupun pelatihan mengenai politik misalnya, belum pernah secara khusus bagi perempuan. Demikian juga dengan kepemimpinan di ranah publik lainnya, perempuan sangat sedikit mendapatkan pembekalan dari pihak gereja, seperti perempuan yang menjadi tenaga kesehatan (suster atau dokter) misalnya, belum pernah terdengar memperoleh pembinaan dari gereja bersangkut paut dengan profesinya tersebut. Kalaupun itu ada, paling-paling terjadi pada waktu pastoral pendeta. Ini menunjukkan bahwa persoalan pemosisian perempuan di ranah publik diaggap bukanlah masalah yang serius bagi gereja. Akibatnya adalah perempuan-perempuan yang beraktivitas di ranah publik seringkali tidak mampu memposisikan dirinya sebagai perempuan kristen yang sesungguhnya di tengah interaksi sosialnya sehari-hari.
            Usaha peningkatan peranan perempuan di ranah publik oleh GPID pada dasarnya masih jauh dari yang diharapkan. Seharusnya masalah peningkatan peranan perempuan di ranah publik adalah juga tanggung jawab gereja. Dalam program sinode baik jangka pendek maupun jangka panjang belum terlihat sejauh mana langkah-langkah yang diambil gereja guna memperjuangkan warga jemaatnya (secara khusus perempuan) mampu mengikuti kompetisi persaingan di ranah publik. Hal ini adalah suatu kelemahan gereja-gereja secara umum. Gereja memang masih dikuasai tradisi historis gereja dari zaman zending, yang menganggap tabu hal-hal yang duniawi dibicarakan di dalam gereja. Misalnya saja, hingga saat ini gereja belum mencapai kata sepakat atas persoalan politik dan gereja dan pelayan gereja. Pemimpin-pemimpin gereja sepertinya dipaksa oleh tradisi untuk tidak membawa-bawa masalah politik untuk dibicarakan di dalam gereja termasuk di dalam kompelka perempuan/kaum ibu. Melalui perjumpaannya dengan tradisi patriarkhal yang mulai tergeser dalam kehidupan masyarakat, gereja juga kiranya semakin membuka diri mengkaji dan terus berupaya meningkatkan peranan perempuan di ranah publik.



F. Penutup
            Menutup uraian ini maka berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan sebenarnya telah memainkan perannya di ranah yang strategis dalam rangka karya Allah bagi dunia ini. Sejak dalam zaman perjanjian Lama hingga pada zaman Perjanjian Baru bahkan hingga pada zaman jemaat kristen mula-mula, perempuan telah berperan aktif dan memperoleh tempat-tempat yang special oleh Allah. Tapi patut disayangkan bahwa kemudian, intepretasi atas kisah-kisah perempuan tersebut diselewengkan oleh penganut agama perjanjian lama dan juga oleh bapak-bapak gereja. Ternyata bukan hanya tradisi dan kultur yang melakukan diskriminasi kepada perempuan, tetapi agama juga turut di dalamnya. Jika ditelusuri dalam sejarah gereja, perempuan demikian juga peranan mereka sepertinya hilang lenyap. Kita tidak mendengar istilah ibu-ibu gereja, yang ada adalah bapak-bapak gereja. Pembahasahan di tiap-tiap konsilipun kita tidak mendengar perjuangan terhadap pemosisian perempuan di dalam gereja yang ada adalah persoalan hakekat Maria. Ini merupakan sejarah hitam bagi gereja yang melupakan jasa perempuan dalam karya Allah bagi penyelamatan dunia ini.
            Bersyukurlah bahwa di abad-abad ke- 20 ini, gereja-gereja sudah mulai sadar dan merasa bahwa sudah saatnya merekontruksi kembali pemahamannya tentang perempuan dan perannya. Namun ketika kesadaran itu bangkit, gereja masih juga gagal meningkatkan peranan perempuan terutama di ranah publik. Gereja-gereja cenderung hanya memfokuskan perhatiannya bagaimana peranan perempuan di gereja dan di ranah domestik dapat ditingkatkan, tanpa menganggap penting peningkatan peranan perempuan di ranah publik. Hal ini juga terjadi dan dialami oleh Gereja Protestan Indonesia Donggala. Padahal ranah publik juga adalah tempat di mana perempuan dapat dengan leluasa mengekspresikan diri dan imannya, sebab kesaksian dan pelayanan perempuan juga sangat dibutuhkan di ranah publik.


[1]. Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) adalah gereja yang bernaung dalam Gereja Protestan di Indonesia (GPI) yang melayani di wilayah Sulawesi Tengah. GPID berdiri sejak 4 April 1964 dengan sinode sendiri, tepatnya di Jl. Kijang Raya no. 14 Palu, Sulawesi Tengah.
[2]. Lihat, Ruth Tiffani Barnhouse, Identitas Wanita, (Yogjakarta: Kanisius, 1998), hal. 15.
[3]. J. Derminta Sj, Perempuan Di Hadapan Hidup Dan Allah, (Yogjakarta: Kanisius, tt), hal. 31.
[4]. John Stott mengutipnya dalam buku, Isu-isu Global, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005), hal. 334  
[5]. Ibid, hal. 335
[6]. Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan, (Jakarta:Media Wacana, 2005), hal. 19.
[7]. Lebih lengkapnya, lihat, Jeanne Becher, Perempuan, Agama dan Seksualitas, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001), hal.310-312
[8]. Lihat, Pdt. Weinata Sairin, Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1994), hal.49
[9]. Lihat Majelis Sinode GPID, Tata Gereja Protestan Indonesia Donggala, khususnya pada bab III,  (Palu: GPID, 2008), hal. 5.
[10]. Ibid, hal. 44-49
[11]. Materi hasil keputusan sidang kompelka perempuan/kaum ibu tingkat sinode GPID 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar